Mudah Tertipu, Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Masih Rendah
15 March 2022 |
17:51 WIB
Adanya kasus investasi dan pinjaman ilegal membuktikan bahwa literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Masyarakat mudah mendapatkan akses produk keuangan, menggunakan produk tersebut, namun tidak diiringi pengetahuan yang cukup, dan hasilnya berujung kerugian.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman menerangkan gap atau jarak antara literasi dan inklusi keuangan cukup tinggi. Adapun inklusi keuangan mengacu pada kemampuan untuk mengakses lembaga keuangan, produk, dan layanan yang memenuhi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Berdasarkan survei yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020, tercatat inklusi keuangan Indonesia berada pada 76,19 persen secara nasional sementara literasi keuangan berada di 38,03 persen.
"Kesenjangan antara inklusi keuangan dan keuangan literasi menunjukkan bahwa beberapa konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang produk atau layanan yang mereka gunakan," ujar Aji dalam diskusi virtual, Selasa (15/3/2022).
Survei juga menunjukkan bahwa literasi keuangan tertingi ada pada sektor perbankan sebesar 73,88 persen, sedangkan yang terendah yakni sektor pasar modal 1,55 persen dan lembaga keuangan mikro 0,72 persen.
Aji menyebut memang perbankan menjadi produk yang paling banyak dipakai masyarakat. Sementara ketika dihadapkan kepada investasi, mereka tidak bisa membedakan mana yang legal dan tidak. Begitu pula dengan produk pinjaman atau kredit di luar non bank.
Ada informasi asimetris mengenai biaya layanan dan bunga pinjaman, terutama ketika mengambil pinjaman ilegal. Peminjam sering memiliki pemahaman yang tidak lengkap tentang produk, syarat pembayaran, bunga dan beberapa pemberi pinjaman mengambil keuntungan dari ini. Akhirnya peminjam yang terkena dampak mengalami kesulitan membayar hutang karena tingkat bunga yang tinggi dan jangka waktu pembayaran yang pendek.
"Termasuk praktik pengumpulan yang tidak etis intimidasi melalui telepon dan SMS, distribusi ilegal data peminjam, dan pesan yang dikirim ke daftar kontak peminjam, kerabat, dan rekan kerja yang bertujuan untuk mendiskreditkan atau mengejar peminjam kontak untuk pembayaran," tuturnya.
Aji berpendapat sejauh ini sudah banyak program literasi keuangan yang dibuat OJK maupun lembaga jasa keuangan (LJK) seperti perbankan maupun asuransi. Namun ada baiknya LJK memfokuskan program literasi keuangan kepada calon nasabahnya, sementara OJK membidik khalayak yang lebih luas.
Metode penyampaian pun harus diarahkan pada pendidikan keuangan yang paling efisien dan efektif, terutama ketika menjangkau kelompok populasi yang paling membutuhkan.
"Seharusnya literasi keuangan terintegrasi dengan produk. Jadi masyarakat semakin memahami produk itu," tambahnya.
Editor: Nirmala Aninda
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman menerangkan gap atau jarak antara literasi dan inklusi keuangan cukup tinggi. Adapun inklusi keuangan mengacu pada kemampuan untuk mengakses lembaga keuangan, produk, dan layanan yang memenuhi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Berdasarkan survei yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020, tercatat inklusi keuangan Indonesia berada pada 76,19 persen secara nasional sementara literasi keuangan berada di 38,03 persen.
"Kesenjangan antara inklusi keuangan dan keuangan literasi menunjukkan bahwa beberapa konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang produk atau layanan yang mereka gunakan," ujar Aji dalam diskusi virtual, Selasa (15/3/2022).
Survei juga menunjukkan bahwa literasi keuangan tertingi ada pada sektor perbankan sebesar 73,88 persen, sedangkan yang terendah yakni sektor pasar modal 1,55 persen dan lembaga keuangan mikro 0,72 persen.
Aji menyebut memang perbankan menjadi produk yang paling banyak dipakai masyarakat. Sementara ketika dihadapkan kepada investasi, mereka tidak bisa membedakan mana yang legal dan tidak. Begitu pula dengan produk pinjaman atau kredit di luar non bank.
Ada informasi asimetris mengenai biaya layanan dan bunga pinjaman, terutama ketika mengambil pinjaman ilegal. Peminjam sering memiliki pemahaman yang tidak lengkap tentang produk, syarat pembayaran, bunga dan beberapa pemberi pinjaman mengambil keuntungan dari ini. Akhirnya peminjam yang terkena dampak mengalami kesulitan membayar hutang karena tingkat bunga yang tinggi dan jangka waktu pembayaran yang pendek.
"Termasuk praktik pengumpulan yang tidak etis intimidasi melalui telepon dan SMS, distribusi ilegal data peminjam, dan pesan yang dikirim ke daftar kontak peminjam, kerabat, dan rekan kerja yang bertujuan untuk mendiskreditkan atau mengejar peminjam kontak untuk pembayaran," tuturnya.
Aji berpendapat sejauh ini sudah banyak program literasi keuangan yang dibuat OJK maupun lembaga jasa keuangan (LJK) seperti perbankan maupun asuransi. Namun ada baiknya LJK memfokuskan program literasi keuangan kepada calon nasabahnya, sementara OJK membidik khalayak yang lebih luas.
Metode penyampaian pun harus diarahkan pada pendidikan keuangan yang paling efisien dan efektif, terutama ketika menjangkau kelompok populasi yang paling membutuhkan.
"Seharusnya literasi keuangan terintegrasi dengan produk. Jadi masyarakat semakin memahami produk itu," tambahnya.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.