Hanafi: Ego Seniman Lampaui Pandemi
20 October 2021 |
06:44 WIB
Tokoh kajian psikoanalis individu Sigmund Freud sempat membuat pernyataan bahwa inti dunia psikologi adalah pengetahuan tentang dualitas. Yang dinamakan sebagai laku instingtif dan naluri kesadaran yang menggerakkan manusia di dunia.
Dualitas itu disimbolkan dengan lapar dan cinta, dari penyair dan filosof Friedrich Schiller yang dikutip Freud diawal tulisan ini. Lapar adalah penderitaan, yang konteksnya dalam kondisi pandemi adalah ancaman terinfeksi. Sebuah kondisi biologis memilukan, dan yang lain: cinta kehidupan atau eros. Eros adalah naluri bertahan hidup, dengan menerima kehidupan apa adanya lewat pikiran, yang kelak disebut Ego.
Pengetahuan dualitas tadi, menggerakkan manusia dalam mencipta karya seni yang diamati Freud dengan konsep tentang instinctual drives. Freud mengenalkan energi insting yang disebut sebagai Id, palung tergelap hasrat manusia. Selain tentu saja Ego, naluri yang cenderung lebih tertata dalam mengendalikan hasrat atau Id tersebut.
Hanafi, perupa tenar Indonesia yang mendapatkan Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia dan mendapatkan kesempatan berpameran di Museum di Spanyol dan Amerika Serikat menyampaikan pada penulis bahwa energi positif justru hadir tatkala dirinya mengalami penderitaan.
“Itu semacam semangat bertahan hidup degan cara tetap kreatif”
“Masa pandemi adalah era kita banyak kehilangan orientasi. Tentang apa saja, soal kebebasan terutama adanya pembatasan mobilitas, proteksi ketat kesehatan dan ancaman infeksi mengerikan. Justru saya menemui keberkahan luar biasa saat mengurung diri, bertapa dan menemukan banyak gagasan diwujudkan di karya termutakhir” ujar Hanafi.
Ilmuwan lain, masih tataran psikologi, Ernst Kris dalam The Art of Thought dengan fenomena yang dialami seniman Hanafi memberi relasi penjelasan bahwa ada fase dimana seniman mampu beradaptasi.
Sebuah mekanisme pertahanan atau regresi menghadapi ingatan atau peristiwa represi hadir bersamaan aksi kreatif, yakni kesadaran mengambil kendali atas situasi yang buruk.
Manusia kreatif seturut teori regresi, menurut Ernst Kris adalah siapa saja yang mampu menggali pikiran-pikiran tidak sadar sebagai kekuatan. Seorang yang kreatif tak mengalami hambatan menaggulangi kenangan dan pikiran masa lalu buruk atau dalam situasi represi.
Peristiwa-peristiwa yang mengancam (pandemi) menjadi lahan yang menimbulkan energi produktif, menjadikan seseorang inovatif, melakukan regresi demi bertahannya Ego (Regression in The Service of The Ego, 1926).
Freud dalam konteks Hanafi ini, bisa dibaca sebagai upaya mempertahankan komitmen kartistiknya pada sebuah kondisi psikis menahan diri dari kehilangan 'pikiran' dengan membawa memori-memori atas peristiwa. Sementara pada saat yang sama mempertahankan sebagai sesuatu yang ‘rasional’ dalam hal ini ego drives: meletakkan pikiran sebagai 'materi yang diwujudkan' dengan tangan dan tubuhnya mencipta karya seni.
Hanafi dengan meminjam konsep Freud adalah mempertahankan kompleksitas bertemunya Id dalam Ego. Hal ini terus dibawa sebagai landasan berkaryanya secara terus-menerus.
Bantal dan Kayu dalam Fase Inkubasi
Pada karya-karta serial Bantal di Kayu (Pillow over Wood, 2021), proses berkarya Hanafi menjalani fase inkubasi, adalah tatkala ia mengeramkan pikiran-pikiran. Berusaha untuk menjadikan refleksi personal dengan cara memanggil alam bawah sadar. Seperti yang diceritakan dalam wawancara, termasuk filosofi tentang ke-Jawaan di dalam dirinya dan ibunya yang kemudian direlasikan dengan era pandemi.
“Ibu tidak pernah mengajarkan saya bersuara (bercakap-cakap) lebih dari suara piring yang pecah” dan “Ia (ibu saya) mengajarkan untuk mengalah dan menghindari konflik” ujar Hanafi
Dari wawancara ini, menjelaskan pada kita bahwa filosofi Jawa mempengaruhi cara Hanafi yang lahir di Purworejo (Jawa Tengah) mengkristalkan pikiran-pikiran di masa wabah menyerang sdunia dengan cara unik. Pengalaman batinnya cenderung ditekan (represi), muram, selain seolah-olah terlihat tenteram dan bernuansa gelap tata kelola warna-warna di karyanya. Menghindari warna konfrontatif dan atmosfir lukisan cerah.
Pada fase ini, Hanafi memanggil kembali ingatan dan ajaran-ajaran filosofis Jawa itu dari ibunya, menggali ambang bawah sadar, ketakutan bertransformasi menjadi kreatifitas positif. .
Selanjutnya, Hanafi memverifikasi di fase pencerahan, usai fase inkubasi dalam proses berkarya dengan segala sesuatu tentang penjelasan materi, mengandaikan bahwa “seniman sejati itu harus lincah (berkonsep, mencari informasi-informasi).
Selain itu detail dan efisien seperti tukang kayu dan penyungging batik yang tak pernah membuang kayu (semua dimanfaatkan, tidak ada limbah) dan laku mengerjakan membatik dengan canting yang berisi cairan lilin dengan sangat hati-hati” ujarnya.
Sebagai yang disebut diatas, maka narasi atas tuturan tentang pandemi dalam ingatan-ingatan Hanafi terejawantah dalam karya-karyanya. Dalam teori sastra disebut konsep sinecdoc pars prototo, menuturkan sebagian cerita untuk memberi impresi tuturan narasi keseluruhan (Iwan saidi, 2007).
Pada 2021 ini, sebagai misal karya berjuluk Pillow Over Wood # 21 dengan media akrilik di kanvas, ukuran. Seperti kata Hanafi “Saya menggambar sejumlah konsep-konsep yang bisa berarti bermakna perenungan. Saya membayangkan seorang seniman rebah bagai sebuah bantal di kayu. Ikhlas menjalani satu setegah tahun lebih masa-masa mendebarkan”.
“Saya ingin kekontrasan secara lembut hadir di imej yang mengesankan materi lunak dan keras bersisihan, bisa menjadi peristiwa di tempat tidur (kayu) dan tubuh kita (bantal), sebagai lahan perenungan yang subtil”.
Hanafi menyampaikan bahwa pandemi sejatinya sudah terjadi berkali-kali, berjalan ratusan tahun dan selalu terulang.
Maka, upaya megurung diri atau alienasi (karantina) telah dilakukan manusia pada peradaban kuno. Ia menggambarkannya dengan simbolisasi objek bantal dan kayu sebagai narasi: waktunya jedah dan jarak untuk berdialog dengan diri dan mungkin nanti terulang di masa depan, bahwa manusia layak berhenti sejenak.
“Kita mampu menafsirkan hidup dengan utuh, tanpa harus tergesa-gesa dalam kesibukan di era sebelum ada pandemi. Kondisi ini sejatinya, sekali lagi, adalah berkah” ungkap Hanafi menyakinkan diri.
Sementara, bagi Jaques Lacan, ilmuwan dan filosof penerus dan pengembang teori-tori Freudian hasrat (desire) dengan cara penyatuan Id dan naluri Ego senyatanya dalam konteks karya-karya Hanafi adalah wujud imej yang ditimbulkan oleh sebuah jurang psikis menganga. Yakni, kondisi ketidak hadiran yang dirasakan, namun hal ini dihadirkan oleh suatu yang tak terlihat.
Ego sadar melampaui derita pandemi, menjadi landasan estetik tetang apa yang hadir, serta apa yang tervisualisasi yang bisa jadi tafsir atas yang terimajinasi dalam ambang tak sadar. Sementara, bagi seniman hal itu semua memberi pesan: tetap berani dan tabah menghadapi wabah.
*Penulis adalah Perupa dan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB
Editor: Fajar Sidik
“Saya awali titik berangkat segalanya dari pepatah yang digunakan penyair-filsuf, Schiller, bahwa 'lapar dan cintalah yang menggerakkan dunia'." - Freud, 1930
Dualitas itu disimbolkan dengan lapar dan cinta, dari penyair dan filosof Friedrich Schiller yang dikutip Freud diawal tulisan ini. Lapar adalah penderitaan, yang konteksnya dalam kondisi pandemi adalah ancaman terinfeksi. Sebuah kondisi biologis memilukan, dan yang lain: cinta kehidupan atau eros. Eros adalah naluri bertahan hidup, dengan menerima kehidupan apa adanya lewat pikiran, yang kelak disebut Ego.
Pengetahuan dualitas tadi, menggerakkan manusia dalam mencipta karya seni yang diamati Freud dengan konsep tentang instinctual drives. Freud mengenalkan energi insting yang disebut sebagai Id, palung tergelap hasrat manusia. Selain tentu saja Ego, naluri yang cenderung lebih tertata dalam mengendalikan hasrat atau Id tersebut.
Hanafi, perupa tenar Indonesia yang mendapatkan Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia dan mendapatkan kesempatan berpameran di Museum di Spanyol dan Amerika Serikat menyampaikan pada penulis bahwa energi positif justru hadir tatkala dirinya mengalami penderitaan.
“Upaya mengurung diri, menjalani tapa adalah satu-satunya jalan memahami Pandemi. Bencana adalah berkah luar biasa, hidup menjadi berharga meski dihantam derita”.- Hanafi
“Itu semacam semangat bertahan hidup degan cara tetap kreatif”
“Masa pandemi adalah era kita banyak kehilangan orientasi. Tentang apa saja, soal kebebasan terutama adanya pembatasan mobilitas, proteksi ketat kesehatan dan ancaman infeksi mengerikan. Justru saya menemui keberkahan luar biasa saat mengurung diri, bertapa dan menemukan banyak gagasan diwujudkan di karya termutakhir” ujar Hanafi.
Ilmuwan lain, masih tataran psikologi, Ernst Kris dalam The Art of Thought dengan fenomena yang dialami seniman Hanafi memberi relasi penjelasan bahwa ada fase dimana seniman mampu beradaptasi.
Sebuah mekanisme pertahanan atau regresi menghadapi ingatan atau peristiwa represi hadir bersamaan aksi kreatif, yakni kesadaran mengambil kendali atas situasi yang buruk.
Manusia kreatif seturut teori regresi, menurut Ernst Kris adalah siapa saja yang mampu menggali pikiran-pikiran tidak sadar sebagai kekuatan. Seorang yang kreatif tak mengalami hambatan menaggulangi kenangan dan pikiran masa lalu buruk atau dalam situasi represi.
Peristiwa-peristiwa yang mengancam (pandemi) menjadi lahan yang menimbulkan energi produktif, menjadikan seseorang inovatif, melakukan regresi demi bertahannya Ego (Regression in The Service of The Ego, 1926).
Freud dalam konteks Hanafi ini, bisa dibaca sebagai upaya mempertahankan komitmen kartistiknya pada sebuah kondisi psikis menahan diri dari kehilangan 'pikiran' dengan membawa memori-memori atas peristiwa. Sementara pada saat yang sama mempertahankan sebagai sesuatu yang ‘rasional’ dalam hal ini ego drives: meletakkan pikiran sebagai 'materi yang diwujudkan' dengan tangan dan tubuhnya mencipta karya seni.
Hanafi dengan meminjam konsep Freud adalah mempertahankan kompleksitas bertemunya Id dalam Ego. Hal ini terus dibawa sebagai landasan berkaryanya secara terus-menerus.
Bantal dan Kayu dalam Fase Inkubasi
Pada karya-karta serial Bantal di Kayu (Pillow over Wood, 2021), proses berkarya Hanafi menjalani fase inkubasi, adalah tatkala ia mengeramkan pikiran-pikiran. Berusaha untuk menjadikan refleksi personal dengan cara memanggil alam bawah sadar. Seperti yang diceritakan dalam wawancara, termasuk filosofi tentang ke-Jawaan di dalam dirinya dan ibunya yang kemudian direlasikan dengan era pandemi.
“Ibu tidak pernah mengajarkan saya bersuara (bercakap-cakap) lebih dari suara piring yang pecah” dan “Ia (ibu saya) mengajarkan untuk mengalah dan menghindari konflik” ujar Hanafi
Dari wawancara ini, menjelaskan pada kita bahwa filosofi Jawa mempengaruhi cara Hanafi yang lahir di Purworejo (Jawa Tengah) mengkristalkan pikiran-pikiran di masa wabah menyerang sdunia dengan cara unik. Pengalaman batinnya cenderung ditekan (represi), muram, selain seolah-olah terlihat tenteram dan bernuansa gelap tata kelola warna-warna di karyanya. Menghindari warna konfrontatif dan atmosfir lukisan cerah.
Pada fase ini, Hanafi memanggil kembali ingatan dan ajaran-ajaran filosofis Jawa itu dari ibunya, menggali ambang bawah sadar, ketakutan bertransformasi menjadi kreatifitas positif. .
Selanjutnya, Hanafi memverifikasi di fase pencerahan, usai fase inkubasi dalam proses berkarya dengan segala sesuatu tentang penjelasan materi, mengandaikan bahwa “seniman sejati itu harus lincah (berkonsep, mencari informasi-informasi).
Selain itu detail dan efisien seperti tukang kayu dan penyungging batik yang tak pernah membuang kayu (semua dimanfaatkan, tidak ada limbah) dan laku mengerjakan membatik dengan canting yang berisi cairan lilin dengan sangat hati-hati” ujarnya.
Narasi Visual
Pada dasarnya, elemen seni rupa mirip dalam narasi sastra, namun bedanya bahwa karya seni rupa elemen-elemen visual tidak sepenuhnya hadir. Sebuah karya rupa bisa disebut bercerita (memiliki narasi) jika misalnya, terdapat elemen tokoh dan ruang yang berelasi membangun peristiwa. Jika relasi demikian eksis, elemen-elemen lain dan ceritanya akan mengonstruksi secara in absentia (implisit). Cerita yang terbangun secara in absentia adalah narasi imajinatif yang terbangun di benak apresian (Acep Saidi, 2007)Sebagai yang disebut diatas, maka narasi atas tuturan tentang pandemi dalam ingatan-ingatan Hanafi terejawantah dalam karya-karyanya. Dalam teori sastra disebut konsep sinecdoc pars prototo, menuturkan sebagian cerita untuk memberi impresi tuturan narasi keseluruhan (Iwan saidi, 2007).
Pada 2021 ini, sebagai misal karya berjuluk Pillow Over Wood # 21 dengan media akrilik di kanvas, ukuran. Seperti kata Hanafi “Saya menggambar sejumlah konsep-konsep yang bisa berarti bermakna perenungan. Saya membayangkan seorang seniman rebah bagai sebuah bantal di kayu. Ikhlas menjalani satu setegah tahun lebih masa-masa mendebarkan”.
“Saya ingin kekontrasan secara lembut hadir di imej yang mengesankan materi lunak dan keras bersisihan, bisa menjadi peristiwa di tempat tidur (kayu) dan tubuh kita (bantal), sebagai lahan perenungan yang subtil”.
Hanafi menyampaikan bahwa pandemi sejatinya sudah terjadi berkali-kali, berjalan ratusan tahun dan selalu terulang.
Maka, upaya megurung diri atau alienasi (karantina) telah dilakukan manusia pada peradaban kuno. Ia menggambarkannya dengan simbolisasi objek bantal dan kayu sebagai narasi: waktunya jedah dan jarak untuk berdialog dengan diri dan mungkin nanti terulang di masa depan, bahwa manusia layak berhenti sejenak.
“Kita mampu menafsirkan hidup dengan utuh, tanpa harus tergesa-gesa dalam kesibukan di era sebelum ada pandemi. Kondisi ini sejatinya, sekali lagi, adalah berkah” ungkap Hanafi menyakinkan diri.
Sementara, bagi Jaques Lacan, ilmuwan dan filosof penerus dan pengembang teori-tori Freudian hasrat (desire) dengan cara penyatuan Id dan naluri Ego senyatanya dalam konteks karya-karya Hanafi adalah wujud imej yang ditimbulkan oleh sebuah jurang psikis menganga. Yakni, kondisi ketidak hadiran yang dirasakan, namun hal ini dihadirkan oleh suatu yang tak terlihat.
Ego sadar melampaui derita pandemi, menjadi landasan estetik tetang apa yang hadir, serta apa yang tervisualisasi yang bisa jadi tafsir atas yang terimajinasi dalam ambang tak sadar. Sementara, bagi seniman hal itu semua memberi pesan: tetap berani dan tabah menghadapi wabah.
*Penulis adalah Perupa dan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.