Kawasan Ekosistem Leuser memiliki luas lebih dari 35 kali ukuran Singapura.(sumber gambar illustrasi: pexels/ Crative Vix)

Masuk Daftar Time 100 Next 2022, Yuk Kenali Aktivis Lingkungan Aceh Farwiza Farhan

29 September 2022   |   17:46 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Farwiza Farhan menjadi salah satu dari 100 orang yang masuk dalam daftar TIME100 Next 2022. Kepeduliannya terhadap kondisi lingkungan, terutama deforestasi hutan, menjadikannya masuk dalam daftar bergengsi sedunia tersebut.

Bagi para aktivis lingkungan, nama Farwiza Farhan tentu bukan nama yang asing. Wanita kelahiran Banda Aceh pada 1986 silam tersebut menjadi pelindung bagi kawasan ekosistem Leuser yang mencakup provinsi Aceh dan Sumatra Utara di pulau Sumatra.

Untuk melindungi kawasan ekosistem leuser di Provinsi Aceh, sang wanita mendirikan sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama HAkA yang merupakan singkatan dari Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh.
 

Farwiza Farhan di Cover Majalah Time/Time

Farwiza Farhan di Cover Majalah Time/Time


LSM ini memiliki fokus untuk melindungi Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh melalui advokasi kebijakan, meningkatkan kesadaran publik, dan memperkuat peran dan partisipasi masyarakat untuk melindungi hutan.

Dilansir dari media sosial Twitter Time, Farwiza menuturkan bahwa organisasi ini melakukan perlindungan, konservasi, dan restorasi ekosistem Leuser. Dia juga memberikan perhatiannya kepada kaum hawa dalam keterlibatannya untuk melindungi ekosistem leuser.

Menurutnya, mengikutsertakan perempuan dalam melindungi lingkungan adalah keputusan yang tepat untuk mengembalikan keseimbangan alam. Dia pun menginginkan seluruh ekosistem mengalami perubahan. Kegiatan konservasi juga membutuhkan lebih banyak keterlibatan para wanita.

Dilansir dari laman orangutan.org.au, wanita yang juga memiliki gelar Masters in Environmental management and sustainable development Department of Geography University of Queensland ini selalu ingin bekerja di bidang konservasi.

Lulus dari University Sains Malaysia, dia pun segera mencari pekerjaan di sektor konservasi. Namun, pekerjaan yang diinginkan tidak mampu diraihnya mengingat mencari pekerjaan konservasi untuk lulusan baru sangat sulit.

Sadar akan kondisi tersebut, dia memutuskan untuk melanjutkan studi, dan berhasil meraih gelar masternya dan kemudian mendapatkan pekerjaan konservasi pertama dengan agensi pemerintah yang mengelola dan melindungi ekosistem Leuser di Sumatra.

Pada 2012 silam, saat mendirikan organisasi, dia bersikeras bahwa pekerjaan konservasi harus melibatkan masyarakat setempat. Organisasi pecaya dalam memperkuat masyarakat sipil dan memberdayakan asyarakat yang hidup di garis depan dalam melakukan konservasi.

Pekerjaan melindungi hutan adalah pekerjaan yang sangat disukainya. Namun, lebih dari itu, yang paling disukai dari kegiatannya adalah melihat tim dan mitra tumbuh dan berkembang bersama dalam inisiatif konservasi dan restorasi.
 

Kawasan Ekosistem Leuser

Dilansir dari laman HAkA, Kawasan Ekosistem Leuser memiliki luas lebih dari 35 kali ukuran Singapura. Di dalam ekosistem ini terdapat 2,6 juta hektare hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, hutan pegunungan dan pesisir, serta padang rumput alpine.

Ekosistem Leuser ini juga merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di Asia, dan merupakan tempat terakhir di dunia di mana orangutan, badak, gajah, dan harimau hidup berdampingan di alam liar.

Kawasan Ekosistem Leuser adalah satu-satunya habitat yang tersisa di Sumatra yang cukup besar untuk menopang populasi spesies ini yang layak. Sebuah publikasi di jurnal sains internasional terkemuka bahkan mencantumkan ekosistem ini sebagai salah satu kawasan terpenting dunia yang tidak tergantikan.

Konservasi kawasan ekosistem ini sebenarnya sudah ada sejak awal abad ke-19. Pada saat itu, para pemimpin adat Aceh melakukan negosiasi dengan pemerintah kolonial agar dapat melindungi warisan alam, mulai dari pegunungan sampai dengan pesisir pantai.

Manfaat lingkungan dan ekonomi dari Kawasan Ekosistem Leuser saling terkait erat antara satu dengan yang lainnya. Kawasan ini adalah aset penting bagi pembangunan ekonomi Aceh.

Kawasan ini juga memiliki peran sebagai sistem penyangga kehidupan untuk masyarakat Aceh. Hutan yang ada di dalamnya merupakan penyerap curah hujan pada musih hujan, dan mencegah kekeringan berkepanjangan.

Editor: M R Purboyo

SEBELUMNYA

Yuk Staycation Sekalian Menikmati Pemandangan Lanskap Jakarta dari Ketinggian

BERIKUTNYA

Kisah Sukses Dua Aktivis Muda Tingkatkan Literasi di Indonesia Timur

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: