Ini Penyebab Kesenjangan Digital Bagi Perempuan Masih Tinggi di Indonesia
23 September 2021 |
15:37 WIB
Genhype setuju enggak sih kalau kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bisa menjadi alat potensial untuk mencapai pemberdayaan dan kesetaraan bagi kelompok rentan misalnya kelompok perempuan. Sayangnya, pemenuhan akses terhadap TIK ternyata tidak serta merta menjamin pemberdayaan dan kesetaraan.
Hal itu diungkapkan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam risetnya yang berjudul Peran Organisasi Masyarakat SIpil (OMS) dalam Mendorong Kesetaraan Gender dalam Demokrasi Indonesia di Era Digital.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan persoalan akses TIK yang dihadapi kelompok perempuan sangat kompleks. Berdasarkan hasil riset, ada beberapa persoalan yang dihadapi perempuan yaitu hambatan penguasaan penggunaan perangkat dan aplikasi, tantangan kultural dan rasa inferior terhadap teknologi, serta akses kepemilikan perangkat dan akses internet yang masih terbatas.
“Ketiga hal itu berujung pada kurang optimalnya pemanfaatan TIK oleh perempuan. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 juga membuat kelompok perempuan memiliki kondisi menanggung beban yang berlapis-lapis,” ujarnya dalam suatu diskusi virtual, baru-baru ini.
Ketimpangan digital itu juga secara konsisten terlihat dari Data Susenas 2016-2019 yang menunjukkan selisih jumlah pengguna internet antara laki-laki dan perempuan yakni sebesar 7,6 persen (2016), 7,04 persen (2017), 6,34 persen (2018), dan 6,26 persen (2019).
Meskipun angkanya cenderung menurun, hal itu masih perlu diintervensi. Pasalnya, pada tahun 2019, terdapat ketimpangan penggunaan komputer yakni laki-laki sebesar 15,17 persen, sedangkan perempuan 13,77 persen. Hal itu juga menunjukkan adanya ketimpangan digital berdasarkan akses material.
Selain itu, Sugeng juga mengatakan bahwa identitas perempuan tidak boleh dilihat secara tunggal. Ada beberapa kategori identitas yang melekat pada mereka misalnya perempuan petani, perempuan di daerah terisolir (3T), perempuan disabilitas, perempuan ada, dan kelompok lainnya, yang masing-masing memiliki hambatan berbeda untuk mengakses TIK yang tidak dapat diseragamkan hanya karena mereka adalah perempuan.
“Riset ini bersifat kualitatif. Kami melakukan eksploratori riset dengan berbagai metode seperti wawancara mendalam, FGD, analisis dokumen secara sistematik, dan menggunakan alat bantu untuk mengolah data-data,” imbuhnya.
Editor: M R Purboyo
Hal itu diungkapkan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam risetnya yang berjudul Peran Organisasi Masyarakat SIpil (OMS) dalam Mendorong Kesetaraan Gender dalam Demokrasi Indonesia di Era Digital.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan persoalan akses TIK yang dihadapi kelompok perempuan sangat kompleks. Berdasarkan hasil riset, ada beberapa persoalan yang dihadapi perempuan yaitu hambatan penguasaan penggunaan perangkat dan aplikasi, tantangan kultural dan rasa inferior terhadap teknologi, serta akses kepemilikan perangkat dan akses internet yang masih terbatas.
“Ketiga hal itu berujung pada kurang optimalnya pemanfaatan TIK oleh perempuan. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 juga membuat kelompok perempuan memiliki kondisi menanggung beban yang berlapis-lapis,” ujarnya dalam suatu diskusi virtual, baru-baru ini.
Ilustrasi (Dok. LinkedIn Sales Solutions/Unsplash)
Meskipun angkanya cenderung menurun, hal itu masih perlu diintervensi. Pasalnya, pada tahun 2019, terdapat ketimpangan penggunaan komputer yakni laki-laki sebesar 15,17 persen, sedangkan perempuan 13,77 persen. Hal itu juga menunjukkan adanya ketimpangan digital berdasarkan akses material.
Selain itu, Sugeng juga mengatakan bahwa identitas perempuan tidak boleh dilihat secara tunggal. Ada beberapa kategori identitas yang melekat pada mereka misalnya perempuan petani, perempuan di daerah terisolir (3T), perempuan disabilitas, perempuan ada, dan kelompok lainnya, yang masing-masing memiliki hambatan berbeda untuk mengakses TIK yang tidak dapat diseragamkan hanya karena mereka adalah perempuan.
“Riset ini bersifat kualitatif. Kami melakukan eksploratori riset dengan berbagai metode seperti wawancara mendalam, FGD, analisis dokumen secara sistematik, dan menggunakan alat bantu untuk mengolah data-data,” imbuhnya.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.