Pengin Bahagia? Yuk Gali Inspirasi dari Sosok Perempuan Pekerja Sosial Ini
25 June 2022 |
16:00 WIB
Hidup berkecukupan dan bisa mendapatkan apa yang diinginkan, tidak cukup membuat sosok Amalia Medina Madjidhan—biasa disapa Ina—merasakan kebahagiaan. Perempuan yang beberapa kali dianugerahi gelar inspiring woman, dikenal aktif dalam gerakan sosial yakni #gerakanBERBAGI.
Gerakan Berbagi yang diprakarsai oleh Ina bertujuan untuk anak-anak generasi penerus bangsa mendapatkan perlindungan, kesehatan, dan pendidikan yang layak dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan kepedulian pada sesama.
Caranya dengan melakukan aksi nyata dengan rasa empat terhadap mereka yang memerlukan bantuan dan pemberdayaan, agar setiap anak dari keluarga yang kurang tidak mampu dapat berkesempatan yang sama untuk akses kesehatan dan pendidikan yang layak. Kesadaran untuk terjun dalam gerakan sosial dimulai pada Mei 2010.
”Seusai salat, hati saya seperti terketuk. Saya merasa hidup saya sama saja. Datar. Hari ini, kemarin, minggu lalu. Ibarat gelas, hidup saya sudah penuh dan membutuhkan air baru. Caranya dengan menuangkan air yang mengisi gelas saya kepada sesama,” tuturnya.
Malam itu, Ina langsung berinisiatif untuk membagikan nasi bungkus kepada masyarakat kurang mampu. Gerakan membagi nasi bungkus yang dilakukan setiap hari Jumat ini, menjadi cikal bakal Gerakan Berbagi, awalnya hanya membagikan 50 nasi bungkus saja.
Namun, berkat bantuan tema-teman, gerakan ini kemudian mampu memberikan 750 nasi bungkus kepada masyarakat kurang mampu. Tepat pada saat terjadinya musibah letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Ina terjun langsung untuk menjadi relawan di kota Gudeg itu. Momentum ini semakin menyadarkan Ina untuk mengembangkan bentuk bantuan sosialnya.
Banyak ide yang mampir di benak Ina, termasuk upaya untuk memberikan bantuan pendidikan, pengobatan, dan program pemberdayaan masyarakat. Pada tahun yang sama, Ina kembali berangkat menjadi relawan saat kepulauan Mentawai di Sumatra Barat dilanda gempa.
Di tempat ini, kegiatan sosialnya jauh lebih berkembang. Dia dan timnya tidak hanya membantu makanan, pendidikan, dan obat- obatan, tetapi dipercaya pemerintah daerah untuk menyalurkan logistik. ”Saat itu hampir semua akses di Mentawai terputus, banyak orang terisolasi karena motor dan mobil tak bisa mengantar bantuan. Saya mendapatkan ide untuk mendatangkan sepeda gunung,” katanya.
Tiga puluh sepeda gunung digunakan untuk mendistribusikan bantuan. Sepeda itu didapatkannya dari jaringan pertemanan yang dimilikinya. Berkat ide brilian ini, masyarakat yang tinggal di wilayah yang terisolasi di Mentawai mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Keberhasilan ide dari Ina ini membuat pemerintah daerah memberikan kepercayaan kepadanya untuk memimpin pendistribusian barang melalui kapal cepat. Pertolongan dan contoh tulus yang dilakukan Ina membuatnya mendapatkan simpati dari masyarakat. Di daerah muncul ratusan relawan yang bernaung di bawah nama #gerakanBERBAGI.
Seusai penanganan bencana dilakukan, ternyata anggota dari gerakan ini semakin bertambah. Guna mengakomodasikan jumlah anggota yang terus meningkat, dan sebagai wujud transparansi agar segala bantuan masyarakat yang dipercayakan kepada gerakan yang dipimpinnya dapat dipertanggung jawabkan, maka Ina mulai mengurus legalitas gerakannya.
Pada 2012, gerakan ini mendapatkan izin resmi dan berstatus sebagai badan hukum. Selain terlibat dalam aksi sosial yang bersifat musibah, Ina dan anggota lainnya rutin melakukan pendampingan kepada anak-anak penderita kanker di sejumlah rumah sakit di Jakarta.
Setiap akhir pekan, dia rela meluangkan waktunya dan mengurangi jam kerjanya yang saat ini aktif sebagai instruktur senam, untuk melakukan pendampingan pasien. Saat aktif melakukan kegiatan pendampingan di rumah sakit, Ina mengetahui bahwa kegiatan sosial harus linier dengan gerakan donor darah khusus trombosit.
Dia mengatakan kesadaran ini muncul saat jumlah anak-anak penderita kanker yang meninggal cukup berdekatan. ”Jadi si A hari ini saya temenin, besok lusa meningal. Lalu selanjutnya si B saya temenin, tidak lama meninggal juga. Begitu seterusnya,” ungkapnya.
Dokter menginformasikan peristiwa tersebut terjadi karena di berbagai rumah sakit kekurangan pendonor khusus trombosit (trombo apheresis) yang dibutuhkan pasien penderita kanker. Mendengar hal tersebut, Ina lalu menyodorkan diri untuk mendonorkan darah. Namun, pendonor darah khusus ini harus memiliki berat badan yang sudah ditentukan. Dia sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat pendonor trombosit. “Saya sempat menaikan berat badan saya untuk kebutuhan tersebut,” ujarnya.
Kembali lagi, berbekal jaringannya yang luas, akhirnya dia berhasil mengumpulkan lima orang kawannya yang bersedia secara rutin mendonorkan trombositnya. Berkat aksinya tersebut, beberapa pasien kanker dapat dibantu secara maksimal.
Berawal dari kegiatan donor trombosit yang hanya diikuti oleh lima orang, sekarang ini selama dua kali dalam sebulan, Ina dapat menjaring 60 orang pendonor. Kegiatan ini pula yang mendasari Ina membuka lini kegiatan sosial baru yang dinamainya #dondarSIAGA.
Selain memberikan bantuan berupa donor darah dan memberikan pendampingan bagi pasien kanker, Ina juga mendampingi sekaligus mengedukasi orang tua para penderita. Mereka diberikan pemahaman untuk ikhlas melepas anaknya pada saat-saat terakhir, sehingga sang anak dapat meninggal secara bermartabat.
Berdasarkan riset pribadi, sebagian besar penderita kanker di usia dini yang di bawa ke rumah sakit oleh orang tuanya, telah mencapai stadium lanjut dan divonis dokter tidak lagi berumur panjang. Akibatnya orang tua yang tidak siap, akan meminta kepada dokter untuk mengerahkan segala bentuk usaha pertolongannya pada anak.
”Anak kan malah tersiksa. Dia dipaksakan untuk terus hidup dengan segala obat dan alat yang bermacam-macam itu. Jadi misi kami adalah membuat orang tua itu siap, jadi mereka bisa ikhlas,” tuturnya.
Kegiatan sosial yang dilakukan Ina dan tim sudah banyak dinikmati masyarakat, a.l. bantuan pendidikan berupa biaya sekola kepada 150 anak di Jakarta, dan bantuan kesehatan agar bebas malaria pada 1.000 anak di Ende, Nusa Tenggara Timur. Di antara peristiwa menyenangkan saat melakukan bantuan sosial, Ina mengakui program sosial yang diberikannya tidak selalu diterima masyarakat dengan baik.
SUKA DUKA
Dia mencontohkan program pemberdayaan kepada masyarakat dan anak-anak di Kampung Melayu, Jakarta tidak berhasil dengan baik. Dia mengatakan masalah mentalitas menjadi faktor utama yang belum terpecahkan. ”Saya kapok, susah sekali perbaiki pola pikir mereka. Kami berikan bantuan alat sekolah, dijual sama orangtua mereka. Kami bantu keterampilan, mereka tak mau,” ungkapnya.
Suka duka yang dialami Ina sebagai penggiat #gerakanBERBAGI tidak lepas dari dukungan anak semata wayangnya, Andina Firasha Zahra. Ina mengatakan selalu menyertakan anak dalam kegiatan sosial yang dilakoninya. Menurutnya, melibatkan anak dalam kegiatan sosial adalah keputusan tepat. Upaya ini termasuk mengedukasi anak untuk selalu siap menghadapi kehidupan, termasuk saat ajal menjemput.
”Bagi orang lain mungkin tabu membicarakan kematian kepada anak. Namun, bagi saya, dia harus siap, begitu pula saya. Dengan melihat keadaan di rumah sakit, dia jadi tahu apa yang harus diperbuat ketika saya meninggal misalnya. Intinya menjadi lebih siap,” katanya.
Selain itu pula, keterlibatan anaknya dalam setiap kegiatan sosial sebagai wujud memberikan pendidikan nilai kepada anak. Hal ini memotivasinya untuk terus menjalankan kegiatan sosial. Kegiatannya yang tidak berjarak dengan kematian, yang membantunya lebih siap dan ikhlas saat ayahnya meninggal dunia pada 2010.
”Beruntung saya disiapkan Allah dari 2010 untuk memahami kematian. Coba kalau tidak, mungkin saya sudah ikut menyusul ayah saya ke liang lahat karena tidak siap,” katanya.
Berkat berbagai pengalaman dan belajar dari kehidupan seperti inilah wanita penggemar kucing ini merasa jauh lebih bahagia. ”Saya pastikan kegiatan sosial merupakan hobi sekaligus pekerjaan utama saya."
Catatan redaksi: artikel diambil dari BI Weeken edisi 7 Juni 2015.
Editor: Fajar Sidik
Gerakan Berbagi yang diprakarsai oleh Ina bertujuan untuk anak-anak generasi penerus bangsa mendapatkan perlindungan, kesehatan, dan pendidikan yang layak dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan kepedulian pada sesama.
Caranya dengan melakukan aksi nyata dengan rasa empat terhadap mereka yang memerlukan bantuan dan pemberdayaan, agar setiap anak dari keluarga yang kurang tidak mampu dapat berkesempatan yang sama untuk akses kesehatan dan pendidikan yang layak. Kesadaran untuk terjun dalam gerakan sosial dimulai pada Mei 2010.
”Seusai salat, hati saya seperti terketuk. Saya merasa hidup saya sama saja. Datar. Hari ini, kemarin, minggu lalu. Ibarat gelas, hidup saya sudah penuh dan membutuhkan air baru. Caranya dengan menuangkan air yang mengisi gelas saya kepada sesama,” tuturnya.
Malam itu, Ina langsung berinisiatif untuk membagikan nasi bungkus kepada masyarakat kurang mampu. Gerakan membagi nasi bungkus yang dilakukan setiap hari Jumat ini, menjadi cikal bakal Gerakan Berbagi, awalnya hanya membagikan 50 nasi bungkus saja.
Namun, berkat bantuan tema-teman, gerakan ini kemudian mampu memberikan 750 nasi bungkus kepada masyarakat kurang mampu. Tepat pada saat terjadinya musibah letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Ina terjun langsung untuk menjadi relawan di kota Gudeg itu. Momentum ini semakin menyadarkan Ina untuk mengembangkan bentuk bantuan sosialnya.
Banyak ide yang mampir di benak Ina, termasuk upaya untuk memberikan bantuan pendidikan, pengobatan, dan program pemberdayaan masyarakat. Pada tahun yang sama, Ina kembali berangkat menjadi relawan saat kepulauan Mentawai di Sumatra Barat dilanda gempa.
Di tempat ini, kegiatan sosialnya jauh lebih berkembang. Dia dan timnya tidak hanya membantu makanan, pendidikan, dan obat- obatan, tetapi dipercaya pemerintah daerah untuk menyalurkan logistik. ”Saat itu hampir semua akses di Mentawai terputus, banyak orang terisolasi karena motor dan mobil tak bisa mengantar bantuan. Saya mendapatkan ide untuk mendatangkan sepeda gunung,” katanya.
Tiga puluh sepeda gunung digunakan untuk mendistribusikan bantuan. Sepeda itu didapatkannya dari jaringan pertemanan yang dimilikinya. Berkat ide brilian ini, masyarakat yang tinggal di wilayah yang terisolasi di Mentawai mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.
Keberhasilan ide dari Ina ini membuat pemerintah daerah memberikan kepercayaan kepadanya untuk memimpin pendistribusian barang melalui kapal cepat. Pertolongan dan contoh tulus yang dilakukan Ina membuatnya mendapatkan simpati dari masyarakat. Di daerah muncul ratusan relawan yang bernaung di bawah nama #gerakanBERBAGI.
Seusai penanganan bencana dilakukan, ternyata anggota dari gerakan ini semakin bertambah. Guna mengakomodasikan jumlah anggota yang terus meningkat, dan sebagai wujud transparansi agar segala bantuan masyarakat yang dipercayakan kepada gerakan yang dipimpinnya dapat dipertanggung jawabkan, maka Ina mulai mengurus legalitas gerakannya.
Pada 2012, gerakan ini mendapatkan izin resmi dan berstatus sebagai badan hukum. Selain terlibat dalam aksi sosial yang bersifat musibah, Ina dan anggota lainnya rutin melakukan pendampingan kepada anak-anak penderita kanker di sejumlah rumah sakit di Jakarta.
Setiap akhir pekan, dia rela meluangkan waktunya dan mengurangi jam kerjanya yang saat ini aktif sebagai instruktur senam, untuk melakukan pendampingan pasien. Saat aktif melakukan kegiatan pendampingan di rumah sakit, Ina mengetahui bahwa kegiatan sosial harus linier dengan gerakan donor darah khusus trombosit.
Dia mengatakan kesadaran ini muncul saat jumlah anak-anak penderita kanker yang meninggal cukup berdekatan. ”Jadi si A hari ini saya temenin, besok lusa meningal. Lalu selanjutnya si B saya temenin, tidak lama meninggal juga. Begitu seterusnya,” ungkapnya.
Dokter menginformasikan peristiwa tersebut terjadi karena di berbagai rumah sakit kekurangan pendonor khusus trombosit (trombo apheresis) yang dibutuhkan pasien penderita kanker. Mendengar hal tersebut, Ina lalu menyodorkan diri untuk mendonorkan darah. Namun, pendonor darah khusus ini harus memiliki berat badan yang sudah ditentukan. Dia sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat pendonor trombosit. “Saya sempat menaikan berat badan saya untuk kebutuhan tersebut,” ujarnya.
Kembali lagi, berbekal jaringannya yang luas, akhirnya dia berhasil mengumpulkan lima orang kawannya yang bersedia secara rutin mendonorkan trombositnya. Berkat aksinya tersebut, beberapa pasien kanker dapat dibantu secara maksimal.
Berawal dari kegiatan donor trombosit yang hanya diikuti oleh lima orang, sekarang ini selama dua kali dalam sebulan, Ina dapat menjaring 60 orang pendonor. Kegiatan ini pula yang mendasari Ina membuka lini kegiatan sosial baru yang dinamainya #dondarSIAGA.
Selain memberikan bantuan berupa donor darah dan memberikan pendampingan bagi pasien kanker, Ina juga mendampingi sekaligus mengedukasi orang tua para penderita. Mereka diberikan pemahaman untuk ikhlas melepas anaknya pada saat-saat terakhir, sehingga sang anak dapat meninggal secara bermartabat.
Berdasarkan riset pribadi, sebagian besar penderita kanker di usia dini yang di bawa ke rumah sakit oleh orang tuanya, telah mencapai stadium lanjut dan divonis dokter tidak lagi berumur panjang. Akibatnya orang tua yang tidak siap, akan meminta kepada dokter untuk mengerahkan segala bentuk usaha pertolongannya pada anak.
”Anak kan malah tersiksa. Dia dipaksakan untuk terus hidup dengan segala obat dan alat yang bermacam-macam itu. Jadi misi kami adalah membuat orang tua itu siap, jadi mereka bisa ikhlas,” tuturnya.
Kegiatan sosial yang dilakukan Ina dan tim sudah banyak dinikmati masyarakat, a.l. bantuan pendidikan berupa biaya sekola kepada 150 anak di Jakarta, dan bantuan kesehatan agar bebas malaria pada 1.000 anak di Ende, Nusa Tenggara Timur. Di antara peristiwa menyenangkan saat melakukan bantuan sosial, Ina mengakui program sosial yang diberikannya tidak selalu diterima masyarakat dengan baik.
SUKA DUKA
Dia mencontohkan program pemberdayaan kepada masyarakat dan anak-anak di Kampung Melayu, Jakarta tidak berhasil dengan baik. Dia mengatakan masalah mentalitas menjadi faktor utama yang belum terpecahkan. ”Saya kapok, susah sekali perbaiki pola pikir mereka. Kami berikan bantuan alat sekolah, dijual sama orangtua mereka. Kami bantu keterampilan, mereka tak mau,” ungkapnya.
Suka duka yang dialami Ina sebagai penggiat #gerakanBERBAGI tidak lepas dari dukungan anak semata wayangnya, Andina Firasha Zahra. Ina mengatakan selalu menyertakan anak dalam kegiatan sosial yang dilakoninya. Menurutnya, melibatkan anak dalam kegiatan sosial adalah keputusan tepat. Upaya ini termasuk mengedukasi anak untuk selalu siap menghadapi kehidupan, termasuk saat ajal menjemput.
”Bagi orang lain mungkin tabu membicarakan kematian kepada anak. Namun, bagi saya, dia harus siap, begitu pula saya. Dengan melihat keadaan di rumah sakit, dia jadi tahu apa yang harus diperbuat ketika saya meninggal misalnya. Intinya menjadi lebih siap,” katanya.
Selain itu pula, keterlibatan anaknya dalam setiap kegiatan sosial sebagai wujud memberikan pendidikan nilai kepada anak. Hal ini memotivasinya untuk terus menjalankan kegiatan sosial. Kegiatannya yang tidak berjarak dengan kematian, yang membantunya lebih siap dan ikhlas saat ayahnya meninggal dunia pada 2010.
”Beruntung saya disiapkan Allah dari 2010 untuk memahami kematian. Coba kalau tidak, mungkin saya sudah ikut menyusul ayah saya ke liang lahat karena tidak siap,” katanya.
Berkat berbagai pengalaman dan belajar dari kehidupan seperti inilah wanita penggemar kucing ini merasa jauh lebih bahagia. ”Saya pastikan kegiatan sosial merupakan hobi sekaligus pekerjaan utama saya."
Catatan redaksi: artikel diambil dari BI Weeken edisi 7 Juni 2015.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.