Euphoria Season 2 (Sumber gambar: Instagram @euphoria)

Seri Kedua Euphoria: Nyatanya, Tak Banyak Harapan di Luar Sana untuk Keluar dari Candu dan Putus Asa

04 April 2022   |   10:29 WIB

Kapan kau relapse?
Jules (Hunter Schafer) bertanya pada Rue (Zendaya) pada dialog satu adegan serial Euphoria. Rue menjawab sarkas, ia relapse pada malam ketika Jules meninggalkannya.
 
Pertanyaan Jules mungkin sering serupa dengan pertanyaan umum kita. Mengapa pecandu sulit sekali berhenti memakai narkotik?

Menurut Profesor Nicole Lee, beberapa orang yang bergantung pada narkoba mengatakan bahwa mereka mengkonsumsinya untuk membuat mereka merasa ‘normal’, karena otak dan tubuh mereka telah beradaptasi dengan efek yang tercipta dari narkoba.

Malam Natal pasca-relapse, Rue menemui sponsornya, Ali (Colman Domingo). Rue berkeluh kesah dan mengaku bahwa ia kesulitan menumbuhkan niat untuk berhenti. Ia bahkan tidak berencana berada di dunia ini dalam waktu lama. Ia pikir bisa jadi ia masih hidup justru karena memakai obat-obatan. Bahkan meski ayahnya masih hidup pun, ia mungkin saja tetap memakai obat-obatan. 

Ali paham soal tak ada banyak harapan di luar sana, maka alih-alih menggurui, ia bertanya,
"Kau bilang tak akan lama di sini. Baiklah, kalau begitu. Bagaimana kau ingin ibu dan adikmu mengingatmu?" 
Rue menjawab dengan berlinang air mata. Ia ingin diingat, ‘sebagai seorang yang berupaya keras jadi sosok yang tak bisa ia raih,’

Ali memandangi Rue dengan tatapan penuh. Ia percaya pada Rue.

***

Serial drama yang ‘paling banyak di-tweet di AS dalam dekade ini’ membawa kita pada seri kedua yang mana Rue masuk kian dalam pada ketergantungan penggunaan narkoba. Rue memakai obat yang efeknya lebih kuat, menjadi kerap teler, menyuntikkan morfin, melibatkan diri dalam bisnis narkotik bernilai ribuan dolar, menjadi kasar pada ibu dan adik yang disayanginya, dan tak pernah hadir utuh sebagai dirinya yang asli hingga meneriaki kekasihnya, Jules.

Meski seri kedua Euphoria berakhir dengan harapan baru untuk pemulihan Rue, tidak semua sependapat dengan para ahli terapi kecanduan yang menanggapi positif tentang akhir baik episode kedelapan drama tersebut.

Memang, sebagaimana Lee kemukakan, betul bahwa kebanyakan orang yang menjalani pengobatan berhasil mengubah konsumsi alkohol atau narkoba. Meski demikian, tingkat kekambuhan ketergantungan narkoba, menurutnya, hampir sama dengan masalah kesehatan kronis lainnya, seperti diabetes dan penyakit jantung.

Euphoria remake terinspirasi dari pengalaman hidup sutradara Sam Levinson sebagai penyintas ketergantungan narkoba. Drama yang muasalnya merupakan serial TV karya sutradara Daphna Levin ini membawa penonton turut menyaksikan kehidupan keseharian sekelompok siswa sekolah menengah saat mengeksplorasi ladang ranjau narkoba, seks, identitas, trauma, media sosial, cinta, dan persahabatan, di dunia yang semakin tidak stabil ini.

Pengalaman Levinson semasa masih candu diperankan secara tepat oleh Zendaya sebagai tokoh utama Euphoria, Rue Bennet.

***

Pada seri pertama, telah dikisahkan bahwa Rue, siswa kelas menengah berusia tujuh belas tahun ini lahir saat momen TV Amerika menayangkan pidato Presiden George W. Bush pasca teror 11 September 2001. 
Melompat beberapa tahun setelahnya, Rue kanak-kanak didiagnosa psikolog mengidap obsessive compulsive disorder (OCD), gangguan pemusatan pikiran, gangguan kecemasan menyeluruh, bahkan hingga bipolar disorder. Ibu Rue (Nika King) meyakinkan bahwa otak Rue istimewa belaka; bahwa Rue hanya hebat, cerdas, menarik dan kreatif. Mendengar ibunya, Rue penasaran, seperti siapa misalnya? Ibunya menjawab: seperti Vincent van Gogh, Sylvia Plath dan Brithney Spears. Rue mencerna hiburan ibunya itu sembari tak kuasa membayangkan masing-masing van Gogh menembak dirinya sendiri, Plath memasukkan kepala ke dalam oven, serta gambaran kepala botak licin Britney Spears. Ia pasrah.

Rue sering mencari tahu akar persoalan yang membuat hidupnya terasa melelahkan. Namun tak ditemukannya. Keluarganya rukun, ia tidak pernah mengalami kekerasan, ia juga cukup dukungan.
Nyatanya, beranjak remaja, Rue merasa hidupnya seolah muncul begitu saja tanpa peta atau kompas yang dapat memandunya. Tanpa seorang pun yang bisa memberinya nasehat. Puncaknya, pada suatu hari, ayah Rue meninggal.

Demikian, Euphoria mengisahkan lanjutan perjalanan kecanduan Rue, hubungannya dengan Jules, serta masing-masing kisah para remaja East Highland lainnya: Lexi, Kat, Cassie, Maddy, McCay, Nate dan Fezz, melalui sudut pandang diri mereka masing-masing.

***

“Bayangkan Anda benar-benar menginginkan cokelat,” demikian analogi Lee, “Anda dapat melihatnya di dalam pikiran Anda, hampir mencicipinya, Anda memikirkannya sepanjang waktu, Anda mencari di dalam lemari untuk menemukannya, Anda bahkan mungkin melompat ke dalam mobil untuk pergi membelinya. Sekarang bayangkan sepuluh kali lebih kuat atau lebih, dan itu memberi Anda sedikit gambaran mengapa beberapa orang kembali menggunakan narkoba.”

Dunia Rue Bennet berputar berulang kali mengitari relapse, kolaps, rehabilitasi, relapse, kolaps, rehabilitasi dan seterusnya. Ketika pulang dari rehabilitasi, yang tak diniatkannya, yang dirindukannya cuma satu: euforia narkotik. Semua yang ia rasakan, harapkan dan ingin ia lupakan, semuanya menyusut dalam dua detik kehampaan sesaat setelah mengonsumsi obat-obatan.

Tidak mudah berhenti dari obat-obatan. Sama tak mudahnya dengan menumbuhkan niat untuk berhenti darinya.

Seni: Merumuskan Pelbagai Dunia Manusia yang Kerap Tak Terumuskan

Seni yang bermutu tidak melulu soal keindahan saja. Profesor Ignatius Bambang Sugiharto menekankan, seni sebetulnya lebih banyak berkaitan dengan pemaknaan atas hidup, pemaknaan atas pengalaman. 
Seni itu mesti memperlihatkan keterkaitan antara dimensi pengalaman kemanusiaan yang pelik. Seni mesti mengungkapkan kompleksitas dunia manusia yang sebagaimana Edmund Husserl paparkan, adalah dunia yang konkret, leibenswelt, dunia yang tidak dihayati. Dunia itu begitu ambigu, tidak hitam putih, kompleksitasnya terpintal dan tumpang tindih satu dengan lainnya.

Oleh karena dunia manusia sedemikian rumit, maka Prof. Bambang beranggapan seni seharusnya dapat pula menyeret kita ke sensasi-sensasi yang bisa memuakkan, menakutkan, ke ambang-ambang batas perasaan-perasaan yang bisa toleran, ke ambang-ambang batas toleransi rasa manusia.

Film sebagai seni primadona masyarakat umum haruslah merupakan film yang rupa-nya menggambarkan, melukiskan yang sebenarnya sulit atau tak tergambarkan, sastrawinya mengatakan yang biasanya tak terkatakan, tak terartikulasikan, dan musiknya memperdengarkan yang biasanya tak terdengar. Pada akhirnya, film yang bermutu, sebetulnya adalah film yang merumuskan hal-hal dalam dunia manusia yang sesungguhnya tak terumuskan.

Dari segi sinematografi, Euphoria dirancang sedemikian baik. Seri pertama begitu kontemporer, sedangkan seri kedua terasa lebih nostalgia serta melankolis.

Berangkat dari ide yang tajam, yang liar, yang berbenturan dengan moralitas atau dogma, yang mengingatkan kita akan rasa kemanusiaan dan belas kasih; yang alur kisahnya tidak klise, yang karakter penggerak ceritanya bukan karakter yang dangkal dan lekat dengan stereotip, Euphoria boleh disejajarkan dengan film-film paling bermutu yang pernah hadir dalam semesta seni perfilman dunia. Sebagai sinema kategori coming of age tampil sebaik The Half of It, Call Me by Your Name, Moonlight, Booksmart, dan Kucumbu Tubuh Indahku. Sebagai sinema yang mengumuli isu permasalahan kesehatan mental, Euphoria juga terdepan sebagaimana Infinitely Polar Bear, Joker, Kim Ji Young Born 1982, dan sebagainya.

Dalam Euphoria, nyaris seluruh karakter, baik utama maupun pendukung, mereka semua merupakan karakter yang mengaduk-aduk kerumitan jiwa, karakter abu-abu. Ujung-ujung spektrum perasaan serta ekspresi, sangat bahagia, sangat marah, sangat putus asa, paling jahat, paling polos, amat baik dan tulus, paling licik, paling munafik, semuanya nyaris hadir secara bersamaan pada diri masing-masing karakter. Tiap babak serta adegan dalam Euphoria mampu mengasah empati kita.

Kisah Rue dan Jules memperkaya diskursus seksualitas remaja queer yang sering ditampilkan secara biner, meski telah berupaya untuk tidak heteronormatif. Perempuan dan transgender berbagi asmara, setara dengan seksualitas lainnya. 

Dinamika kehidupan serta pola berelasi yang Euphoria kisahkan atas Maddie, Cassie, McCay dan Nate, juga memvalidasi pola hubungan-hubungan remaja sebaya di masa kini. 

Euphoria, bila meminjam pujian Britney Spears ‘the show was like meditation’ sejujurnya memang sama sekali tidak mempertunjukkan alur perjalanan menuju pemulihan dengan cara membosankan—membosankan dalam arti akan beres dalam katakanlah dua jam duduk menonton. Ia tidak menggurui.

Pada era kehidupan yang kita seringkali dibuat bingung dan sesak oleh berbagai peristiwa, mentalitas-mentalitas diri dan sosial yang rumit-mengerikan sekaligus memprihatinkan getirnya, syukurlah kita masih memiliki seni, tempat kita beristirahat. Syukurlah, Sam Levinson mereka ulang semesta Euphoria.

Euphoria top dalam pemilihan musik dan lagu yang selaras. Drink Before The War milik Sinead O' Conner begitu menyatu dengan Cal, di bar yang telah dua puluh lima tahun tak ia datangi, dan malam itu menari getir seritme dengan hentakan O’Conner, bersama lelaki muda yang ia bayangkan sebagai kekasih lelaki masa mudanya sebelum ia harus menikahi ibu putranya, Nate.

***

Di sisi lain, jujur saja, sebagai generasi yang tumbuh di Indonesia, Sumatera Utara khususnya, saya memang merasakan beberapa syok, atau rasa ketidaknyamanan atau ketaklaziman atas nudity atau adegan-adegan bertelanjang atau berhubungan seksual para karakter secara sangat vulgar. Syok lainnya yaitu ketika menyaksikan kebinatangan pada wajah-wajah para tokoh, bahkan yang protagonis sekalipun. Namun lagi-lagi, seni yang bermutu memang yang demikian adanya.

Indonesia pernah memproduksi sinema yang serupa dengan Euphoria, judulnya My Generation, karya Upi Avianto. Sayang, Upi tidak terlalu mengeksplorasi ketajaman ide-ide, ragam kerumitan psikologis masing-masing karakter, dan tak sedikitpun menyinggung soal remaja-muda queer di negeri ini.

Pada akhirnya, memang harus diakui, Rue tidak hanya berjuang lepas dari narkoba. Ia juga berjuang melawan kecemasan, serangan panik dan masalah kesehatan mental lain yang ia bawa sejak kecil. Kedua hal ini dapat membawanya berputar dalam lingkaran setan, sehingga sangat penting untuk menemukan cara menangani kedua masalah. Tentu, tidak berhenti pada upaya diri dan keluarga saja, melainkan juga negara. 

Euphoria | Season 2 | 2022 | Sutradara: Sam Levinson | Penulis: Sam Levinson| Produksi: HBO | Negara: Amerika Serikat | Pemeran: Zendaya, Hunter Schafer, Nika King, Eric Dane, Angus Cloud, Colman Domingo, Jacob Elordi, Algee Smith, Sydney Sweeney, Alexa Demie, Barbie Ferreira, Maude Apatow, Storm Reid, Javon "Wanna" Walton, Austin Abrams, Dominic Fike.

Penulis: Febbry Bhirink
Pendiri Cangkang Queer, kolektif untuk kajian, pendidikan dan advokasi hak-hak queer di wilayah Medan, Sumatera Utara. Pernah bekerja mengelola ruang putar film alternatif di Gading Serpong, Tangerang Selatan
Kurator di Paraparabuku, Papua. Penyintas depresi.

SEBELUMNYA

KERUSUHAN DIBAIK 98

BERIKUTNYA

Senilai 14 Miilar, Ada Hadiah Sebidang Tanah di Goodie Bag Oscar 2022

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: