Kisah Sukses Gucci Jadi Brand Mewah yang Tetap Relevan
07 November 2021 |
06:01 WIB
Seratus tahun yang lalu, di kota Florence yang indah, perajin asal Italia Guccio Gucci mulai membangun bisnis barang-barang berbahan dasar kulit. Bersama putra-putranya, dia mendirikan perusahaan dan membangun reputasi yang kokoh.
Tidak butuh waktu lama, Gucci mulai mendiversifikasi produk kulit mereka dengan masuk ke pasar mode, dan dari sini lah rumah mode ikonik Gucci lahir.
Diakuisisi pada tahun 1999 oleh konglomerat mewah terbesar kedua secara global, Kering, Gucci kini menjadi brand barang mewah paling diminati oleh konsumen.
Gucci tahu bagaimana membedakan dirinya dari pesaingnya dan berhasil mencapai pertumbuhan besar-besaran. Baik di bawah arahan Tom Ford dan Domenico De Sole pada 1990-an atau hari ini, dengan CEO Marco Bizzarri dan direktur kreatif Alessandro Michele sebagai pimpinan.
Dilansir oleh Lectra, pada tahun 2019, rumah mewah Italia menghasilkan omset hampir 10 miliar euro untuk Kering, melanjutkan pertumbuhan dua digit sejak Michele dan Bazzari mengambil alih pada tahun 2015.
Seperti pebisnis mode lainnya, Gucci sangat terpukul oleh krisis COVID-19 dan mengalami penurunan penjualan lebih dari 22 persen. Tetapi François-Henri Pinault dan timnya di Kering cukup andal untuk terus membuat Gucci menarik bagi konsumen.
Status Gucci sebagai rumah mode yang mapan dan solid tidak membuatnya ketinggalan zaman — justru sebaliknya.
“Idenya sejak awal adalah [bukan] untuk memiliki produk yang eksklusif tetapi untuk menciptakan budaya inklusivitas,” kata CEO Gucci Marco Bazzarri kepada Business of Fashion.
Rumah mode itu memanfaatkan tren, mirip dengan brand mass-market. Gucci melakukan pendekatan yang sedikit berbeda dari rumah mode eksklusif lainnya yakni dengan memberikan penawaran menarik bagi banyak segmen populasi berbeda.
Untuk merealisasikan tujuan itu, Gucci memproduksi lebih banyak produk ready to wear dibandingkan dengan brand pesaing, seperti Christian Dior dan Yves Saint Laurent.
Menurut Business of Fashion, rumah mode itu mencoba menemukan keseimbangan yang tepat antara produk yang berorientasi pada mode dan barang-barang pokok yang klasik.
Perusahaan Italia ini tetap setia pada warisan mereknya — memproduksi barang yang selalu bergaya dan abadi — sambil mengadaptasi beberapa koleksi untuk mengikuti tren terbaru.
Begitulah cara Gucci menanggapi kebutuhan penggemar konservatifnya selama beberapa dekade. Mereka adalah konsumen yang mungkin tidak begitu tertarik dengan logo pada barang namun lebih menyikai gaya dan desain klasik yang familiar namun tetap menarik.
Gucci juga mencoba mendengar para penggemarnya yang lebih muda lewat cara-cara yang memiliki nilai inklusivitas dan pemberdayaan. Dari segi gaya, Gucci mengalahkan para pesaingnya dengan memanfaatkan tren tas mini hingga nano.
Editor Fajar Sidik
Tidak butuh waktu lama, Gucci mulai mendiversifikasi produk kulit mereka dengan masuk ke pasar mode, dan dari sini lah rumah mode ikonik Gucci lahir.
Diakuisisi pada tahun 1999 oleh konglomerat mewah terbesar kedua secara global, Kering, Gucci kini menjadi brand barang mewah paling diminati oleh konsumen.
Gucci tahu bagaimana membedakan dirinya dari pesaingnya dan berhasil mencapai pertumbuhan besar-besaran. Baik di bawah arahan Tom Ford dan Domenico De Sole pada 1990-an atau hari ini, dengan CEO Marco Bizzarri dan direktur kreatif Alessandro Michele sebagai pimpinan.
Dilansir oleh Lectra, pada tahun 2019, rumah mewah Italia menghasilkan omset hampir 10 miliar euro untuk Kering, melanjutkan pertumbuhan dua digit sejak Michele dan Bazzari mengambil alih pada tahun 2015.
Seperti pebisnis mode lainnya, Gucci sangat terpukul oleh krisis COVID-19 dan mengalami penurunan penjualan lebih dari 22 persen. Tetapi François-Henri Pinault dan timnya di Kering cukup andal untuk terus membuat Gucci menarik bagi konsumen.
Status Gucci sebagai rumah mode yang mapan dan solid tidak membuatnya ketinggalan zaman — justru sebaliknya.
“Idenya sejak awal adalah [bukan] untuk memiliki produk yang eksklusif tetapi untuk menciptakan budaya inklusivitas,” kata CEO Gucci Marco Bazzarri kepada Business of Fashion.
Rumah mode itu memanfaatkan tren, mirip dengan brand mass-market. Gucci melakukan pendekatan yang sedikit berbeda dari rumah mode eksklusif lainnya yakni dengan memberikan penawaran menarik bagi banyak segmen populasi berbeda.
Untuk merealisasikan tujuan itu, Gucci memproduksi lebih banyak produk ready to wear dibandingkan dengan brand pesaing, seperti Christian Dior dan Yves Saint Laurent.
Koleksi tas Gucci Horsebit 1955 dan tas tote Gucci Diana. (Dok. Official Twitter Gucci)
Perusahaan Italia ini tetap setia pada warisan mereknya — memproduksi barang yang selalu bergaya dan abadi — sambil mengadaptasi beberapa koleksi untuk mengikuti tren terbaru.
Begitulah cara Gucci menanggapi kebutuhan penggemar konservatifnya selama beberapa dekade. Mereka adalah konsumen yang mungkin tidak begitu tertarik dengan logo pada barang namun lebih menyikai gaya dan desain klasik yang familiar namun tetap menarik.
Gucci juga mencoba mendengar para penggemarnya yang lebih muda lewat cara-cara yang memiliki nilai inklusivitas dan pemberdayaan. Dari segi gaya, Gucci mengalahkan para pesaingnya dengan memanfaatkan tren tas mini hingga nano.
Editor Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.