Lakon Srimulat, Dari Panggung ke Panggung hingga Eksis di Televisi
12 May 2022 |
20:00 WIB
Film Srimulat: Hil yang Mustahal akan segera tayang di bioskop pada 19 Mei 2022. Ditulis sekaligus disutradarai oleh Fajar Nugros, film ini akan menjadi biopik pertama dari grup lawak legendaris Srimulat yang terdiri dari dua babak.
Pada babak pertamanya, film ini akan menceritakan masa di mana karier Srimulat mulai menanjak sehingga menjadi yang grup lawak pertama yang tampil di televisi nasional Indonesia.
Meski Srimulat kerap tampil di televisi, film ini tentu akan menjadi medium untuk lebih mengenal grup lawak asal Kota Solo itu khususnya untuk bagi generasi muda.
Srimulat merupakan sebuah grup lawak yang dibentuk oleh seniman asal Solo bernama Teguh Slamet Rahardjo pada 1950. Nama Srimulat diambil dari nama istrinya, yakni Raden Ayu Srimulat yang memiliki darah ningrat dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dia merupakan putri dari Wedana Bekonang. Karena kecintaannya terhadap seni, dia memilih meninggalkan keningratannya. Dia mengawali karier di dunia seni dengan menjadi penyanyi dan pemeran sandiwara panggung. Hal itulah yang membawanya bertemu dengan Teguh Slamet Rahardjo. Keduanya lantas menikah dan mendirikan kelompok seni suara dan tari, Gema Malam Srimulat.
Rombongan seni suara dan tari ini memulai lawakan pertama mereka pada 30 Agustus 1951 dengan menampilkan tokoh-tokoh dagelan Mataram seperti Wadino (Bandempo), Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni.
Selain itu, ada juga tokoh-tokoh lain yang menjadi rombongan awal Srimulat seperti Edi Geyol, Johny Gudhel, Bendot, Djudjuk, Bambang Gentolet, Paimo, Asmuni dan Gepeng. Mereka adalah nama-nama yang mengawali lahirnya Srimulat ke panggung hiburan pada era 1950-an.
Perpaduan antara pertunjukan musik dan lawak kemudian menjadi suatu formula khas bagi Gema Malam Srimulat. Kehadiran dagelan Mataram dengan gaya lawakannya menjadi resep ampuh untuk menarik penggemar.
Lawak dan menyanyi menjadi kesatuan yang tidak bisa terpisahkan lagi. Dengan kekuatan itulah Gema Malam Srimulat kemudian berpentas dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya, di pelbagai kota di Jawa.
Transisi Srimulat
Sejak terbentuk pada 1951, Srimulat mengalami sejumlah perubahan dalam gaya melawak dan menghibur penonton. Pada awalnya, Gema Malam Srimulat adalah grup pertunjukan musik yang bermain dari kampung ke kampung, sementara lawak hanya menjadi sisipan.
Lawak baru mendapatkan porsi lebih besar ketika berganti nama menjadi Srimulat Review dan menetap di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya pada 1961. Dimulailah perjalanan sebuah komunitas kelompok musik-komedi yang mungkin secara tidak sengaja dan berproses menjadi sebuah fenomena dan menjadi sebuah subkultur baru.
Ketika banyak pementasan sarat dengan pesan dan kritik sosial, grup Srimulat justru membebaskan diri dari patron tersebut. Srimulat hadir untuk menghibur dan grup ini benar-benar merupakan perwujudan sebuah subkultur Jawa.
Setelah R.A. Srimulat meninggal pada 1 Desember 1968, Teguh melakukan perubahan fundamental dengan mengandalkan seutuhnya pada lawak. Srimulat pun tidak lagi berkeliling dari kampung ke kampung, tapi mulai fokus berkesenian di Surabaya, Jakarta dan Solo. Periode ini yang kemudian menjadi awal kesuksesan Srimulat.
Pada 1972, Srimulat kembali melebarkan sayapnya dengan melakukan ekspansi secara nasional. Grup ini rutin tampil sekali dalam empat bulan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Tentu saja ekspansi ini tidak terlepas dari beberapa tantangan, salah satunya adalah kendala bahasa yang biasa mereka pakai saat pentas. Jika biasanya mereka pentas dengan memakai bahasa Jawa, mereka harus menyesuaikan diri dengan penggunaan bahasa Indonesia.
Keputusan Teguh menerima tawaran TVRI untuk tampil di layar pada 1981 juga membuka era baru bagi Srimulat. Pasalnya, tampil di televisi memaksa Srimulat beradaptasi dengan berbagai hal seperti durasi yang hanya satu jam dan sistem blocking.
Pada era ini, nama-nama tokoh baru Srimulat pun hadir dan mulai dikenal luas masyarakat seperti Tarzan, Basuki, Tessy, Kadir, Nurbuat, Timbul, Mamiek, Rohana, Nunung, Miarsih, Polo dan Vera.
Setelah berhenti tayang di televisi, Srimulat hanya tampil di Surabaya, tepatnya di Taman Hiburan Rakyat dengan mengandalkan para pemain muda/didikan. Para pemain legendaris yang tenar lewat medium televisi banyak yang akhirnya meniti karier sendiri.
(Baca juga: Srimulat: Hil yang Mustahal, Film yang Kisahkan Grup Lawak Legendaris)
Ciri khas anggota Srimulat
Selain materi yang lucu, Srimulat juga identik dengan para anggotanya yang memiliki gaya khas masing-masing. Ciri khas ini bisa dalam bentuk yang beragam mulai dari penampilan, gaya bicara, dan celetukan-celetukan yang khas.
Sebut saja Asmuni dengan kalimat "Hil yang mustahal" dan "Tunjep poin"--maksudnya hal yang mustahil dan to the point–sudah sangat melekat padanya. Ada juga Timbul yang akan membuat penonton tertawa tatkala dia mengucapkan "Akan tetapi" dan "Justeru".
Pelawak lain seperti Mamiek Prakoso terkenal dengan kalimat "Mak bedunduk", dan "Mak jegagik", yang berarti sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Lain lagi dengan Tarzan yang selalu berpenampilan rapi ala militer. Lelaki berperawakan tinggi besar ini juga ciri khasnya tatkala melucu jarang ikut tertawa, tidak seperti Nunung dan Basuki.
Selain itu, penonton juga pasti akan langsung mengenali sosok Tessy (Kabul) dengan dandanan khasnya yang ikonik dengan cincin-cincin batunya. Sementara tokoh Pak Bendot akan menjadi lelucon ketika 'disia-siakan' oleh lawan mainnya. Begitupun Gogon, di luar gaya rambut mohawk-nya, dia mempunyai sikap berdiri yang khas sambil melipat tangan serta cara duduknya yang selalu melorot.
Eksistensi Srimulat
Kejayaan Srimulat mulai redup terutama ketika mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi yang menawarkan program-program hiburan yang tak kalah menarik. Satu per satu personel Srimulat mulai pun mulai meninggalkan grup.
Pada tahun 1989, Teguh membubarkan Srimulat. Dua tahun sebelum dibubarkan serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang, pada Agustus 1995, Gogon mengusulkan reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak penonton.
Kala itu, stasiun televisi Indosiar kembali menampilkan Srimulat dalam acara Aneka Ria Srimulat di layar televisi pada 1995-2003. Pada 2004 Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006 Srimulat kembali mendapat tawaran manggung di Indosiar dalam 36 episode.
Selain itu, mereka juga tampil di berbagai acara di beberapa stasiun televisi seperti Srimulat Plus (SCTV, 1992 & Indosiar, 2006), Srimulat Cari Bakat (antv, 2008-2011), Srimulat Night Live (NET, 2014) dan Saatnya Srimulat (Trans TV, 2015).
Terbaru, Srimulat juga tampil dalam sebuah acara komedi di Indosiar bertajuk Temu Lawak yang tayang pada 11 Juli-21 September 2020. Program ini menyuguhkan lawakan dalam setiap episodenya yang dimeriahkan oleh Kadir, Nunung, Doyok, Polo, Tessy, Rohana dan Tukul Arwana.
Editor: Indyah Sutriningrum
Pada babak pertamanya, film ini akan menceritakan masa di mana karier Srimulat mulai menanjak sehingga menjadi yang grup lawak pertama yang tampil di televisi nasional Indonesia.
Meski Srimulat kerap tampil di televisi, film ini tentu akan menjadi medium untuk lebih mengenal grup lawak asal Kota Solo itu khususnya untuk bagi generasi muda.
Srimulat merupakan sebuah grup lawak yang dibentuk oleh seniman asal Solo bernama Teguh Slamet Rahardjo pada 1950. Nama Srimulat diambil dari nama istrinya, yakni Raden Ayu Srimulat yang memiliki darah ningrat dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dia merupakan putri dari Wedana Bekonang. Karena kecintaannya terhadap seni, dia memilih meninggalkan keningratannya. Dia mengawali karier di dunia seni dengan menjadi penyanyi dan pemeran sandiwara panggung. Hal itulah yang membawanya bertemu dengan Teguh Slamet Rahardjo. Keduanya lantas menikah dan mendirikan kelompok seni suara dan tari, Gema Malam Srimulat.
Rombongan seni suara dan tari ini memulai lawakan pertama mereka pada 30 Agustus 1951 dengan menampilkan tokoh-tokoh dagelan Mataram seperti Wadino (Bandempo), Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni.
Selain itu, ada juga tokoh-tokoh lain yang menjadi rombongan awal Srimulat seperti Edi Geyol, Johny Gudhel, Bendot, Djudjuk, Bambang Gentolet, Paimo, Asmuni dan Gepeng. Mereka adalah nama-nama yang mengawali lahirnya Srimulat ke panggung hiburan pada era 1950-an.
Perpaduan antara pertunjukan musik dan lawak kemudian menjadi suatu formula khas bagi Gema Malam Srimulat. Kehadiran dagelan Mataram dengan gaya lawakannya menjadi resep ampuh untuk menarik penggemar.
Lawak dan menyanyi menjadi kesatuan yang tidak bisa terpisahkan lagi. Dengan kekuatan itulah Gema Malam Srimulat kemudian berpentas dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya, di pelbagai kota di Jawa.
Salah satu episode Srimulat berjudul Ronda, 1983 (Sumber gambar: TVRI/YouTube)
Sejak terbentuk pada 1951, Srimulat mengalami sejumlah perubahan dalam gaya melawak dan menghibur penonton. Pada awalnya, Gema Malam Srimulat adalah grup pertunjukan musik yang bermain dari kampung ke kampung, sementara lawak hanya menjadi sisipan.
Lawak baru mendapatkan porsi lebih besar ketika berganti nama menjadi Srimulat Review dan menetap di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya pada 1961. Dimulailah perjalanan sebuah komunitas kelompok musik-komedi yang mungkin secara tidak sengaja dan berproses menjadi sebuah fenomena dan menjadi sebuah subkultur baru.
Ketika banyak pementasan sarat dengan pesan dan kritik sosial, grup Srimulat justru membebaskan diri dari patron tersebut. Srimulat hadir untuk menghibur dan grup ini benar-benar merupakan perwujudan sebuah subkultur Jawa.
Setelah R.A. Srimulat meninggal pada 1 Desember 1968, Teguh melakukan perubahan fundamental dengan mengandalkan seutuhnya pada lawak. Srimulat pun tidak lagi berkeliling dari kampung ke kampung, tapi mulai fokus berkesenian di Surabaya, Jakarta dan Solo. Periode ini yang kemudian menjadi awal kesuksesan Srimulat.
Pada 1972, Srimulat kembali melebarkan sayapnya dengan melakukan ekspansi secara nasional. Grup ini rutin tampil sekali dalam empat bulan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Tentu saja ekspansi ini tidak terlepas dari beberapa tantangan, salah satunya adalah kendala bahasa yang biasa mereka pakai saat pentas. Jika biasanya mereka pentas dengan memakai bahasa Jawa, mereka harus menyesuaikan diri dengan penggunaan bahasa Indonesia.
Keputusan Teguh menerima tawaran TVRI untuk tampil di layar pada 1981 juga membuka era baru bagi Srimulat. Pasalnya, tampil di televisi memaksa Srimulat beradaptasi dengan berbagai hal seperti durasi yang hanya satu jam dan sistem blocking.
Pada era ini, nama-nama tokoh baru Srimulat pun hadir dan mulai dikenal luas masyarakat seperti Tarzan, Basuki, Tessy, Kadir, Nurbuat, Timbul, Mamiek, Rohana, Nunung, Miarsih, Polo dan Vera.
Setelah berhenti tayang di televisi, Srimulat hanya tampil di Surabaya, tepatnya di Taman Hiburan Rakyat dengan mengandalkan para pemain muda/didikan. Para pemain legendaris yang tenar lewat medium televisi banyak yang akhirnya meniti karier sendiri.
(Baca juga: Srimulat: Hil yang Mustahal, Film yang Kisahkan Grup Lawak Legendaris)
Ciri khas anggota Srimulat
Selain materi yang lucu, Srimulat juga identik dengan para anggotanya yang memiliki gaya khas masing-masing. Ciri khas ini bisa dalam bentuk yang beragam mulai dari penampilan, gaya bicara, dan celetukan-celetukan yang khas.
Sebut saja Asmuni dengan kalimat "Hil yang mustahal" dan "Tunjep poin"--maksudnya hal yang mustahil dan to the point–sudah sangat melekat padanya. Ada juga Timbul yang akan membuat penonton tertawa tatkala dia mengucapkan "Akan tetapi" dan "Justeru".
Pelawak lain seperti Mamiek Prakoso terkenal dengan kalimat "Mak bedunduk", dan "Mak jegagik", yang berarti sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Lain lagi dengan Tarzan yang selalu berpenampilan rapi ala militer. Lelaki berperawakan tinggi besar ini juga ciri khasnya tatkala melucu jarang ikut tertawa, tidak seperti Nunung dan Basuki.
Selain itu, penonton juga pasti akan langsung mengenali sosok Tessy (Kabul) dengan dandanan khasnya yang ikonik dengan cincin-cincin batunya. Sementara tokoh Pak Bendot akan menjadi lelucon ketika 'disia-siakan' oleh lawan mainnya. Begitupun Gogon, di luar gaya rambut mohawk-nya, dia mempunyai sikap berdiri yang khas sambil melipat tangan serta cara duduknya yang selalu melorot.
Eksistensi Srimulat
Kejayaan Srimulat mulai redup terutama ketika mulai bermunculan stasiun-stasiun televisi yang menawarkan program-program hiburan yang tak kalah menarik. Satu per satu personel Srimulat mulai pun mulai meninggalkan grup.
Pada tahun 1989, Teguh membubarkan Srimulat. Dua tahun sebelum dibubarkan serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang, pada Agustus 1995, Gogon mengusulkan reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak penonton.
Kala itu, stasiun televisi Indosiar kembali menampilkan Srimulat dalam acara Aneka Ria Srimulat di layar televisi pada 1995-2003. Pada 2004 Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006 Srimulat kembali mendapat tawaran manggung di Indosiar dalam 36 episode.
Selain itu, mereka juga tampil di berbagai acara di beberapa stasiun televisi seperti Srimulat Plus (SCTV, 1992 & Indosiar, 2006), Srimulat Cari Bakat (antv, 2008-2011), Srimulat Night Live (NET, 2014) dan Saatnya Srimulat (Trans TV, 2015).
Terbaru, Srimulat juga tampil dalam sebuah acara komedi di Indosiar bertajuk Temu Lawak yang tayang pada 11 Juli-21 September 2020. Program ini menyuguhkan lawakan dalam setiap episodenya yang dimeriahkan oleh Kadir, Nunung, Doyok, Polo, Tessy, Rohana dan Tukul Arwana.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.