Tantangan Perempuan ASEAN pada Era Digitalisasi Ekonomi
11 October 2021 |
16:47 WIB
1
Like
Like
Like
Indonesia merupakan negara anggota ASEAN dengan jumlah populasi terbanyak, di mana perempuan mengisi hampir setengahnya. Dari jumlah tersebut, 54 persen di antaranya berada pada usia produktif. Oleh karena itu, perempuan berpotensi besar terhadap pertumbuhan ekonomi jika diberikan kesempatan luas dan dukungan yang baik.
Wakil Ketua ASEAN Comittee on Women (ACW) sekaligus Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin, mengatakan partisipasi perempuan dalam meraih akses yang lebih tinggi semakin dibutuhkan di kawasan ASEAN, seperti akses keterampilan dan karir berbasis digital, akses kewirausahaan berbasis digital, dan akses kepemimpinan dalam ekonomi digital baik di sektor swasta maupun publik.
“Strategi dan praktik terbaik yang ditunjukkan negara-negara ASEAN untuk mengatasi tantangan ekonomi digital dan inklusi keuangan adalah dengan membangun kolaborasi antara multi-stakeholder termasuk pemerintah, akademisi, dunia usaha atau sektor swasta, komunitas, dan media massa,” ujarnya dalam webinar International Road to ASEAN Ministerial Meeting on Women: Women’s Participation in the Digital Economy, baru-baru ini.
(Baca juga: Ini Penyebab Kesenjangan Digital Bagi Perempuan Masih Tinggi di Indonesia)
Special Advisor to The President of the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Akiko Yamanaka, mengatakan perempuan merupakan kelompok minoritas dalam bidang pekerjaan berbasis teknologi di ASEAN.
Menurutnya, perempuan di kawasan ASEAN cenderung mendominasi bidang non-sains dan memiliki peran terbatas dalam pekerjaan berbasis teknologi canggih yang membutuhkan tingkat keterampilan lebih tinggi dan upah lebih baik.
Selain itu, sebagian besar pengusaha perempuan ASEAN juga cenderung memiliki dan mengelola UMKM bermodalkan teknologi digital canggih yang terbatas.
“Berbagai tantangan ini berpotensi memiliki konsekuensi yang cukup besar terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan di masa pemulihan pasca pandemi apalagi seiring semakin banyaknya kejahatan siber, diskriminasi, bias, dan stereotip yang merugikan secara luas di kawasan ASEAN,” ungkapnya.
Selain itu, Country Director MicroSave Consulting, Grace Retnowati, menuturkan lemahnya inklusivitas gender dalam perumusan dan implementasi kebijakan pasca pandemi juga dapat semakin mengasingkan peran perempuan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Menurutnya, pembuat kebijakan di ASEAN perlu memastikan suara perempuan dapat terwakili dengan baik dalam perumusan program kebijakan atau kerangka hukum yang baru di masa mendatang.
“Kesenjangan digital berbasis gender harus diperhitungkan oleh pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan tersebut, dengan turut memperhatikan kepentingan dan keselamatan perempuan pengusaha, perempuan pekerja di sektor informal, dan perempuan pekerja gig economy yang perannya semakin signifikan dalam perekonomian digital,” terangnya.
Editor: Avicenna
Wakil Ketua ASEAN Comittee on Women (ACW) sekaligus Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin, mengatakan partisipasi perempuan dalam meraih akses yang lebih tinggi semakin dibutuhkan di kawasan ASEAN, seperti akses keterampilan dan karir berbasis digital, akses kewirausahaan berbasis digital, dan akses kepemimpinan dalam ekonomi digital baik di sektor swasta maupun publik.
“Strategi dan praktik terbaik yang ditunjukkan negara-negara ASEAN untuk mengatasi tantangan ekonomi digital dan inklusi keuangan adalah dengan membangun kolaborasi antara multi-stakeholder termasuk pemerintah, akademisi, dunia usaha atau sektor swasta, komunitas, dan media massa,” ujarnya dalam webinar International Road to ASEAN Ministerial Meeting on Women: Women’s Participation in the Digital Economy, baru-baru ini.
Para pembicara dalam acara webinar International Road to ASEAN Ministerial Meeting on Women: Women’s Participation in the Digital Economy (Dok. Kemen PPPA)
Special Advisor to The President of the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Akiko Yamanaka, mengatakan perempuan merupakan kelompok minoritas dalam bidang pekerjaan berbasis teknologi di ASEAN.
Menurutnya, perempuan di kawasan ASEAN cenderung mendominasi bidang non-sains dan memiliki peran terbatas dalam pekerjaan berbasis teknologi canggih yang membutuhkan tingkat keterampilan lebih tinggi dan upah lebih baik.
Selain itu, sebagian besar pengusaha perempuan ASEAN juga cenderung memiliki dan mengelola UMKM bermodalkan teknologi digital canggih yang terbatas.
“Berbagai tantangan ini berpotensi memiliki konsekuensi yang cukup besar terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan di masa pemulihan pasca pandemi apalagi seiring semakin banyaknya kejahatan siber, diskriminasi, bias, dan stereotip yang merugikan secara luas di kawasan ASEAN,” ungkapnya.
Selain itu, Country Director MicroSave Consulting, Grace Retnowati, menuturkan lemahnya inklusivitas gender dalam perumusan dan implementasi kebijakan pasca pandemi juga dapat semakin mengasingkan peran perempuan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Menurutnya, pembuat kebijakan di ASEAN perlu memastikan suara perempuan dapat terwakili dengan baik dalam perumusan program kebijakan atau kerangka hukum yang baru di masa mendatang.
“Kesenjangan digital berbasis gender harus diperhitungkan oleh pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan tersebut, dengan turut memperhatikan kepentingan dan keselamatan perempuan pengusaha, perempuan pekerja di sektor informal, dan perempuan pekerja gig economy yang perannya semakin signifikan dalam perekonomian digital,” terangnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.