Lukisan maestro seni Soedjojono berjudul Prambanan (Jaga Pertama Menyeberang Djalan) (Sumber gambar : Ivaa)

Lukisan Perjuangan Kemerdekaan Begitu Hidup dalam Goresan Karya Pak Djon

17 August 2022   |   21:30 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Langit tertutup gumpalan asap tebal. Kepulannya tampak di sana sini namun sangat senyap. Bangunan runtuh habis terbakar. Pohon menghitam, kobaran api masih menyala di sekitar. Dua prajurit berlindung di balik sisa-sisa reruntuhan dan waspada akan hadirnya serangan.

Seorang tanpa seragam bermodalkan kaos lusuh dan topi anyaman yang menggantung di leher, menenteng senjata laras panjang seraya mengendap, memantau jika tiba-tiba disergap.

Sebuah catatan tertera di bagian bawah goresan peristiwa. "Toko Tjina terpaksa kita bakar. Apa boleh buat, untuk kemenangan" begitu isi catatannya. Prambanan, 3 Juli 1949, menambah keterangan pada lukisan yang memiliki tanda khas inisial SS dengan tahun pembuatan 1968 itu. 

Baca juga: Cerita di Balik Lukisan Karya Maestro Koleksi Istana Kepresidenan, dari Raden Saleh hingga Affandi

Latar Prambanan, daerah di sekitar Yogyakarta ketika Jenderal Sudirman memerintahkan untuk membumihanguskan bangunan-bangunan penting dan jembatan yang sekiranya dapat digunakan Belanda. Strategi militer yang dipilih Sang Jenderal Besar yang memilih perang gerilya, setelah para kaum Netherland mengingkari perjanjian Linggarjati dan kembali melancarkan Agresi Militer Belanda ke-II di Ibu Kota Indonesia kala itu. 

Ya, walaupun sudah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, nyatanya beberapa tahun setelahnya, Indonesia masih belum lepas dari belenggu penjajahan. Salah satunya Belanda yang melancarkan agresi militernya untuk merebut daerah-daerah perkebunan dan bernagai sumber dayanya yang melimpah di Pulau Jawa dan Sumatra. 

Namun dengan segenap jiwa raga, para pahlawan di Tanah Air berupaya melawan dan mempertahankan wilayahnya. Peristiwa bersejarah yang menggelorakan semangat ini begitu apik digambarkan Sindoedarsono Soedjojono dalam maha karyanya tersebut. Pak Djon, begitu ia disapa, membawa penikmatnya merasakan suasana gemetar dengan semangat yang berkobar. 

Pantas saja lukisan berjudul Prambanan (Jaga Pertama Menyeberang Djalan) berukuran 198 cm x 297 cm, yang terpajang di Museum Keramik, di Kota Tua Jakarta itu begitu hidup. Pak Djon saja hidup dari zaman kolonial Belanda hingga Orde Baru, dan pasti tahu betul peristiwa perjuangan Bangsa Indonesia itu. 

Pak Djon bisa disebut sebagai pencatat sejarah kemerdekaan. Seperti pada peristiwa perang gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman. Dia membuat beberapa lukisan yang menggambarkan realitas yang ada pada waktu itu. 

Selain Prambanan (Jaga Pertama Menyeberang Djalan), dia juga membuat lukisan berjudul Sekko, kadang dituliskan Seko yang dalam bahasa Jepang berarti prajurit lini depan yang membuka jalan bagi seluruh pasukan. 

Lukisan tersebut bercerita tentang seorang Sekko, gerilyawan dari Tanah Air yang melintas di kawasan Prambanan, Yogyakarta, pada 1948-1949. Saat itu, keluarga Pak Djon bermukim di kawasan tersebut.

Ada pula lukisan yang berjudul Persiapan Gerilya. Lagi-lagi membawa penikmat lukisan itu serasa ada di suasana tersebut. Tak ayal, lukisan itu pun menjadi koleksi Presiden Sukarno.

Pak Djon memang dikenal sebagai seorang pelukis bergaya ekspresionis dan realis. Dia menjadi proklamator lahirnya seni lukis Indonesia Baru, yang maunya terbebas dari dominasi seni lukis Eropa di masa Kolonial, Mooi Indie. 

Kurator Seni Rizki A. Zaelani menerangkan para pelukis Mooi Indie cenderung mengedepankan keindahan dan pemandangan alam yang dinilai Pak Djon pro-selera Belanda yang gandrung pada kemolekan tanah jajahan Hindia Belanda.  

"Sudjojono punya pandangan kritis terhadap peristiwa hidup," sebut Rizki. 

Tidak hanya soal anti-Belanda, Pak Djon juga dikenal mengedepankan moralitas sosial yang dia anggap tidak semestinya. Seperti yang tergores dalam lukisan berjudul High Level, pada 1970, yang juga dipamerkan di Museum Keramik. 

Pak Djon menunjukkan corak di antara realisme dan ekspresionisme itu, tapi yang pasti sarat dengan pandangan dan sikap kritis. Kata Rizki, lukisan itu seperti mengolok 'kaum kaya' Indonesia yang 'sok gaya' menyukai karya seni rupa, yang sebenarnya Pak Djon anggap tidak sepadan dengan apa yang dicita-citakan para seniman dan misi ekspresi seni itu sendiri. 

"Sikap kritis semacam itu, boleh jadi  menyasar pada kaum kaya tersebut, tetapi juga berlaku bagi sikap para seniman sendiri." jelas Rizki. 

Memang gambaran zaman Orde Baru menjadi karya-karya yang disumbangkan Pak Djon menjelang akhir kehidupannya. Namun yang menarik menurut Rizki, pada era itu Pak Djon tidak melakukan kritik pada negara, sebagaimana dia lakukan di era kolonial 1940-1950. 

Pada 1960-an, Pak Djon mulai tertarik pada pendekatan realisme dengan jargonnya kembali ke realisme. Dia membela posisi rakyat, meski  harus melakukan kritik pada masyarakat kelas menengah yang tumbuh di era pembangunan. 

"Saya sih memahami jiwa yang dimaksud Sudjojono dalam jargon seni sama dengan jiwa tampak, bukan dalam arti pendekatan ekspresionisme, tetapi lebih pada prinsip pencapaian kesadaran jiwa yang berdaulat," jelas Rizki. 

Ya, gaya seni tidak dianggap penting bagi Pak Djon. Rizki menyebut pelukis itu menilai ciri seni sebagai upaya pencapaian para seniman yakni pelukis sebagai penentu kedaulatan dirinya sendiri. Jadi, soal identitas ke-Indonesia-an, menurut Pak Djon adalah kemerdekaan atau kedaulatan jiwa sehingga seseorang mampu menyatakan pandangannya sendiri. 

"Sudjojono berkarya dengan cara ekspresi yang tidak tunggal. Jadi, tak ada periode pencapaian gaya seni lukis yang berurutan secara pasti," sebut Rizki. 

Lepas dari ekspresi dan gayanya dalam melukis, cukup menarik ketika Pak Djon melukis dengan teknik plototan seperti yang sering dipraktekkan Affandi Koesoema dalam karya-karyanya. Beberapa lukisan Pak Djon yang dipajang di Museum Keramik pun terlihat abstrak. 

"Semakin sepuh, karyanya semakin esensial meski tetap mengandung gambaran dan tidak jadi abstrak. Yang tetap dari Sudjojono adalah sikap dan pandangannya yang kritis dan merdeka," tutup Rizki mengakhiri pendapatnya terhadap Bapak Seni Rupa Modern Indonesia itu.

Baca juga: Diangkat Jadi Film, Ini Histori di Balik Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

Bercerita banyak mengenai Sang Proklamator Seni Modern, namun apalah daya sosoknya kurang dikenal mereka yang lahir di zaman revolusi  digital dan investasi ini. 

Coba saja lihat dari 10,61 juta penduduk di Ibu Kota, hanya sekitar 14.000 orang pengunjung yang datang ke Kota Tua. Dari belasan ribu pengunjung itu pun, yang masuk ke Museum Keramik pun hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak sedikit yang masuk hanya menjadikan latar selfie. 

Entah apa yang terjadi. Museum yang terdapat nilai sejarah seni lukis Indonesia dan peristiwa penting perjuangan bangsa itu kurang diminati. Beberapa orang yang datang di Kota Tua bahkan mengatakan tidak tahu kalau ada museum yang berisi lukisan para maestro seni Indonesia.

"Ke sini tahunya Kota Tua saja. Main sama foto-foto saja di sini," ucap Febri, salah seorang pengunjung yang mengaku datang dari Bogor menggunakan kereta.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Ini 7 Tantangan Sektor Kesehatan di Indonesia Menurut Mantan Pejabat WHO

BERIKUTNYA

Djournal Coffee X Swara Gembira Kenalkan 7 Variasi Minuman Nusa Rasa Bercita Rasa Lokal

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: