Kenali Faktor Risiko dan Cara Mencegah Preeklamsia
12 October 2021 |
21:15 WIB
Preeklamsia, yang memiliki harfiah petir dalam bahasa Yunani ini, sering kali dianggap sebagai pembunuh dalam senyap bagi para ibu hamil karena kedatangannya tidak terduga, tanpa gejala yang jelas. Kondisi ini menyebabkan komplikasi termasuk kerusakan pada organ vital, khususnya ginjal dan hati.
Preeklamsia adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi yang muncul setelah hamil. Biasanya muncul sebelum usia kehamilan 34 minggu atau sebelum 8 bulan, dan paling banyak di atas usia kehamilan 37 minggu.
“Penelitian kami di RS Harapan Kita, kami melibatkan 2.000 wanita hamil, 83 persen itu terjadinya di atas 37 minggu. Jadi yang paling sering adalah sekitar 9 bulan, yang lebih jarang itu adalah 10-34 minggu, sekitar 1,2 persen itu, tetapi makin dini preeklamsia itu akan semakin berat konsekuensinya terhadap ibu dan janinnya,” ujar spesialis kandungan dr. Aditya Kusuma dalam diskusi virtual, Selasa (12/10/2021).
Dia menjelaskan preeklamsia menyebabkan risiko kesehatan pada ibu dan janin. Risiko pertama yakni terjadinya kelahiran atau lahir sebelum waktunya. Kemudian kematian janin. “Preklamsia itu tidak hanya membahayakan ke ibu tapi juga membahayakan ke janinnya,” tegas Adit.
Risiko berikutnya bayi lahir dengan berat badan rendah dan bisa berdampak panjang pada bayi. Misalnya di masa dewasa, bisa mengalami diabetes, obesitas, hingga penyakit kardiovaskular.
(Baca juga: Deteksi Dini Preeklamsia Jadi Kunci Kurangi Risiko Kematian pada Ibu dan Janin)
Selanjutnya terjadinya solusio plasenta atau plasenta yang keluar sebelum waktunya hingga membahayakan jiwa bayi dan juga menimbulkan perdarahan yang hebat untuk ibu. Normalnya plasenta terlepas setelah bayi lahir.
Risiko terakhir adalah eklampsia alias kejang yang membuat ibu tidak sadarkan diri hingga harus masuk ke ruang rawat intensif.
Sementara itu, Aditya menyebut preeklamsia dulu dianggap sebagai penyakit plasenta namun dalam 2-3 tahun terakhir, para ahli medis membantahnya. Preeklamsia lebih ke arah penyakit jantung.
Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup penting dilakukan untuk para calon ibu. Dimulai dari makan-makanan sehat dengan menghindari gorengan, rajin berolahraga, tidak terlalu banyak rebahan, menghindari merokok maupun asap rokok.
Aditya menambahkan bahwa Ada sejumlah faktor risiko preeklamsia. Mulai dari kehamilan pertama, riwayat adanya tekanan darah tinggi atau preklamsia pada kehamilan sebelumnya.
Riwayat keluarga, misal ibu atau saudara perempuan yang mengalami preeklamsia saat hamil. “Jadi kalau ada salah satu anggota keluarga preklamsia itu juga menjadi faktor risiko ibu itu sendiri,” sebutnya.
Faktor risiko lainnya kata Aditya yakni faktor usia dari ibu ketika hamil entah itu terlalu muda yakni sebelum 20 tahun atau usia yang lebih tua di atas 35 tahun. Kemudian khamilan kembar. Penyakit penyerta ibu seperti penyakit ginjal, hipertensi kronis, atau autoimun. Terakhir, ibu yang sebelum hamil berat badannya tidak ideal atau masuk kategori obesitas.
Editor: Avicenna
Preeklamsia adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi yang muncul setelah hamil. Biasanya muncul sebelum usia kehamilan 34 minggu atau sebelum 8 bulan, dan paling banyak di atas usia kehamilan 37 minggu.
“Penelitian kami di RS Harapan Kita, kami melibatkan 2.000 wanita hamil, 83 persen itu terjadinya di atas 37 minggu. Jadi yang paling sering adalah sekitar 9 bulan, yang lebih jarang itu adalah 10-34 minggu, sekitar 1,2 persen itu, tetapi makin dini preeklamsia itu akan semakin berat konsekuensinya terhadap ibu dan janinnya,” ujar spesialis kandungan dr. Aditya Kusuma dalam diskusi virtual, Selasa (12/10/2021).
Dia menjelaskan preeklamsia menyebabkan risiko kesehatan pada ibu dan janin. Risiko pertama yakni terjadinya kelahiran atau lahir sebelum waktunya. Kemudian kematian janin. “Preklamsia itu tidak hanya membahayakan ke ibu tapi juga membahayakan ke janinnya,” tegas Adit.
Risiko berikutnya bayi lahir dengan berat badan rendah dan bisa berdampak panjang pada bayi. Misalnya di masa dewasa, bisa mengalami diabetes, obesitas, hingga penyakit kardiovaskular.
(Baca juga: Deteksi Dini Preeklamsia Jadi Kunci Kurangi Risiko Kematian pada Ibu dan Janin)
Selanjutnya terjadinya solusio plasenta atau plasenta yang keluar sebelum waktunya hingga membahayakan jiwa bayi dan juga menimbulkan perdarahan yang hebat untuk ibu. Normalnya plasenta terlepas setelah bayi lahir.
Risiko terakhir adalah eklampsia alias kejang yang membuat ibu tidak sadarkan diri hingga harus masuk ke ruang rawat intensif.
Sementara itu, Aditya menyebut preeklamsia dulu dianggap sebagai penyakit plasenta namun dalam 2-3 tahun terakhir, para ahli medis membantahnya. Preeklamsia lebih ke arah penyakit jantung.
Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup penting dilakukan untuk para calon ibu. Dimulai dari makan-makanan sehat dengan menghindari gorengan, rajin berolahraga, tidak terlalu banyak rebahan, menghindari merokok maupun asap rokok.
Aditya menambahkan bahwa Ada sejumlah faktor risiko preeklamsia. Mulai dari kehamilan pertama, riwayat adanya tekanan darah tinggi atau preklamsia pada kehamilan sebelumnya.
Riwayat keluarga, misal ibu atau saudara perempuan yang mengalami preeklamsia saat hamil. “Jadi kalau ada salah satu anggota keluarga preklamsia itu juga menjadi faktor risiko ibu itu sendiri,” sebutnya.
Faktor risiko lainnya kata Aditya yakni faktor usia dari ibu ketika hamil entah itu terlalu muda yakni sebelum 20 tahun atau usia yang lebih tua di atas 35 tahun. Kemudian khamilan kembar. Penyakit penyerta ibu seperti penyakit ginjal, hipertensi kronis, atau autoimun. Terakhir, ibu yang sebelum hamil berat badannya tidak ideal atau masuk kategori obesitas.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.