Arsitek Nilai Desain Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Berisiko bagi Kesehatan dan Tak Layak Huni
16 June 2025 |
17:39 WIB
Desain rumah subsidi minimalis berukuran 18 meter persegi yang diluncurkan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menuai kritik dari arsitek. Desain tersebut dianggap dapat memberikan dampak buruk bagi penghuninya, sekaligus tidak membuka kemungkinan hunian bertumbuh untuk masa mendatang.
Arsitek sekaligus Founder Akanoma Studio Yu Sing mengatakan konsep mock up rumah subsidi buatan pengembang Lippo Group tersebut memiliki desain yang dapat membahayakan kesehatan para penghuninya, seperti claustrophobia atau gangguan pernapasan lantaran tidak adanya ventilasi yang proporsional untuk memungkinkan sirkulasi udara alami dalam rumah.
Baca juga: Intip Tampilan Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Sesuai Usulan Kementerian PKP
Selain itu, desain rumah tersebut juga dinilai akan mempersempit ruang gerak para penghuninya, lantaran ruang-ruang pada huniannya sangat minimalis dan sudah dipenuhi oleh furnitur yang besar. Plus, rumah tersebut juga dianggap tidak memikirkan proses hunian bertumbuh untuk masa depan penghuninya, misalnya dihuni oleh keluarga mereka.
Yu Sing juga menilai desain rumah tersebut jauh dari hunian yang nyaman dan bisa digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus rileks bagi penghuninya. Alih-alih merasa nyaman, rumah sempit yang sumpek justru bisa mempengaruhi mood seseorang bahkan stres hingga depresi.
"Akibat jangka panjangnya ini bisa membuat kekumuhan baru, karena orang yang beli rumah ini belum tentu mampu untuk merenovasi atau membangun ulang menjadi dua tingkat atau sebagainya. Apalagi ini [rumahnya] sumpek, jadi mengerikan," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id lewat sambungan telepon, Senin (16/6/2025).
Dia menuturkan lebih dari soal desain, rencana pengadaan rumah subsidi dengan luas 18 meter persegi berkaitan dengan masalah kesenjangan dalam kepemilikan lahan, sehingga harga lahan di Indonesia sangat mahal. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran pemerintah 'lepas tangan' untuk serius mengatasi persoalan tersebut.
"Ini [rumah subsidi] ini kan akhirnya yang akan membangun adalah pengembang, bukan pemerintah. Ini lagi-lagi pemerintah lepas tangan terhadap tanggung jawab mereka yang seharusnya memberikan rumah bagi semua masyarakat. Akhirnya tanahnya jadi mahal, rumahnya dikecilin, dan sebagainya," ucap arsitek jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Dia mengatakan alih-alih menghadirkan rumah kecil di lahan sempit, pemerintah sebaiknya membangun hunian vertikal khususnya di wilayah perkotaan, yang bisa memberikan kemudahan aksesibilitas serta dekat dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang bisa dijangkau oleh masyarakat.
Namun, katanya, pembangunan tersebut harus sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah alih-alih pengembang. Jika dipegang pengembang, hunian vertikal yang ada nantinya akan dibanderol dengan harga mahal dan hanya bisa dibeli oleh masyarakat menengah ke atas, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan untuk memberikan hunian pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Itu yang terjadi pada apartemen komersial. Angka kepemilikan apartemen komersial di Indonesia sangat rendah. Di Jakarta sekitar 3 persen, sementara di Tokyo itu sekitar 60 sampai 70 persen, orang itu tinggal di hunian vertikal," paparnya.
Sebelumnya, Kementerian PKP meluncurkan konsep mock up rumah subsidi minimalis yang diklaim cocok dibangun di wilayah perkotaan. Hal ini seiring dengan rencana Kementerian PKP mengubah ketentuan luas rumah subsidi, di mana luas bangunan minimalnya menjadi 18 meter persegi dan luas lahannya minimal 25 meter persegi.
Untuk mendorong usulan tersebut, Kementerian PKP menghadirkan konsep mock up rumah subsidi yang dibuat oleh Lippo Group dan bisa dilihat publik di Lobby Nobu Bank Plaza Semanggi, Jakarta.
Ada dua tipe rumah yang ditampilkan yakni Tipe 1 Kamar Tidur (Bedroom) dengan luas bangunan 14 meter persegi dan luas tanah 25 meter persegi (2,6 x 9,6 meter). Untuk pilihan yang lebih luas, yakni Tipe 2 Kamar Tidur (Bedrooms) dengan luas bangunan 23,4 meter persegi dan luas tanah 26,3 meter persegi (2,6 x 10,1 meter).
Kehadiran mock up rumah tersebut merupakan lanjutan dari usulan Kementerian PKP untuk merubah batas minimal luas bangunan rumah bersubsidi dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi. Pengurangan luas ini diklaim bisa membantu menurunkan harga rumah, sehingga meningkatkan akses MBR untuk membeli rumah.
Ketentuan mengenai ukuran rumah subsidi berada dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023. Dalam beleid itu, diatur luas tanah rumah tapak subsidi minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sedangkan luas bangunan ditetapkan minimal 21 meter persegi hingga 36 meter persegi.
Pemerintah tengah menggodok revisi beleid tersebut. Dalam naskah rancangan perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang beredar, pemerintah mengusulkan minimal luas tanah diperkecil jadi 25 meter persegi. Sementara luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Saat ini naskah tersebut masih dalam tahap pembahasan dengan para pemangku kepentingan. Gagasan tersebut masih harus melalui uji pendapat dengan menjaring masukan para pemangku kepentingan yang terdiri dari pengembang properti, perbankan, dan komunitas masyarakat.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Arsitek sekaligus Founder Akanoma Studio Yu Sing mengatakan konsep mock up rumah subsidi buatan pengembang Lippo Group tersebut memiliki desain yang dapat membahayakan kesehatan para penghuninya, seperti claustrophobia atau gangguan pernapasan lantaran tidak adanya ventilasi yang proporsional untuk memungkinkan sirkulasi udara alami dalam rumah.
Baca juga: Intip Tampilan Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Sesuai Usulan Kementerian PKP
Selain itu, desain rumah tersebut juga dinilai akan mempersempit ruang gerak para penghuninya, lantaran ruang-ruang pada huniannya sangat minimalis dan sudah dipenuhi oleh furnitur yang besar. Plus, rumah tersebut juga dianggap tidak memikirkan proses hunian bertumbuh untuk masa depan penghuninya, misalnya dihuni oleh keluarga mereka.
Yu Sing juga menilai desain rumah tersebut jauh dari hunian yang nyaman dan bisa digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus rileks bagi penghuninya. Alih-alih merasa nyaman, rumah sempit yang sumpek justru bisa mempengaruhi mood seseorang bahkan stres hingga depresi.
"Akibat jangka panjangnya ini bisa membuat kekumuhan baru, karena orang yang beli rumah ini belum tentu mampu untuk merenovasi atau membangun ulang menjadi dua tingkat atau sebagainya. Apalagi ini [rumahnya] sumpek, jadi mengerikan," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id lewat sambungan telepon, Senin (16/6/2025).
Pengunjung melihat contoh rumah subsidi 14 meter persegi (M2) di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (16/6/2025). (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)
"Ini [rumah subsidi] ini kan akhirnya yang akan membangun adalah pengembang, bukan pemerintah. Ini lagi-lagi pemerintah lepas tangan terhadap tanggung jawab mereka yang seharusnya memberikan rumah bagi semua masyarakat. Akhirnya tanahnya jadi mahal, rumahnya dikecilin, dan sebagainya," ucap arsitek jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Dia mengatakan alih-alih menghadirkan rumah kecil di lahan sempit, pemerintah sebaiknya membangun hunian vertikal khususnya di wilayah perkotaan, yang bisa memberikan kemudahan aksesibilitas serta dekat dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang bisa dijangkau oleh masyarakat.
Namun, katanya, pembangunan tersebut harus sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah alih-alih pengembang. Jika dipegang pengembang, hunian vertikal yang ada nantinya akan dibanderol dengan harga mahal dan hanya bisa dibeli oleh masyarakat menengah ke atas, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan untuk memberikan hunian pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Itu yang terjadi pada apartemen komersial. Angka kepemilikan apartemen komersial di Indonesia sangat rendah. Di Jakarta sekitar 3 persen, sementara di Tokyo itu sekitar 60 sampai 70 persen, orang itu tinggal di hunian vertikal," paparnya.
Pengunjung melihat contoh rumah subsidi 14 meter persegi (M2) di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (16/6/2025). (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)
Untuk mendorong usulan tersebut, Kementerian PKP menghadirkan konsep mock up rumah subsidi yang dibuat oleh Lippo Group dan bisa dilihat publik di Lobby Nobu Bank Plaza Semanggi, Jakarta.
Ada dua tipe rumah yang ditampilkan yakni Tipe 1 Kamar Tidur (Bedroom) dengan luas bangunan 14 meter persegi dan luas tanah 25 meter persegi (2,6 x 9,6 meter). Untuk pilihan yang lebih luas, yakni Tipe 2 Kamar Tidur (Bedrooms) dengan luas bangunan 23,4 meter persegi dan luas tanah 26,3 meter persegi (2,6 x 10,1 meter).
Kehadiran mock up rumah tersebut merupakan lanjutan dari usulan Kementerian PKP untuk merubah batas minimal luas bangunan rumah bersubsidi dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi. Pengurangan luas ini diklaim bisa membantu menurunkan harga rumah, sehingga meningkatkan akses MBR untuk membeli rumah.
Ketentuan mengenai ukuran rumah subsidi berada dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023. Dalam beleid itu, diatur luas tanah rumah tapak subsidi minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sedangkan luas bangunan ditetapkan minimal 21 meter persegi hingga 36 meter persegi.
Pemerintah tengah menggodok revisi beleid tersebut. Dalam naskah rancangan perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang beredar, pemerintah mengusulkan minimal luas tanah diperkecil jadi 25 meter persegi. Sementara luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Saat ini naskah tersebut masih dalam tahap pembahasan dengan para pemangku kepentingan. Gagasan tersebut masih harus melalui uji pendapat dengan menjaring masukan para pemangku kepentingan yang terdiri dari pengembang properti, perbankan, dan komunitas masyarakat.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.