Kenali Skizofrenia dan Masalah dalam Pengobatannya
29 August 2022 |
14:05 WIB
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang memperlihatkan gejala berupa kelainan perilaku serta gangguan proses berpikir dan emosi. Penderita skizofrenia kerap mengalami halusinasi dan paranoia, sehingga dianggap tidak memiliki kapasitas dalam menentukan proses dan metode pengobatannya.
Akibatnya, penderita skizofrenia seringkali dirawat paksa di rumah sakit lebih lama dari waktu yang seharusnya. Bahkan, pasien tidak diberikan informasi yang jelas tentang penyakitnya serta pilihan pengobatannya.
Padahal, pada fase tertentu, penderita skizofrenia layak mendapatkan kembali hak kendali atas dirinya sendiri (otonomi) terkait proses dan metode pengobatan, seperti halnya pasien dengan penyakit lain.
“Hak otonomi sebetulnya dapat dirasakan kembali oleh penderita skizofrenia jika kondisi mereka sudah membaik atau telah melewati periode akut,” kata Irmansyah, dokter spesialis kesehatan jiwa, dikutip dari Bisnis Weekend edisi 23 Agustus 2015.
Baca juga: Penderita Bipolar & Skizofrenia Butuh Booster Vaksin
Dia menjelaskan hak otonomi pasien skizofrenia dapat dirasakan ketika kondisi pasien tidak lagi mengalami gejala seperti halusinasi, dan kalaupun ada hanya pada level yang minim. Tanda-tanda lainnya adalah bila pasien telah mengerti bahwa dirinya sakit dan memahami informasi yang diberikan tentang penyakitnya.
Dalam disertasinya berjudul Fenomena Pengabaian Hak Autonomi dalam Perawatan Penderita Skizofrenia, Landasan Penilaian Laik Kembali dalam Kapasitas Menentukan Pengobatan, Irmansyah memaparkan bahwa pengabaian hak otonomi penderita skizofrenia seringkali terjadi di rumah sakit jiwa maupun di luar rumah sakit. Disertasi tersebut disusun Irmansyah untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2015 Silam.
Pria yang juga menjadi Ketua Komite Medik Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi tersebut mengatakan pada kasus skizofrenia, contoh pengabaian hak otonomi adalah ketika penderita yang telah melewati periode akut tetap dirawat dalam jangka waktu melebihi yang seharusnya, padahal dia ingin pulang dan menolak perawatan lanjutan.
Dalam disertasinya, Irmansyah mengungkapkan faktor keluarga lebih berperan dalam mengabaikan hak otonomi penderita skizofrenia dibandingkan dengan dokter. Keluarga dapat membiarkan pasien skizofrenia tetap dalam perawatan di rumah sakit dengan berbagai alasan.
Bahkan, banyak situasi yang menyulitkan keluarga untuk kembali menerima penderita skizofrenia di rumah. Akibatnya, penderita harus menjalani perawatan panjang padahal mereka sudah dalam kondisi tenang dan tidak lagi memiliki indikasi rawat.
Berbagai pertimbangan menjadi alasan keluarga lebih memilih rumah sakit untuk perawatan pasien skizofrenia, terutama mencakup persoalan ekonomi, sosial, dan emosional. “Bahkan, ada keluarga yang menahan pasien di rumah sakit sampai jatah BPJS Kesehatan habis yaitu 42 hari, padahal sebenarnya penderita sudah diijinkan pulang lebih cepat.”
Selama ini, pasien skizofrenia hanya diuji secara klinis untuk menilai kapasitasnya menentukan pengobatan. Bila hasil uji klinis menunjukkan pasien tidak memiliki kapasitas terhadap dirinya, hak otonomi pasien skizofrenia dapat diabaikan dan dialihkan kepada keluarga terdekat.
Atas dasar itu, Irmansyah dalam disertasinya menyusun sebuah prosedur baku untuk menilai kapasitas pasien skizofrenia dalam menentukan pengobatannya. Ada sekitar 15 butir pertanyaan yang bisa dijadikan sebagai penilaian apakah seorang pasien skizofrenia sudah bisa memiliki kembali hak otonominya atau tidak.
Seluruh pertanyaan tersebut meliputi pemahaman, pertimbangan, penghargaan, dan ekspresi pilihan pasien tentang diri dan penyakit yang dideritanya. Irmansyah menjelaskan pemenuhan hak otonomi pasien, sesungguhnya dapat berdampak positif kepada penderita skizofrenia yaitu mendorong kemandiriannya. “Intinya semua orang, termasuk penderita skizofrenia itu memiliki suatu potensi untuk bisa mandiri,” katanya.
Baca juga: Kenali Skizofrenia, Gangguan Jiwa Berat yang Butuh Dibantu Obat
Namun, hal tersebut tergantung kepada pihak rumah sakit atau masyarakat, apakah bersedia memberikan kesempatan kepada pasien skizofrenia untuk mandiri. Banyak orang beranggapan jika seseorang terkena skizofrenia maka tidak lagi memiliki banyak kemampuan atas dirinya.
Pria kelahiran 23 Januari 1962 ini menjelaskan pada praktik pemenuhan hak otonomi skizofrenia, dokter sebaiknya memberikan pengetahuan kepada pasien tentang pengobatan atau tindakan lainnya yang akan diambil, agar pasien mengerti konsekuensinya. Dengan begitu, pasien dapat turut mengambil keputusan mana yang terbaik untuk dirinya.
Editor: Fajar Sidik
Akibatnya, penderita skizofrenia seringkali dirawat paksa di rumah sakit lebih lama dari waktu yang seharusnya. Bahkan, pasien tidak diberikan informasi yang jelas tentang penyakitnya serta pilihan pengobatannya.
Padahal, pada fase tertentu, penderita skizofrenia layak mendapatkan kembali hak kendali atas dirinya sendiri (otonomi) terkait proses dan metode pengobatan, seperti halnya pasien dengan penyakit lain.
“Hak otonomi sebetulnya dapat dirasakan kembali oleh penderita skizofrenia jika kondisi mereka sudah membaik atau telah melewati periode akut,” kata Irmansyah, dokter spesialis kesehatan jiwa, dikutip dari Bisnis Weekend edisi 23 Agustus 2015.
Baca juga: Penderita Bipolar & Skizofrenia Butuh Booster Vaksin
Dia menjelaskan hak otonomi pasien skizofrenia dapat dirasakan ketika kondisi pasien tidak lagi mengalami gejala seperti halusinasi, dan kalaupun ada hanya pada level yang minim. Tanda-tanda lainnya adalah bila pasien telah mengerti bahwa dirinya sakit dan memahami informasi yang diberikan tentang penyakitnya.
Dalam disertasinya berjudul Fenomena Pengabaian Hak Autonomi dalam Perawatan Penderita Skizofrenia, Landasan Penilaian Laik Kembali dalam Kapasitas Menentukan Pengobatan, Irmansyah memaparkan bahwa pengabaian hak otonomi penderita skizofrenia seringkali terjadi di rumah sakit jiwa maupun di luar rumah sakit. Disertasi tersebut disusun Irmansyah untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2015 Silam.
Pria yang juga menjadi Ketua Komite Medik Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi tersebut mengatakan pada kasus skizofrenia, contoh pengabaian hak otonomi adalah ketika penderita yang telah melewati periode akut tetap dirawat dalam jangka waktu melebihi yang seharusnya, padahal dia ingin pulang dan menolak perawatan lanjutan.
Dalam disertasinya, Irmansyah mengungkapkan faktor keluarga lebih berperan dalam mengabaikan hak otonomi penderita skizofrenia dibandingkan dengan dokter. Keluarga dapat membiarkan pasien skizofrenia tetap dalam perawatan di rumah sakit dengan berbagai alasan.
Bahkan, banyak situasi yang menyulitkan keluarga untuk kembali menerima penderita skizofrenia di rumah. Akibatnya, penderita harus menjalani perawatan panjang padahal mereka sudah dalam kondisi tenang dan tidak lagi memiliki indikasi rawat.
Berbagai pertimbangan menjadi alasan keluarga lebih memilih rumah sakit untuk perawatan pasien skizofrenia, terutama mencakup persoalan ekonomi, sosial, dan emosional. “Bahkan, ada keluarga yang menahan pasien di rumah sakit sampai jatah BPJS Kesehatan habis yaitu 42 hari, padahal sebenarnya penderita sudah diijinkan pulang lebih cepat.”
Selama ini, pasien skizofrenia hanya diuji secara klinis untuk menilai kapasitasnya menentukan pengobatan. Bila hasil uji klinis menunjukkan pasien tidak memiliki kapasitas terhadap dirinya, hak otonomi pasien skizofrenia dapat diabaikan dan dialihkan kepada keluarga terdekat.
Atas dasar itu, Irmansyah dalam disertasinya menyusun sebuah prosedur baku untuk menilai kapasitas pasien skizofrenia dalam menentukan pengobatannya. Ada sekitar 15 butir pertanyaan yang bisa dijadikan sebagai penilaian apakah seorang pasien skizofrenia sudah bisa memiliki kembali hak otonominya atau tidak.
Seluruh pertanyaan tersebut meliputi pemahaman, pertimbangan, penghargaan, dan ekspresi pilihan pasien tentang diri dan penyakit yang dideritanya. Irmansyah menjelaskan pemenuhan hak otonomi pasien, sesungguhnya dapat berdampak positif kepada penderita skizofrenia yaitu mendorong kemandiriannya. “Intinya semua orang, termasuk penderita skizofrenia itu memiliki suatu potensi untuk bisa mandiri,” katanya.
Baca juga: Kenali Skizofrenia, Gangguan Jiwa Berat yang Butuh Dibantu Obat
Namun, hal tersebut tergantung kepada pihak rumah sakit atau masyarakat, apakah bersedia memberikan kesempatan kepada pasien skizofrenia untuk mandiri. Banyak orang beranggapan jika seseorang terkena skizofrenia maka tidak lagi memiliki banyak kemampuan atas dirinya.
Pria kelahiran 23 Januari 1962 ini menjelaskan pada praktik pemenuhan hak otonomi skizofrenia, dokter sebaiknya memberikan pengetahuan kepada pasien tentang pengobatan atau tindakan lainnya yang akan diambil, agar pasien mengerti konsekuensinya. Dengan begitu, pasien dapat turut mengambil keputusan mana yang terbaik untuk dirinya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.