Ted Lasso & Positivity yang Tidak Toxic
30 September 2021 |
22:30 WIB
Film ataupun series olahraga biasanya fokus pada perjalanan sebuah tim meraih juara. Ted Lasso, serial Apple TV+ yang mengisahkan klub sepakbola AFC Richmond, semula terasa seperti itu. Namun, jika menonton terus hingga Season 2, Genhype pasti tahu bahwa serial ini berbicara jauh lebih banyak ketimbang kisah AFC Richmond.
Ted Lasso bercerita tentang bekas pelatih american football yang melatih klub sepakbola di liga utama Inggris. Diperankan oleh Jason Sudeikis, Ted Lasso hadir sebagai sosok pelatih yang kelewat baik. Namun, ketidaktahuannya soal sepakbola dan stererotip orang Amerika (di mata orang Inggris) membuatnya dianggap sebagai musuh bersama oleh pemain, suporter, dan pers.
Pendeknya, karier Ted Lasso sudah dirancang sebagai sebuah kegagalan. Walaupun, menariknya, Ted Lasso tetap menyebarkan positivity, dan tak hentinya mencoba untuk meluluhkan hati orang-orang di sekitarnya. Ia mulai menyelesaikan masalah-masalah yang berada dalam kendalinya, seperti salah satunya memperbaiki shower di kamar mandi AFC Richmond.
Singkat cerita, akhirnya Ted Lasso mulai disukai orang-orang. Meski begitu, AFC Richmond sama sekali tidak menjadi sukses di liga. Klubnya tetap kalah, bahkan akhirnya terdegradasi dari liga utama. Pertanyaannya kemudian tentu adalah: jika klubnya kalah, dan kompetisi jadi yang tidak utama, apa tujuan dari cerita serial pemenang 7 Emmy tersebut?
(Baca juga: Emmy Awards 2021 Usai, Berikut Daftar Pemenangnya)
Doreen, dalam artikelnya di The New Yorker, mengatakan yang spesial dari Ted Lasso adalah perasaan yang dihasilkan. Menurutnya, para penggemar Ted Lasso mungkin bahkan tidak benar-benar mengingat detail plot dari series tersebut. Sebab, menurutnya, yang dicari dari karya sutradara Zach Braff tersebut memang bukan ceritanya.
“Orang tidak membicarakan series itu tentang apa, tapi apa yang dirasakan saat menontonnya, yakni perasaan nyaman,” tulisnya.
Ted Lasso penuh dengan ucapan-ucapan motivasional dan jargon. Ia menyebarkan kebaikan ke semua orang, termasuk yang memperlakukannya dengan buruk; ia juga mengajak orang-orang menjadi ikan mas, yang hanya punya ingatan 10 detik, sehingga bisa segera move on dari pikiran buruk.
Dengan kebaikannya itu, Ted tampak seperti orang yang terus bahagia dan tanpa cela, sampai akhirnya diketahui bahwa itu semua hanya strategi dan semacam coping mechanism-nya.
Dalam tulisannya di Slate, Amanda Prahl menyebut bahwa Ted Lasso tidak berlaku baik dengan motivasi yang sepenuhnya murni. Ted Lasso melakukannya juga sebagai sebuah strategi. Dengan kata lain, berbuat baik adalah caranya mengendalikan situasi di sekitarnya.
“Dia sengaja menerapkan kebaikan dengan cara-cara spesifik. Dia membuat biskuit untuk Rebecca setiap hari; dia menghafal nama dan latar belakang semua pegawai Richmond; dia sengaja pura-pura tak berdaya untuk mengalahkan dan mempermalukan Rupert saat bermain darts,” tulis Amanda Prahl.
Terbukti, Ted Lasso akhirnya mengalami breakdown karena berbagai masalah yang dihadapinya. Ia menangis, membentak, dan mengalami serangan panik dalam sejumlah kesempatan. Pada Season 2, lewat kehadiran tokoh Dr. Sharon Fieldstone sebagai psikolog klub, berbagai lapisan psikologis Ted Lasso pun mulai terjelaskan.
Di tengah banyaknya tren healing, optimisme, dan positivity, kehadiran Ted Lasso ini menjadi begitu penting. Ted Lasso meruntuhkan pandangan positivity toksik, yang menyebut bahwa seberapapun sulit keadaan, seseorang harus memegang terus mindset positif.
Kenyataannya, seperti yang diungkap dalam Ted Lasso, hal itu tidaklah mungkin. Ted Lasso menekankan bahwa seseorang bisa berperilaku baik, tapi tidak bisa memaksa dirinya untuk baik-baik saja.
Kadang, pelatih seceria Ted Lasso harus ke psikolog.
Editor:
Ted Lasso bercerita tentang bekas pelatih american football yang melatih klub sepakbola di liga utama Inggris. Diperankan oleh Jason Sudeikis, Ted Lasso hadir sebagai sosok pelatih yang kelewat baik. Namun, ketidaktahuannya soal sepakbola dan stererotip orang Amerika (di mata orang Inggris) membuatnya dianggap sebagai musuh bersama oleh pemain, suporter, dan pers.
Pendeknya, karier Ted Lasso sudah dirancang sebagai sebuah kegagalan. Walaupun, menariknya, Ted Lasso tetap menyebarkan positivity, dan tak hentinya mencoba untuk meluluhkan hati orang-orang di sekitarnya. Ia mulai menyelesaikan masalah-masalah yang berada dalam kendalinya, seperti salah satunya memperbaiki shower di kamar mandi AFC Richmond.
Singkat cerita, akhirnya Ted Lasso mulai disukai orang-orang. Meski begitu, AFC Richmond sama sekali tidak menjadi sukses di liga. Klubnya tetap kalah, bahkan akhirnya terdegradasi dari liga utama. Pertanyaannya kemudian tentu adalah: jika klubnya kalah, dan kompetisi jadi yang tidak utama, apa tujuan dari cerita serial pemenang 7 Emmy tersebut?
(Baca juga: Emmy Awards 2021 Usai, Berikut Daftar Pemenangnya)
Di awal, penonton mungkin memang akan penasaran, apakah AFC Richmond akan berhasil? Apakah Ted Lasso akan mengubah keadaan? Apakah ending-nya akan happy? Namun, ketika sudah sampai episode-episode belakang, terlebih di Season 2, penonton mungkin akan menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan itu, meski terjawab semua, ternyata tidak penting.This. This is why Jason Sudeikis won an Emmy—no, several Emmys. Absolutely incredible writing, acting, producing. Episode 10 will make you laugh, cry, & laugh again. We finally get to peel back a layer of #TedLasso’s armor. And that ending y’all, brilliance #nevergonnagiveyouup pic.twitter.com/Mr6BU2aqdO
— Tori King (@TorikingTV) September 24, 2021
Doreen, dalam artikelnya di The New Yorker, mengatakan yang spesial dari Ted Lasso adalah perasaan yang dihasilkan. Menurutnya, para penggemar Ted Lasso mungkin bahkan tidak benar-benar mengingat detail plot dari series tersebut. Sebab, menurutnya, yang dicari dari karya sutradara Zach Braff tersebut memang bukan ceritanya.
“Orang tidak membicarakan series itu tentang apa, tapi apa yang dirasakan saat menontonnya, yakni perasaan nyaman,” tulisnya.
Ted Lasso penuh dengan ucapan-ucapan motivasional dan jargon. Ia menyebarkan kebaikan ke semua orang, termasuk yang memperlakukannya dengan buruk; ia juga mengajak orang-orang menjadi ikan mas, yang hanya punya ingatan 10 detik, sehingga bisa segera move on dari pikiran buruk.
Dengan kebaikannya itu, Ted tampak seperti orang yang terus bahagia dan tanpa cela, sampai akhirnya diketahui bahwa itu semua hanya strategi dan semacam coping mechanism-nya.
Dalam tulisannya di Slate, Amanda Prahl menyebut bahwa Ted Lasso tidak berlaku baik dengan motivasi yang sepenuhnya murni. Ted Lasso melakukannya juga sebagai sebuah strategi. Dengan kata lain, berbuat baik adalah caranya mengendalikan situasi di sekitarnya.
“Dia sengaja menerapkan kebaikan dengan cara-cara spesifik. Dia membuat biskuit untuk Rebecca setiap hari; dia menghafal nama dan latar belakang semua pegawai Richmond; dia sengaja pura-pura tak berdaya untuk mengalahkan dan mempermalukan Rupert saat bermain darts,” tulis Amanda Prahl.
Terbukti, Ted Lasso akhirnya mengalami breakdown karena berbagai masalah yang dihadapinya. Ia menangis, membentak, dan mengalami serangan panik dalam sejumlah kesempatan. Pada Season 2, lewat kehadiran tokoh Dr. Sharon Fieldstone sebagai psikolog klub, berbagai lapisan psikologis Ted Lasso pun mulai terjelaskan.
Di tengah banyaknya tren healing, optimisme, dan positivity, kehadiran Ted Lasso ini menjadi begitu penting. Ted Lasso meruntuhkan pandangan positivity toksik, yang menyebut bahwa seberapapun sulit keadaan, seseorang harus memegang terus mindset positif.
Kenyataannya, seperti yang diungkap dalam Ted Lasso, hal itu tidaklah mungkin. Ted Lasso menekankan bahwa seseorang bisa berperilaku baik, tapi tidak bisa memaksa dirinya untuk baik-baik saja.
Kadang, pelatih seceria Ted Lasso harus ke psikolog.
Editor:
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.