Review Film Fire of Love, Kisah Cinta Membara Dua Ilmuwan dengan Alam
29 August 2022 |
20:00 WIB
Saya mereservasi tiket tanpa ekspektasi apa pun dan pulang dengan hati penuh yang bertanya-tanya sampai sejauh mana kita bisa dan harus mengejar cinta. Fire of Love bukan film fiksi ilmiah atau drama percintaan, melainkan kumpulan rekaman kehidupan Catherine Joséphine "Katia" Krafft dan suaminya, Maurice Paul Krafft.
Kedua pasangan ilmuwan itu menghabiskan dua dekade merekam cuplikan lava dan abu vulkanik. Mereka telah menyaksikan lebih dari 140 letusan di setiap benua kecuali Antartika. Pada ekspedisi terakhirnya pada 1991, aliran piroklastik (pencurahan ledakan gas, abu dan batu lava, sering melebihi suhu 800 derajat celcius) dari Gunung Unzen di Jepang meledak, menewaskan keduanya dan 41 orang lainnya.
Jasad Katia dan Maurice dikremasi dan abunya ditempatkan bersama di kuil di bagian kaki Gunung Unzen. Dalam hidup dan mati, Katia dan Maurice tidak pernah berpisah.
Dosa memulai film dengan kisah kematian mereka di lereng gunung berapi Jepang. Seiring dengan ketegangan yang hilang, dia menceritakan kisah cinta Katia dan Maurice yang meletup-letup layaknya gunung api dengan narasi puitis nan romantis yang disampaikan oleh Miranda July.
Baca juga: 5 Rekomendasi Film Romantis dengan Kisah Unik di Netflix
Hadir di penayangan Sundance Film Festival: Asia di Jakarta, Kamis (25/8), Dosa menuturkan bahwa ide awal menyusun arsip luar biasa ini datang dari rasa penasaran mereka akan sosok Katia dan Maurice.
"Kami saat itu tengah mencari dokumentasi gunung meletus di Islandia pada 1970-an. Tapi tidak banyak orang yang merekam kegiatan vulkanik di sana pada saat itu, hingga kami menemukan arsip Katia dan Maurice lalu mengenal mereka sebagai individu luar biasa yang ternyat juga pasangan suami istri," ujarnya.
Fire of Love memenangkan kategori film dengan editing terbaik dari Sundance tahun ini. Berkat kelihaiannya, Dosa dengan mulus menyusun rekaman arsip dari ekspedisi pasangan Krafft, menyematkan ilustrasi ala buku dongeng serta peragaan kembali kenangan mereka. Menyaksikan film ini seperti membaca buku harian Katia dan Maurice.
Meski sama-sama mencintai gunung api, Katia dan Maurice memiliki pendekatan yang berbeda untuk mengamati subjek alam maha megah itu. Sebagai ahli kimia dan fisika, Katia lebih fokus pada detil dan bergerak dengan penuh perhitungan.
Sementara Maurice dan jiwanya yang bebas memilih untuk berkelana dengan kamera film bahkan nekat menerjang sungai beracun dengan perahu karet demi mendapatkan sampel.
Sebagai ilmuwan yang bekerja lepas, keduanya mencari nafkah dengan merilis foto-foto hasil ekspedisi ke dalam buku dan sering kali tampil di televisi untuk mengedukasi masyarakat dunia tentang gunung api.
Baca juga: 5 Rekomendasi Tayangan di Netflix yang Bikin Rindu Jalan-jalan
Katia dan Maurice paham akan risiko pekerjaan mereka yang sewaktu-waktu dapat menjadi ekspedisi terakhir. Namun, keduanya merasa memiliki tanggung jawab untuk memberi peringatan kepada masyarakat dan pemerintah, khususnya mereka yang bermukim di kaki gunung api agar selalu waspada.
Menuju akhir film, muncul klip yang memperdengarkan suara Maurice yang berkata: Saya merasa seperti berusia lebih dari 100 tahun dengan apa yang saya alami,” katanya. Faktanya, baik Katia maupun Maurice bahkan belum berusia 50 tahun ketika mereka meninggal, namun mereka meninggalkan arsip yang luas untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Selain Fire of Love, koleksi arsip Katia dan Maurice Krafft juga dipergunakan oleh Werner Herzog dalam film The Fire Within: A requiem for Katia and Maurice Kraft, yang tayang perdana di Sheffield DocFest pada Mei lalu.
Keluar dari studio, satu pertanyaan pun masih menggantung di kepala hingga hari ini. Apakah perlu untuk pergi begitu dekat ke lubang api atas nama cinta dan ilmu pengetahuan? Untuk Katia dan Maurice, saya pikir mereka akan melakukannya lagi.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor : Gita Carla
Kedua pasangan ilmuwan itu menghabiskan dua dekade merekam cuplikan lava dan abu vulkanik. Mereka telah menyaksikan lebih dari 140 letusan di setiap benua kecuali Antartika. Pada ekspedisi terakhirnya pada 1991, aliran piroklastik (pencurahan ledakan gas, abu dan batu lava, sering melebihi suhu 800 derajat celcius) dari Gunung Unzen di Jepang meledak, menewaskan keduanya dan 41 orang lainnya.
Jasad Katia dan Maurice dikremasi dan abunya ditempatkan bersama di kuil di bagian kaki Gunung Unzen. Dalam hidup dan mati, Katia dan Maurice tidak pernah berpisah.
Pembuat film dokumenter Amerika Sara Dosa memperoleh akses ke arsip Katia dan Maurice yang terdiri dari ribuan foto dan ratusan jam video dari seluruh ekspedisi mereka.Katia dan Maurice mencintai dua hal — satu sama lain dan gunung api.
Dosa memulai film dengan kisah kematian mereka di lereng gunung berapi Jepang. Seiring dengan ketegangan yang hilang, dia menceritakan kisah cinta Katia dan Maurice yang meletup-letup layaknya gunung api dengan narasi puitis nan romantis yang disampaikan oleh Miranda July.
Baca juga: 5 Rekomendasi Film Romantis dengan Kisah Unik di Netflix
Hadir di penayangan Sundance Film Festival: Asia di Jakarta, Kamis (25/8), Dosa menuturkan bahwa ide awal menyusun arsip luar biasa ini datang dari rasa penasaran mereka akan sosok Katia dan Maurice.
"Kami saat itu tengah mencari dokumentasi gunung meletus di Islandia pada 1970-an. Tapi tidak banyak orang yang merekam kegiatan vulkanik di sana pada saat itu, hingga kami menemukan arsip Katia dan Maurice lalu mengenal mereka sebagai individu luar biasa yang ternyat juga pasangan suami istri," ujarnya.
Fire of Love memenangkan kategori film dengan editing terbaik dari Sundance tahun ini. Berkat kelihaiannya, Dosa dengan mulus menyusun rekaman arsip dari ekspedisi pasangan Krafft, menyematkan ilustrasi ala buku dongeng serta peragaan kembali kenangan mereka. Menyaksikan film ini seperti membaca buku harian Katia dan Maurice.
Maurice dan Katia Krafft. (Sumber gambar: National Geographic)
Meski sama-sama mencintai gunung api, Katia dan Maurice memiliki pendekatan yang berbeda untuk mengamati subjek alam maha megah itu. Sebagai ahli kimia dan fisika, Katia lebih fokus pada detil dan bergerak dengan penuh perhitungan.
Sementara Maurice dan jiwanya yang bebas memilih untuk berkelana dengan kamera film bahkan nekat menerjang sungai beracun dengan perahu karet demi mendapatkan sampel.
Sebagai ilmuwan yang bekerja lepas, keduanya mencari nafkah dengan merilis foto-foto hasil ekspedisi ke dalam buku dan sering kali tampil di televisi untuk mengedukasi masyarakat dunia tentang gunung api.
Baca juga: 5 Rekomendasi Tayangan di Netflix yang Bikin Rindu Jalan-jalan
Katia dan Maurice paham akan risiko pekerjaan mereka yang sewaktu-waktu dapat menjadi ekspedisi terakhir. Namun, keduanya merasa memiliki tanggung jawab untuk memberi peringatan kepada masyarakat dan pemerintah, khususnya mereka yang bermukim di kaki gunung api agar selalu waspada.
Menuju akhir film, muncul klip yang memperdengarkan suara Maurice yang berkata: Saya merasa seperti berusia lebih dari 100 tahun dengan apa yang saya alami,” katanya. Faktanya, baik Katia maupun Maurice bahkan belum berusia 50 tahun ketika mereka meninggal, namun mereka meninggalkan arsip yang luas untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Selain Fire of Love, koleksi arsip Katia dan Maurice Krafft juga dipergunakan oleh Werner Herzog dalam film The Fire Within: A requiem for Katia and Maurice Kraft, yang tayang perdana di Sheffield DocFest pada Mei lalu.
Keluar dari studio, satu pertanyaan pun masih menggantung di kepala hingga hari ini. Apakah perlu untuk pergi begitu dekat ke lubang api atas nama cinta dan ilmu pengetahuan? Untuk Katia dan Maurice, saya pikir mereka akan melakukannya lagi.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor : Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.