Jangan Kejebak Stigma, Yuk Ketahui Fakta Medis Seputar Epilepsi
03 August 2022 |
15:00 WIB
Epilepsi atau sering diistilahkan sebagai penyakit ayan merupakan salah satu penyakit neurologi menahun yang dapat dialami siapa saja tanpa batasan usia, jenis kelamin, ras maupun sosialekonomi. Angka kejadian epilepsi tergolong masih sangat tinggi, terutama di negara berkembang.
Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Bunda Jakarta Irawati Hawari menjelaskan pada suatu serangan epilepsi, terjadi aktivitas listrik abnormal di otak dengan bentuk manifestasi berupa serangan-serangan kejang atau bentuk lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran serta perubahan lain yang hilang timbul, baik yang terasa atau terlihat.
“Bagi orang tua khususnya, harus mewaspadai demam tinggi yang terlalu sering pada anak. Bisa jadi itu mengarah pada penyakit ini,” katanya dikutip dari Bisnis Weekend edisi 9 Agustus 2015.
Baca juga: Kenali Gejala & 6 Penyebab Meningitis atau Radang Selaput Otak
Penyebab lain gangguan listrik di otak antara lain kerusakan jaringan, misalnya, tumor otak, cedera kepala, atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi otak (meningitis, encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika, serta sekitar 30% tidak diketahui penyebabnya.
Manifestasi serangan dapat berbeda-beda karena tergantung pada fungsi otak mana yang terganggu. Masyarakat umumnya hanya mengetahui bahwa serangan epilepsi berbentuk kejang kelojotan disertai mulut berbusa.
Selain bentuk yang berupa kejang-kejang, manifestasi serangan juga dapat berupa hilangnya kesadaran sesaat atau bengong, tiba-tiba menjatuhkan atau melempar benda yang dipegang, atau terjadi perubahan perilaku yang tiba-tiba, sehingga tak jarang dikira sedang kesurupan.
Bahkan, masyarakat masih meyakini mitos yang ada sejak ribuan tahun lalu soal epilepsi. Stigma atau persepsi yang salah terhadap epilepsi juga masih terjadi, baik di negara maju maupun di negara berkembang, yang tentunya berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan optimal bagi orang dengan epilepsi (ODE).
Salah satu mitos tersebut adalah bahwa penyakit epilepsi itu menular melalui air liur yang keluar saat orang dengan epilepsi mengalami kejang-kejang.
Untuk itu, diperlukan edukasi sekaligus layanan terapi atau pengobatan epilepsi yang optimal agar tercapai kualitas hidup yang lebih baik, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi yang dimilikinya.
Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan (seizure), mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta mencegah timbulnya efek samping dari obat anti-epilepsi.
“Umumnya, 70?ngkitan dapat teratasi dengan satu jenis obat anti-epilepsi, sedangkan 30% sulit diatasi meskipun dengan tiga atau lebih obat anti-epilepsi yang kita sebut sebagai epilepsi refrakter,” ujar Irawati.
Pada epilepsi refrakter, alternatif pengobatan yang dapat dilakukan adalah bedah epilepsi. Namun, tidak semua orang dengan epilepsi dapat menjalani terapi bedah epilepsi.
Dokter yang mengkhususkan pada bidang epilepsi akan melakukan beberapa pemeriksaan dan evaluasi sebelum tindakan operasi dilakukan. Epilepsi refrakter sendiri adalah epilepsi dengan bangkitan berulang, meski telah tercapai kadar terapi obat anti-epilepsi dalam satu tahun terakhir.
Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan obat anti-epilepsi untuk mengkontrol focus epileptic, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidaktaatan minum obat anti-epilepsi, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. Sekitar 25%-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi refrakter.
Bila tindakan pembedahan juga tidak memungkinkan, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah diet ketogenik (ketogenic diet) dan stimulasi saraf vagus (nervus vagus stimulation).
Irawati mengatakan Rumah Sakit Bunda membuka Bunda Neuro Center guna melayani penanganan epilepsi secara menyeluruh oleh tim psikolog atau psikiater, dokter spesialis saraf, spesialis bedah saraf, dan layanan fisioterapi profesional di bawah satu atap.
Tim Bunda Neuro Center juga didukung oleh tim dokter spesialis lain di RSU Bunda Jakarta dalam penanganan setiap kasus yang sifatnya lebih spesifik apabila pasien mempunyai faktor-faktor penyulit.
“Tim dokter Bunda Neuro Center kami didukung oleh peralatan diagnostik canggih untuk membantu proses diagnosis, memonitor gangguan neurologis dan mengatasi gangguan pada saraf, otak, dan tulang belakang seperti MRI dan MRA, CT-scan, C-arm, Transcranial Doppler (TCD), Electro encephalogram (EEG), Carotic Ultra sound, dan Brain Angiography,” kata Irawati.
Editor: Fajar Sidik
Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Bunda Jakarta Irawati Hawari menjelaskan pada suatu serangan epilepsi, terjadi aktivitas listrik abnormal di otak dengan bentuk manifestasi berupa serangan-serangan kejang atau bentuk lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran serta perubahan lain yang hilang timbul, baik yang terasa atau terlihat.
“Bagi orang tua khususnya, harus mewaspadai demam tinggi yang terlalu sering pada anak. Bisa jadi itu mengarah pada penyakit ini,” katanya dikutip dari Bisnis Weekend edisi 9 Agustus 2015.
Baca juga: Kenali Gejala & 6 Penyebab Meningitis atau Radang Selaput Otak
Penyebab lain gangguan listrik di otak antara lain kerusakan jaringan, misalnya, tumor otak, cedera kepala, atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit seperti infeksi otak (meningitis, encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika, serta sekitar 30% tidak diketahui penyebabnya.
Manifestasi serangan dapat berbeda-beda karena tergantung pada fungsi otak mana yang terganggu. Masyarakat umumnya hanya mengetahui bahwa serangan epilepsi berbentuk kejang kelojotan disertai mulut berbusa.
Selain bentuk yang berupa kejang-kejang, manifestasi serangan juga dapat berupa hilangnya kesadaran sesaat atau bengong, tiba-tiba menjatuhkan atau melempar benda yang dipegang, atau terjadi perubahan perilaku yang tiba-tiba, sehingga tak jarang dikira sedang kesurupan.
Bahkan, masyarakat masih meyakini mitos yang ada sejak ribuan tahun lalu soal epilepsi. Stigma atau persepsi yang salah terhadap epilepsi juga masih terjadi, baik di negara maju maupun di negara berkembang, yang tentunya berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan optimal bagi orang dengan epilepsi (ODE).
Salah satu mitos tersebut adalah bahwa penyakit epilepsi itu menular melalui air liur yang keluar saat orang dengan epilepsi mengalami kejang-kejang.
Untuk itu, diperlukan edukasi sekaligus layanan terapi atau pengobatan epilepsi yang optimal agar tercapai kualitas hidup yang lebih baik, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi yang dimilikinya.
Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan (seizure), mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta mencegah timbulnya efek samping dari obat anti-epilepsi.
“Umumnya, 70?ngkitan dapat teratasi dengan satu jenis obat anti-epilepsi, sedangkan 30% sulit diatasi meskipun dengan tiga atau lebih obat anti-epilepsi yang kita sebut sebagai epilepsi refrakter,” ujar Irawati.
Pada epilepsi refrakter, alternatif pengobatan yang dapat dilakukan adalah bedah epilepsi. Namun, tidak semua orang dengan epilepsi dapat menjalani terapi bedah epilepsi.
Dokter yang mengkhususkan pada bidang epilepsi akan melakukan beberapa pemeriksaan dan evaluasi sebelum tindakan operasi dilakukan. Epilepsi refrakter sendiri adalah epilepsi dengan bangkitan berulang, meski telah tercapai kadar terapi obat anti-epilepsi dalam satu tahun terakhir.
Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan obat anti-epilepsi untuk mengkontrol focus epileptic, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidaktaatan minum obat anti-epilepsi, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. Sekitar 25%-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi refrakter.
Bila tindakan pembedahan juga tidak memungkinkan, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah diet ketogenik (ketogenic diet) dan stimulasi saraf vagus (nervus vagus stimulation).
Irawati mengatakan Rumah Sakit Bunda membuka Bunda Neuro Center guna melayani penanganan epilepsi secara menyeluruh oleh tim psikolog atau psikiater, dokter spesialis saraf, spesialis bedah saraf, dan layanan fisioterapi profesional di bawah satu atap.
Baca juga: Tukul Arwana Terkena Pendarahan Otak, Begini Cara Mencegahnya
Tim ini sudah berpengalaman menangani kasus pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa. Konsep penanganan setiap kasus menggunakan metode diagnosis, terapi, dan tindakan secara tim yang mengutamakan optimalisasi penyembuhan, neuro restorasi, dan keselamatan pasien.Tim Bunda Neuro Center juga didukung oleh tim dokter spesialis lain di RSU Bunda Jakarta dalam penanganan setiap kasus yang sifatnya lebih spesifik apabila pasien mempunyai faktor-faktor penyulit.
“Tim dokter Bunda Neuro Center kami didukung oleh peralatan diagnostik canggih untuk membantu proses diagnosis, memonitor gangguan neurologis dan mengatasi gangguan pada saraf, otak, dan tulang belakang seperti MRI dan MRA, CT-scan, C-arm, Transcranial Doppler (TCD), Electro encephalogram (EEG), Carotic Ultra sound, dan Brain Angiography,” kata Irawati.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.