Kedekatan Sukarno dan Arsitek Silaban, Orang di Balik Master Plan Kawasan Medan Merdeka hingga Stadion Gelora Bung Karno
30 May 2022 |
16:15 WIB
Presiden geram dengan Silaban
Setiadi mengatakan, Bung Karno sempat kesal dengan argumen Silaban tersebut. Sedangkan Silaban, imbuh Setiadi, merekomendasikan GBK dibangun di area luar kota yang terhubung dengan jalan raya dan bangunan tersebut cukup monumental untuk dinikmati. Akhirnya pilihan jatuh ke kawasan Senayan.
“Akhirnya penentuan GBK di Senayan membuat Jakarta berkembang lebih masif ke selatan. Jalan Thamrin dan Sudirman kemudian menjadi tegas dan Bundaran Semanggi pun dibangun,” ujarnya.
“Akhirnya penentuan GBK di Senayan membuat Jakarta berkembang lebih masif ke selatan. Jalan Thamrin dan Sudirman kemudian menjadi tegas dan Bundaran Semanggi pun dibangun,” ujarnya.
Panggilan Sil dan Perdebatan Monas
Sukarno dan Silaban. (Sumber gambar: arsitekturindonesia.org)
Kisah kedekatan Sukarno dan Silaban lainnya dituturkan oleh Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich Silaban. Poltak mengungkapkan pernah satu hari, ayahnya keluar dari Istana Negara dengan wajah tampak sebal. Sehabis itu, Silaban langsung masuk mobil dan menginjak gas sekencang-kencangnya keluar istana.
Sampai di pintu Istana, tiba-tiba mobil Silaban disusul oleh mobil staf kepresidenan. Mereka meminta Silaban untuk balik lagi ke dalam Istana. Poltak menduga, perbedatan ayahnya dengan Sukarno terkait proyek pembangunan Monumen Nasional pada saat itu.
“Akhirnya kembali lagi ke Istana. Setelah keluar lagi wajahnya [Silaban] sudah terlihat tenang. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” ujarnya.
Tiap kunjungan ke luar negeri, imbuhnya, Sukarno kerap mengajak ayahnya untuk melihat-lihat arsitektur di sejumlah negera seperti Amerika, Eropa, dan Jepang. “Kalau dilihat dari foto mereka [Silaban dan Sukarno] terlihat mereka sangat akrab sudah seperti saudara,” ujarnya.
Begitu akrabnya, Poltak mengungkapkan Sukarno memiliki panggilan khusus untuk Silaban. Sukarno, ujar Poltak, enggan memanggil dengan nama Silaban. Alasannya, nama tersebut ‘kurang ajar’ karena seperti memanggil si Amir, si Hasan, dan si yang lainnya. “Beliau [Sukarno] panggil Silaban dengan panggilan Sil.”
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.