Kasus Terus Meningkat, Akses Pengobatan Hemofilia di Indonesia Perlu diperluas
27 April 2022 |
13:24 WIB
Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah bawaan yang terjadi akibat kekurangan faktor pembekuan darah. Di Indonesia, jumlah penyandang penyakit ini terus meningkat setiap tahun dan menurut data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, ada 2.706 orang yang terdiagnosa mengalami hemofilia pada 2020.
Namun, jika dilihat secara statistik dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 270 juta orang, jumlah penyandang hemofilia di Indonesia diprediksi ada sebanyak lebih dari 28.000 pasien, sehingga belum mencapai 10 persen pasien yang terdiagnosa.
“Ini tentunya ada peran masyarakat harus lebih sadar mengenai apa itu hemofilia, juga pemeriksaan untuk diagnosa juga perlu ditingkatkan,” kata Dokter Spesialis Anak Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, dr. Novie Amelia Ghozie, Sp.A(K), dalam webinar Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Lebih lanjut, dr. Novie juga mengatakan bahwa tantangan akses untuk memperoleh pengobatan sesuai standar medis, pembiayaan, dan deteksi dini menjadi faktor penghambat penanganan hemofilia yang optimal dan berkualitas. Padahal, katanya, inovasi dan pengembangan metode pengobatan kelainan proses pembekuan darah ini secara global telah berkembang pesat, tetapi belum semua pasien di Indonesia dapat mengaksesnya.
“Meskipun metode pengobatan terkini melalui terapi inovatif sudah tercantum dalam PNPK [Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana] Hemofilia, implementasi di lapangan masih belum berjalan lancar, terutama bagi penyandang hemofilia A berat yang diperkirakan mencapai 20–30 persen dari keseluruhan kasus hemofilia A,” papar dr. Novie.
Selain itu, pengobatan metode on demand, yang diberikan hanya saat perdarahan terjadi, dinilai belum cukup efektif karena perdarahan sendi pada hemofilia A berat bisa terjadi 3–4 kali per bulan.
Akibatnya, selain waktu yang terbuang dan biaya pribadi yang harus dikeluarkan untuk mendukung pengobatan, muncul pula dampak psikologis serta risiko kecacatan dan kematian akibat perdarahan berulang yang tidak tertangani secara efektif.
(Baca juga: Kenali Penyakit Hemofilia & Gejalanya yang Patut Diwaspadai)
Para pembicara di acara webinar Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Sementara itu, dr. Novie menjelaskan standar pengobatan hemofilia di dunia telah berfokus pada pengobatan inovatif dengan penggunaan profilaksis atau terapi pencegahan untuk mengurangi kejadian perdarahan, meningkatkan luaran klinis dan memperbaiki kualitas hidup penyandang hemofilia.
“Sementara, paket INA-CBG yang ada saat ini belum memadai untuk mengakomodasi kebutuhan perluasan metode pengobatan profilaksis yang sifatnya preventif,” terang dr. Novie.
Adapun, pengobatan metode profilaksis ini dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk penderita hemofilia dengan antibodi faktor VIII, maupun obat inovatif non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab.
“Dari Data National Health Service dan standar tata laksana klinis di Inggris, Amerika Serikat dan Swedia, terapi profilaksis terbukti lebih cost-effective dibandingkan on demand dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara lebih baik,” imbuh dr. Novie.
Dari perspektif biaya, dr. Novie menambahkan bahwa pengobatan inovatif tidak selalu diasosiasikan dengan biaya yang tinggi. Terdapat beberapa pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat, namun juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat.
Menurut sebuah studi lokal menggunakan pendekatan model simulasi mengenai pemberian profilaksis dengan obat inovatif emicizumab, terbukti menghemat anggaran negara sebesar 51 milyar dalam waktu 5 tahun dibandingkan dengan tanpa emicizumab.
Studi tersebut sebelumnya telah dipresentasikan di HTAsiaLink dan Konas HMHI pada 2021 dan sedang dipersiapkan untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Dalam mewujudkan akses yang lebih luas bagi para penyandang hemofilia, perlu adanya upaya penyebaran informasi agar urgensi dan kesadaran tentang hemofilia dapat dimiliki oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Selain itu, kemitraan antara pemerintah, lembaga yang relevan, dan media akan memperkuat implementasi PNPK Hemofilia di Indonesia.
“Kami menerapkan pertimbangan berdasarkan benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek lainnya dalam mewujudkan perluasan akses pengobatan. Bukan soal obat yang berbiaya tinggi, jika treatment yang baru lebih baik, maka bisa saja menggantikan treatment yang lama,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja.
Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan perawatan yang sesuai standar.
Optimalisasi kebijakan akses pembiayaan dan standar perawatan perlu terus dilakukan agar masyarakat Indonesia memiliki kualitas kesehatan yang semakin baik, termasuk para penyandang hemofilia.
“Kebutuhan dasar pengobatan tentu akan menjadi prioritas bagi pemerintah. Kami telah bekerja sama dengan klinisi, agar penentuan tarif dalam JKN serta implementasinya dapat optimal,” ujar Ketua Tim Kerja Jaminan Kerja Pusat Kebijakan Pendanaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Maria Hotnida.
Editor: Nirmala Aninda
Namun, jika dilihat secara statistik dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 270 juta orang, jumlah penyandang hemofilia di Indonesia diprediksi ada sebanyak lebih dari 28.000 pasien, sehingga belum mencapai 10 persen pasien yang terdiagnosa.
“Ini tentunya ada peran masyarakat harus lebih sadar mengenai apa itu hemofilia, juga pemeriksaan untuk diagnosa juga perlu ditingkatkan,” kata Dokter Spesialis Anak Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, dr. Novie Amelia Ghozie, Sp.A(K), dalam webinar Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Lebih lanjut, dr. Novie juga mengatakan bahwa tantangan akses untuk memperoleh pengobatan sesuai standar medis, pembiayaan, dan deteksi dini menjadi faktor penghambat penanganan hemofilia yang optimal dan berkualitas. Padahal, katanya, inovasi dan pengembangan metode pengobatan kelainan proses pembekuan darah ini secara global telah berkembang pesat, tetapi belum semua pasien di Indonesia dapat mengaksesnya.
“Meskipun metode pengobatan terkini melalui terapi inovatif sudah tercantum dalam PNPK [Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana] Hemofilia, implementasi di lapangan masih belum berjalan lancar, terutama bagi penyandang hemofilia A berat yang diperkirakan mencapai 20–30 persen dari keseluruhan kasus hemofilia A,” papar dr. Novie.
Selain itu, pengobatan metode on demand, yang diberikan hanya saat perdarahan terjadi, dinilai belum cukup efektif karena perdarahan sendi pada hemofilia A berat bisa terjadi 3–4 kali per bulan.
Akibatnya, selain waktu yang terbuang dan biaya pribadi yang harus dikeluarkan untuk mendukung pengobatan, muncul pula dampak psikologis serta risiko kecacatan dan kematian akibat perdarahan berulang yang tidak tertangani secara efektif.
(Baca juga: Kenali Penyakit Hemofilia & Gejalanya yang Patut Diwaspadai)
Para pembicara di acara webinar Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Sementara itu, dr. Novie menjelaskan standar pengobatan hemofilia di dunia telah berfokus pada pengobatan inovatif dengan penggunaan profilaksis atau terapi pencegahan untuk mengurangi kejadian perdarahan, meningkatkan luaran klinis dan memperbaiki kualitas hidup penyandang hemofilia.
“Sementara, paket INA-CBG yang ada saat ini belum memadai untuk mengakomodasi kebutuhan perluasan metode pengobatan profilaksis yang sifatnya preventif,” terang dr. Novie.
Adapun, pengobatan metode profilaksis ini dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk penderita hemofilia dengan antibodi faktor VIII, maupun obat inovatif non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab.
“Dari Data National Health Service dan standar tata laksana klinis di Inggris, Amerika Serikat dan Swedia, terapi profilaksis terbukti lebih cost-effective dibandingkan on demand dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara lebih baik,” imbuh dr. Novie.
Dari perspektif biaya, dr. Novie menambahkan bahwa pengobatan inovatif tidak selalu diasosiasikan dengan biaya yang tinggi. Terdapat beberapa pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat, namun juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat.
Menurut sebuah studi lokal menggunakan pendekatan model simulasi mengenai pemberian profilaksis dengan obat inovatif emicizumab, terbukti menghemat anggaran negara sebesar 51 milyar dalam waktu 5 tahun dibandingkan dengan tanpa emicizumab.
Studi tersebut sebelumnya telah dipresentasikan di HTAsiaLink dan Konas HMHI pada 2021 dan sedang dipersiapkan untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Perlu Kolaborasi
Dalam mewujudkan akses yang lebih luas bagi para penyandang hemofilia, perlu adanya upaya penyebaran informasi agar urgensi dan kesadaran tentang hemofilia dapat dimiliki oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Selain itu, kemitraan antara pemerintah, lembaga yang relevan, dan media akan memperkuat implementasi PNPK Hemofilia di Indonesia. “Kami menerapkan pertimbangan berdasarkan benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek lainnya dalam mewujudkan perluasan akses pengobatan. Bukan soal obat yang berbiaya tinggi, jika treatment yang baru lebih baik, maka bisa saja menggantikan treatment yang lama,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja.
Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan perawatan yang sesuai standar.
Optimalisasi kebijakan akses pembiayaan dan standar perawatan perlu terus dilakukan agar masyarakat Indonesia memiliki kualitas kesehatan yang semakin baik, termasuk para penyandang hemofilia.
“Kebutuhan dasar pengobatan tentu akan menjadi prioritas bagi pemerintah. Kami telah bekerja sama dengan klinisi, agar penentuan tarif dalam JKN serta implementasinya dapat optimal,” ujar Ketua Tim Kerja Jaminan Kerja Pusat Kebijakan Pendanaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Maria Hotnida.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.