Reviu Srimulat: Tak Ada yang 'Mustahal', Kecuali Cerita Filmnya
26 May 2022 |
15:00 WIB
Urip ning nduwur panggung ki mung sementara, dadi seniman kui kudu midak lemah. Hidup di atas panggung itu hanya sementara, jadi seniman itu harus menginjak tanah. Kalimat yang diucapkan Rokman Rosadi sebagai Pak Teguh itu seharusnya bisa menjadi salah satu ‘gong’ dari film Srimulat: Hil yang Mustahal.
Sayangnya, dalam film, kutipan dialog itu hanya direspons dengan gestur guyon dari salah satu anggota Srimulat dengan kaki yang menginjak ke lantai. Dialog itu pun tidak dibarengi dengan akting atau gesture yang menguatkan bahwa para personel Srimulat lupa diri dengan ketenarannya.
Itu adalah salah satu dari sekian konflik tanggung yang ada dalam film garapan Fajar Nugros itu.
Baca juga: Tayang 19 Mei, Simak 5 Fakta Menarik Film Srimulat: Hil yang Mustahal
Dari awal, film ini memang sudah digadang-gadang akan mencoba mengembalikan ruh Srimulat dalam bentuk wajah yang lebih kekinian. Harapannya, film ini akan menjadi medium bagi masyarakat untuk lebih mengenal grup lawak legendaris Indonesia, terlebih bagi kalangan milenial dan generasi Z.
Meski sudah terbentuk sejak tahun 1950, film ini berfokus pada kisah Srimulat medio 1980-an mana kala karier Srimulat mulai menanjak, sehingga menjadi grup lawak pertama yang tampil di televisi nasional Indonesia.
Sebagai sebuah film bergenre komedi, film berdurasi selama kurang lebih dua jam ini padat dengan dagelan slapstick khas Srimulat. Mulai dari kaki pura-pura hilang, gelas mau diminum malah menempel ke mata, orang hendak duduk merosot terus dan banyolan lainnya yang menjadi ciri khas Srimulat.
Komedi slapstick semacam itu tentu mudah terbaca. Anehnya, itu justru tetap mampu mengocok perut penonton selama film diputar. Terlena dengan suguhan komedi, sayangnya film ini justru tidak memiliki cerita yang kuat. Tidak jelas apa yang ingin film ini sampaikan.
Apakah ingin menceritakan perjalanan jatuh bangun Gepeng untuk bisa diterima menjadi anggota Srimulat termasuk mengejar cintanya dengan Royani? Atau ingin menceritakan awal mula perjalanan Srimulat di Ibu Kota? Semua itu disatupadukan menjadi sesuatu yang berantakan di babak awal film ini.
Padahal, ada sejumlah potensi konflik yang bisa dikembangkan dalam film ini. Misalnya, ketika para anggota Srimulat dianggap remeh di Jakarta, sebagai orang kampungan dari Jawa. Ketidakpiawaian mereka berbahasa Indonesia jadi penghambat Srimulat untuk menjadi besar di Ibu Kota.
Seperti yang dituliskan Hikmat Darmawan, Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta, yang menyebut bahwa wacana dalam film itu bisa menjadi bahan diskusi menarik tentang politik bahasa Indonesia dalam budaya populer kita.
Sebagai film biopik Srimulat, film ini juga tidak bisa memberikan perkenalan yang apik mengenai background atau latar belakang para personel Srimulat kecuali Gepeng, itupun tidak diulik terlalu dalam.
Sebenarnya, film ini juga telah memberikan kisi-kisi jika para karakter lain juga memiliki problematikanya masing-masing. Tessy yang tak kunjung lucu di atas panggung, Asmuni yang harus bisa menggantikan peran Pak Teguh untuk mengawaki para personel Srimulat di Jakarta, Tarzan yang mulai menyukai dunia militer atau Nunung yang terus menerus ingin tampil sebagai penyanyi dalam pertunjukan.
Uraian tentang keresahan para pemain itu ditampilkan dalam adegan montase ketika mereka hendak pergi ke Jakarta tetapi tidak terlalu berkesan dan berlalu begitu saja. Kalau saja alur ceritanya mengalir dengan konflik yang kuat, ditambah keresahan para karakter lainnya, mungkin cerita film ini akan jadi lebih menggigit.
Atau, ini memang siasat yang telah disiapkan Fajar Nugros untuk melanjutkan ceritanya di babak kedua nanti. Meski begitu, pembuka konflik yang menarik juga tetap penting untuk menjaga hasrat penonton ingin menyaksikan kelanjutan cerita.
Baca juga: Mari Berkenalan dengan 10 Tokoh Ikonik dalam Film Srimulat: Hil yang Mustahal
Dalam film juga ada beberapa adegan yang cukup memakan waktu tetapi tidak memberikan substansi cerita yang jelas. Misalnya adegan hantu-hantuan di rumah kontrakan Srimulat yang dihadirkan beberapa kali. Sisipan-sisipan semacam itu terkesan hanya untuk memperpanjang waktu film.
Meski demikian, kehadiran para aktor yang mencoba mengembalikan ruh Srimulat ke dalam versi layar lebar juga sangat perlu diapresiasi. Ibnu Jamil yang sukses menduplikasi Tarsan, Teuku Rifnu Wikana yang ciamik menjadi Asmuni, Morgan Oey yang secara mengejutkan tampil layaknya Paul, kemayu Zulfa Maharani yang sangat mengingatkan dengan sosok Nunung serta Dimas Anggara yang terlihat bersikeras untuk bisa menyerupai Timbul.
Namun, ada dua nama yang benar-benar mencuri perhatian dalam film ini yakni Bio One sebagai Gepeng dan Elang El Gibran sebagai Basuki. Bio One secara totalitas menjelma menjadi Gepeng mulai dari penampilan wajah, postur badan, gaya bicara dan tingkah lakunya.
Jika tempo hari Fajar Nugros menginginkan Gepeng sebagai sosok yang miskin dan akrab dengan hidup susah, Bio One telah benar-benar memperlihatkannya. Observasi peran mati-matian yang dilakukannya benar-benar terbayar tuntas.
Begitupun dengan Elang El Gibran. Dia juga totalitas untuk menghidupkan karakter Basuki. Cara bicaranya, aktingnya bahkan sekilas rupa wajahnya benar-benar nyaris serupa dengan pemeran Mas Karyo dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu. Kepiawaiannya berakting di film ini bisa menjadi gerbang awal untuk membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan peran di film-film lain.
Tak boleh terlewat dibahas juga adalah penyajian latar waktu tahun 1980-an yang diambil dalam film. Fajar Nugros berhasil menghadirkan nuansa tahun 1980-an dan terlihat dari awal scene film mulai dari set lokasi, properti, wardrobe, riasan hingga video-video footage tahun 1980-an yang disisipkan dalam film.
Begitupun dengan warna film, scoring hingga pengambilan gambar, Fajar Nugros berhasil menggarapnya dengan sangat baik. Di samping segala kelebihan dan kekurangannya film Srimulat: Hil yang Mustahal, memang sudah saatnya Indonesia tertawa.
Sayangnya, dalam film, kutipan dialog itu hanya direspons dengan gestur guyon dari salah satu anggota Srimulat dengan kaki yang menginjak ke lantai. Dialog itu pun tidak dibarengi dengan akting atau gesture yang menguatkan bahwa para personel Srimulat lupa diri dengan ketenarannya.
Itu adalah salah satu dari sekian konflik tanggung yang ada dalam film garapan Fajar Nugros itu.
Baca juga: Tayang 19 Mei, Simak 5 Fakta Menarik Film Srimulat: Hil yang Mustahal
Dari awal, film ini memang sudah digadang-gadang akan mencoba mengembalikan ruh Srimulat dalam bentuk wajah yang lebih kekinian. Harapannya, film ini akan menjadi medium bagi masyarakat untuk lebih mengenal grup lawak legendaris Indonesia, terlebih bagi kalangan milenial dan generasi Z.
Meski sudah terbentuk sejak tahun 1950, film ini berfokus pada kisah Srimulat medio 1980-an mana kala karier Srimulat mulai menanjak, sehingga menjadi grup lawak pertama yang tampil di televisi nasional Indonesia.
Sebagai sebuah film bergenre komedi, film berdurasi selama kurang lebih dua jam ini padat dengan dagelan slapstick khas Srimulat. Mulai dari kaki pura-pura hilang, gelas mau diminum malah menempel ke mata, orang hendak duduk merosot terus dan banyolan lainnya yang menjadi ciri khas Srimulat.
Komedi slapstick semacam itu tentu mudah terbaca. Anehnya, itu justru tetap mampu mengocok perut penonton selama film diputar. Terlena dengan suguhan komedi, sayangnya film ini justru tidak memiliki cerita yang kuat. Tidak jelas apa yang ingin film ini sampaikan.
Apakah ingin menceritakan perjalanan jatuh bangun Gepeng untuk bisa diterima menjadi anggota Srimulat termasuk mengejar cintanya dengan Royani? Atau ingin menceritakan awal mula perjalanan Srimulat di Ibu Kota? Semua itu disatupadukan menjadi sesuatu yang berantakan di babak awal film ini.
Padahal, ada sejumlah potensi konflik yang bisa dikembangkan dalam film ini. Misalnya, ketika para anggota Srimulat dianggap remeh di Jakarta, sebagai orang kampungan dari Jawa. Ketidakpiawaian mereka berbahasa Indonesia jadi penghambat Srimulat untuk menjadi besar di Ibu Kota.
Seperti yang dituliskan Hikmat Darmawan, Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta, yang menyebut bahwa wacana dalam film itu bisa menjadi bahan diskusi menarik tentang politik bahasa Indonesia dalam budaya populer kita.
Srimulat: Hil yang Mustahal (Sumber gambar: IDN Pictures)
Sebenarnya, film ini juga telah memberikan kisi-kisi jika para karakter lain juga memiliki problematikanya masing-masing. Tessy yang tak kunjung lucu di atas panggung, Asmuni yang harus bisa menggantikan peran Pak Teguh untuk mengawaki para personel Srimulat di Jakarta, Tarzan yang mulai menyukai dunia militer atau Nunung yang terus menerus ingin tampil sebagai penyanyi dalam pertunjukan.
Uraian tentang keresahan para pemain itu ditampilkan dalam adegan montase ketika mereka hendak pergi ke Jakarta tetapi tidak terlalu berkesan dan berlalu begitu saja. Kalau saja alur ceritanya mengalir dengan konflik yang kuat, ditambah keresahan para karakter lainnya, mungkin cerita film ini akan jadi lebih menggigit.
Atau, ini memang siasat yang telah disiapkan Fajar Nugros untuk melanjutkan ceritanya di babak kedua nanti. Meski begitu, pembuka konflik yang menarik juga tetap penting untuk menjaga hasrat penonton ingin menyaksikan kelanjutan cerita.
Baca juga: Mari Berkenalan dengan 10 Tokoh Ikonik dalam Film Srimulat: Hil yang Mustahal
Dalam film juga ada beberapa adegan yang cukup memakan waktu tetapi tidak memberikan substansi cerita yang jelas. Misalnya adegan hantu-hantuan di rumah kontrakan Srimulat yang dihadirkan beberapa kali. Sisipan-sisipan semacam itu terkesan hanya untuk memperpanjang waktu film.
Meski demikian, kehadiran para aktor yang mencoba mengembalikan ruh Srimulat ke dalam versi layar lebar juga sangat perlu diapresiasi. Ibnu Jamil yang sukses menduplikasi Tarsan, Teuku Rifnu Wikana yang ciamik menjadi Asmuni, Morgan Oey yang secara mengejutkan tampil layaknya Paul, kemayu Zulfa Maharani yang sangat mengingatkan dengan sosok Nunung serta Dimas Anggara yang terlihat bersikeras untuk bisa menyerupai Timbul.
Namun, ada dua nama yang benar-benar mencuri perhatian dalam film ini yakni Bio One sebagai Gepeng dan Elang El Gibran sebagai Basuki. Bio One secara totalitas menjelma menjadi Gepeng mulai dari penampilan wajah, postur badan, gaya bicara dan tingkah lakunya.
Jika tempo hari Fajar Nugros menginginkan Gepeng sebagai sosok yang miskin dan akrab dengan hidup susah, Bio One telah benar-benar memperlihatkannya. Observasi peran mati-matian yang dilakukannya benar-benar terbayar tuntas.
Begitupun dengan Elang El Gibran. Dia juga totalitas untuk menghidupkan karakter Basuki. Cara bicaranya, aktingnya bahkan sekilas rupa wajahnya benar-benar nyaris serupa dengan pemeran Mas Karyo dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu. Kepiawaiannya berakting di film ini bisa menjadi gerbang awal untuk membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan peran di film-film lain.
Tak boleh terlewat dibahas juga adalah penyajian latar waktu tahun 1980-an yang diambil dalam film. Fajar Nugros berhasil menghadirkan nuansa tahun 1980-an dan terlihat dari awal scene film mulai dari set lokasi, properti, wardrobe, riasan hingga video-video footage tahun 1980-an yang disisipkan dalam film.
Begitupun dengan warna film, scoring hingga pengambilan gambar, Fajar Nugros berhasil menggarapnya dengan sangat baik. Di samping segala kelebihan dan kekurangannya film Srimulat: Hil yang Mustahal, memang sudah saatnya Indonesia tertawa.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.