Karya Seniman Nugraha Pratama Angkat Kisah dari Banda Neira dalam Pameran Ilustrasiana
17 September 2022 |
22:39 WIB
Banda Neira atau Banda Naira memiliki sejarah yang sangat panjang, dan menarik untuk dipelajari. Lanskap alam dan kehidupan masyarakat pulau di Maluku ini pun diangkat oleh seniman Nugraha Pratama melalui karya berjudul Sehari-Hari di Banda Neira yang dihadirkan dalam Pameran Ilustrasiana,
Cerita menarik pertama yang tidak boleh dilewatkan dari karya sang seniman adalah tentang perkenier (pemilik kebun) terakhir di Banda Neira bernama Pongky Van Den Broeke yang berusia 65 tahun.
Dia adalah generasi ke-13 dari keluarga Van Der Broeke dan akrab disapa mas Pongky lantaran sempat lama tinggal di Surabaya. Sang seniman bertemu dengan mas Pongky ketika berada di Banda Neira.
Nugraha menuliskan kisah Banda Neira yang terkenal dengan pala bermula dari seorang Admiral angkatan laut Belanda bernama Pieter Van Den Broeke yang melihat potensi rempah di Banda Neira dan mengajak sang adik, yakni Paulus Van Den Broeke.
Keluarga Van Den Broeke sempat memiliki 140 hektare tanah. Namun, hanya mendapatkan 12,5 hektare setelah Indonesia merdeka. Tanah itu dikelola oleh ayah mas Pongky bernama Benny Wiliem Van Den Broeke.
Sekitar 1990, mas Pongky mendapatkan telegram dari sang ayah agar pulang karena butuh bantuan untuk mengelola perkebunan. Pada saat itu, Pongky tinggal di Jakarta, dan berprofesi sebagai mekanik. Dia sempat pulang ke Banda pada 1988 untuk menegok sang ayah setelah terjadi letusan gunung api.
Mas Pongky pun memutuskan pulang ke Banda untuk memulai kehidupan baru mengelola kebun pala. Dia banyak belajar secara otodidak bagaimana mengurus dan mengembangna perkebunan pala tersebut.
Sekitar 9 tahun berselang atau tepatnya pada 1999, Pongky harus mengalami kisah pahit lantaran konflik antaragama yang terjadi. Dia harus kehilangan rumah lantaran terbakar, dan juga kehilangan keluarganya, yakni ibu, bibi, istri, dan dua anak perempuan.
Pongky selamat dari peristiwa itu bersama dua anaknya. Namun, kejadian memilukan tersebut masih menyisakan trauma hingga saat ini.
Sekarang mas Pongky tetap melanjutkan aktivitas kesehariannya mengurus perkebunan. Bahkan, dia mendapat julukan The Last of Perkenier, yakni pemilik perkebunan pala keturunan Belanda terakhir.
Edo, anak laki-laki dari sang perkenier. menjadi satu-satunya harapan bagi keluarga ini untuk meneruskan pengelolaan kebun pala tersebut.
Kisah menarik kedua yang dapat dinikmati dari karya Nugraha adalah tentang bangunan-bangunan di Banda Neira. Sang seniman menggambarkan rumah yang dilihat di Banda Neira, dan membuat para penikmat karya dapat mengetahui seperti apa bentuk bangunan yang dikatakan seniman memiliki daya tarik yang berbeda-beda.
Salah satu dari banyak bangunan yang ada di Banda Neira adalah rumah yang menjadi saksi bisu sejarah bangsa Indonesia lantaran pernah digunakan oleh Bung Hatta dan Bung Sjahrir, ketika tiba di Banda Neira pada Januari 1936.
Beberapa warga lokal mengatakan bahwa pemilik rumah itu adalah salah satu perkenier tersohor di Banda Neira.
Dari karya sang seniman, para penikmat seni dapat mengetahui bahwa rumah itu adalah rumah yang dipenuhi dengan pohon. Tidak hanya itu, rumah itu juga memiliki arsitektur gaya eropa yang dapat ditemui seperti rumah-rumah lama di manapun. Tiang-tiang yang terpasang di rumah itu menjadi salah satu cirinya.
Informasi lainnya yang dapat diketahui oleh para penikmat karya dari sang seniman adalah tentang mobilitas masyarakat di Banda Neira pada saat ini yang banyak menggunakan perahu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain menginga Banda Neira merupakan kepulauan.
Sang seniman menggambarkan bagaimana perahu-perahu yang sering digunakan oleh masyarakat. Penikmat karya dapat mengetahui berbagai jenis kapal yang ada di sana. Sebagai pelengkap gambar, terdapat cerita suasana di penyebarangan yang disebut oleh seniman mirip seperti di terminal.
Beberapa teriakan seperti Lonthor atau kawasan lain yang menjadi tujuan kapal saling bersahut antara satu dengan yang lain.
Kemudian, para penikmat karya juga dapat mengetahui tentang kuliner yang ada di Banda Neira. Sang seniman juga menggambarkan secara visual selain menjelaskan kuliner yang ada. Buras, cakalang asar, tali-tali asar, dan sambal adalah kuliner yang dapat ditemui di sana.
Cakalang asar adalah ikan cakalang yang diasap. Makanan ini menjadi santapan yang selalu dijual pada sore menjelang malam di pasar atau saat ada kapal masuk pelabuhan.
Para penikmat seni dapat menangkap cerita dan informasi yang menarik lewat gambar-gambar ilustrasi yang disajikan oleh sang seniman dengan berbagai seri dan ukuran.
Nugraha Pratama menyajikan karya berukuran 15x21 cm sebanyak 28 seri, 21 x 30 cm sebanyak 2 seri, dan 15 x 42 cm dalam 1 seri. Semua karya ini menggunakan medium cetak digital di atas kertas.Cerita menarik pertama yang tidak boleh dilewatkan dari karya sang seniman adalah tentang perkenier (pemilik kebun) terakhir di Banda Neira bernama Pongky Van Den Broeke yang berusia 65 tahun.
Dia adalah generasi ke-13 dari keluarga Van Der Broeke dan akrab disapa mas Pongky lantaran sempat lama tinggal di Surabaya. Sang seniman bertemu dengan mas Pongky ketika berada di Banda Neira.
Nugraha menuliskan kisah Banda Neira yang terkenal dengan pala bermula dari seorang Admiral angkatan laut Belanda bernama Pieter Van Den Broeke yang melihat potensi rempah di Banda Neira dan mengajak sang adik, yakni Paulus Van Den Broeke.
Keluarga Van Den Broeke sempat memiliki 140 hektare tanah. Namun, hanya mendapatkan 12,5 hektare setelah Indonesia merdeka. Tanah itu dikelola oleh ayah mas Pongky bernama Benny Wiliem Van Den Broeke.
Sekitar 1990, mas Pongky mendapatkan telegram dari sang ayah agar pulang karena butuh bantuan untuk mengelola perkebunan. Pada saat itu, Pongky tinggal di Jakarta, dan berprofesi sebagai mekanik. Dia sempat pulang ke Banda pada 1988 untuk menegok sang ayah setelah terjadi letusan gunung api.
Mas Pongky pun memutuskan pulang ke Banda untuk memulai kehidupan baru mengelola kebun pala. Dia banyak belajar secara otodidak bagaimana mengurus dan mengembangna perkebunan pala tersebut.
Sekitar 9 tahun berselang atau tepatnya pada 1999, Pongky harus mengalami kisah pahit lantaran konflik antaragama yang terjadi. Dia harus kehilangan rumah lantaran terbakar, dan juga kehilangan keluarganya, yakni ibu, bibi, istri, dan dua anak perempuan.
Pongky selamat dari peristiwa itu bersama dua anaknya. Namun, kejadian memilukan tersebut masih menyisakan trauma hingga saat ini.
Sekarang mas Pongky tetap melanjutkan aktivitas kesehariannya mengurus perkebunan. Bahkan, dia mendapat julukan The Last of Perkenier, yakni pemilik perkebunan pala keturunan Belanda terakhir.
Edo, anak laki-laki dari sang perkenier. menjadi satu-satunya harapan bagi keluarga ini untuk meneruskan pengelolaan kebun pala tersebut.
Kisah menarik kedua yang dapat dinikmati dari karya Nugraha adalah tentang bangunan-bangunan di Banda Neira. Sang seniman menggambarkan rumah yang dilihat di Banda Neira, dan membuat para penikmat karya dapat mengetahui seperti apa bentuk bangunan yang dikatakan seniman memiliki daya tarik yang berbeda-beda.
Salah satu dari banyak bangunan yang ada di Banda Neira adalah rumah yang menjadi saksi bisu sejarah bangsa Indonesia lantaran pernah digunakan oleh Bung Hatta dan Bung Sjahrir, ketika tiba di Banda Neira pada Januari 1936.
Beberapa warga lokal mengatakan bahwa pemilik rumah itu adalah salah satu perkenier tersohor di Banda Neira.
Dari karya sang seniman, para penikmat seni dapat mengetahui bahwa rumah itu adalah rumah yang dipenuhi dengan pohon. Tidak hanya itu, rumah itu juga memiliki arsitektur gaya eropa yang dapat ditemui seperti rumah-rumah lama di manapun. Tiang-tiang yang terpasang di rumah itu menjadi salah satu cirinya.
Informasi lainnya yang dapat diketahui oleh para penikmat karya dari sang seniman adalah tentang mobilitas masyarakat di Banda Neira pada saat ini yang banyak menggunakan perahu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain menginga Banda Neira merupakan kepulauan.
Sang seniman menggambarkan bagaimana perahu-perahu yang sering digunakan oleh masyarakat. Penikmat karya dapat mengetahui berbagai jenis kapal yang ada di sana. Sebagai pelengkap gambar, terdapat cerita suasana di penyebarangan yang disebut oleh seniman mirip seperti di terminal.
Beberapa teriakan seperti Lonthor atau kawasan lain yang menjadi tujuan kapal saling bersahut antara satu dengan yang lain.
Kemudian, para penikmat karya juga dapat mengetahui tentang kuliner yang ada di Banda Neira. Sang seniman juga menggambarkan secara visual selain menjelaskan kuliner yang ada. Buras, cakalang asar, tali-tali asar, dan sambal adalah kuliner yang dapat ditemui di sana.
Cakalang asar adalah ikan cakalang yang diasap. Makanan ini menjadi santapan yang selalu dijual pada sore menjelang malam di pasar atau saat ada kapal masuk pelabuhan.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.