5 Kebiasaan Gen Z yang Jadi Target Penjahat Siber
14 June 2025 |
08:29 WIB
Generasi Z terbilang memiliki kebiasaan daring yang buruk, mulai dari keranjingan berbelanja online hingga berbagi secara berlebihan (oversharing) di media sosial. Perilaku ini disinyalir menjadi celah empuk bagi para penjahat siber melancarkan aksinya.
Tidak bisa dimungkiri, Gen Z lahir dan dibesarkan di dunia teknologi yang berkembang pesat. Mereka menjadi generasi yang paling paham internet. Sejak usia dini, mereka telah membentuk dan mendefinisikan ulang lanskap digital, meninggalkan jejak daring jauh sebelum mereka memahami risikonya.
Baca juga: Waspada Serangan Siber Pakai AI, Begini Cara Mencegahnya
Namun, saat mereka menjelajahi dunia hiperkonektivitas, media sosial, dan belanja daring, ancaman siber pun berkembang dengan cepat. “Penyerang dengan cepat mengubah perilaku populer menjadi peluang untuk melakukan phishing, penipuan, dan pelanggaran data,” ujar Anna Larkina, pakar privasi di Kaspersky, dikutip Hypeabis.id, Jumat (13/5/2025).
Dari catatan Kaspersky, penjahat siber dapat mengubah kebiasaan daring Gen Z menjadi vektor serangan. Seperti apa caranya? Simak ulasannya berikut ini yuk, Genhype.
Kendati demikian, berbagi secara terus-menerus ini menciptakan jejak digital yang luas dan dapat dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk pencurian identitas atau serangan rekayasa sosial.
Oversharing dapat secara tidak sengaja mengungkapkan detail sensitif, mulai dari alamat rumah di latar belakang foto hingga rutinitas yang membuat pengguna dapat diprediksi. Bahkan konten yang tampaknya tidak berbahaya, seperti foto pasangan atau hewan peliharaan, dapat memberikan petunjuk untuk pertanyaan pemulihan kata sandi.
Melihat teman sebaya menghadiri acara, memiliki produk baru, atau mencapai tonggak sejarah dapat menimbulkan perasaan tidak mampu atau dikucilkan. Baik itu peluncuran iPhone baru, Tur Eras Taylor Swift, atau acara olahraga besar, FOMO dapat mendorong pengguna untuk mengeklik tautan yang tidak terverifikasi yang menjanjikan akses awal atau penawaran eksklusif.
Nah, penjahat siber memanfaatkan urgensi ini dengan membuat skema phishing clickbait, mengarahkan pengguna ke situs berbahaya yang mencuri kredensial login atau mendistribusikan malware. Tiket acara palsu, penipuan pre-order, dan bocornya informasi orang dalam hanyalah segelintir taktik yang digunakan untuk memanipulasi ketakutan ini.
Tagar seperti #Y2Kfashion dan #Y2Kaesthetic diketahui telah ditonton miliaran kali. Ketertarikan Gen Z terhadap budaya awal 2000an, mulai dari estetika Y2K hingga permainan anak-anak, menghidupkan kembali minat terhadap judul-judul retro seperti The Sims 2, Barbie Fashion Designer, dan Bratz Rock Angelz.
Permainan-permainan ini membangkitkan nostalgia, tetapi pencarian unduhan tidak resmi sering kali mengarahkan pengguna ke situs-situs yang dipenuhi malware.
Penjahat siber menargetkan minat khusus ini dengan menanamkan perangkat lunak berbahaya ke dalam berkas-berkas permainan palsu. Apa yang tampak seperti perjalanan menyusuri kenangan dapat mengakibatkan perangkat disusupi atau data dicuri.
Bagi Gen Z, fast fashion lebih dari sekadar preferensi berbelanja, ini adalah gaya hidup. Akan tetapi, mereka perlu berhati-hati dengan situs web belanja palsu, kode promo palsu, dan iklan phishing yang memanfaatkan popularitas brand-brand ternama.
Penjahat siber kerap membuat tiruan meyakinkan untuk memikat pengguna agar memasukkan detail sensitif melalui web palsu ini. Semakin tinggi keterlibatan dalam belanja daring, semakin tinggi risiko menghadapi situs web palsu dan penipuan phishing yang membahayakan informasi pribadi dan keuangan.
Dari penelitian publik yang dicatat Kaspersky, satu dari tiga orang berusia 18 hingga 24 tahun kini melaporkan gejala yang menunjukkan bahwa mereka telah mengalami masalah kesehatan mental tersebut. Alhasil mereka beralih secara ekstensif ke perangkat digital seperti platform teleterapi dan pelacak kesehatan mental untuk meredakan stres.
Kendati demikian, platform ini menyimpan informasi pribadi yang sangat sensitif, termasuk kondisi emosional, catatan terapi, dan rutinitas pengguna. Jika terjadi pelanggaran, data ini dapat dimanfaatkan untuk pemerasan atau phishing.
Baca juga: Waspada Quishing, Modus Kejahatan Siber Canggih Memanfaatkan QR Code
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Tidak bisa dimungkiri, Gen Z lahir dan dibesarkan di dunia teknologi yang berkembang pesat. Mereka menjadi generasi yang paling paham internet. Sejak usia dini, mereka telah membentuk dan mendefinisikan ulang lanskap digital, meninggalkan jejak daring jauh sebelum mereka memahami risikonya.
Baca juga: Waspada Serangan Siber Pakai AI, Begini Cara Mencegahnya
Namun, saat mereka menjelajahi dunia hiperkonektivitas, media sosial, dan belanja daring, ancaman siber pun berkembang dengan cepat. “Penyerang dengan cepat mengubah perilaku populer menjadi peluang untuk melakukan phishing, penipuan, dan pelanggaran data,” ujar Anna Larkina, pakar privasi di Kaspersky, dikutip Hypeabis.id, Jumat (13/5/2025).
Dari catatan Kaspersky, penjahat siber dapat mengubah kebiasaan daring Gen Z menjadi vektor serangan. Seperti apa caranya? Simak ulasannya berikut ini yuk, Genhype.
1. Oversharing
Bagi Gen Z, berbagi momen kehidupan secara daring menjadi hal yang lumrah. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat dipenuhi dengan swafoto yang diberi tag geografis, pembaruan harian, dan kisah pribadi.Kendati demikian, berbagi secara terus-menerus ini menciptakan jejak digital yang luas dan dapat dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk pencurian identitas atau serangan rekayasa sosial.
Oversharing dapat secara tidak sengaja mengungkapkan detail sensitif, mulai dari alamat rumah di latar belakang foto hingga rutinitas yang membuat pengguna dapat diprediksi. Bahkan konten yang tampaknya tidak berbahaya, seperti foto pasangan atau hewan peliharaan, dapat memberikan petunjuk untuk pertanyaan pemulihan kata sandi.
2. Fear of Missing Out (FOMO)
Takut ketinggalan alias FOMO mengacu pada kecemasan atau kegelisahan yang muncul karena takut tertinggal atau tidak menjadi bagian dari pembaruan jika mereka tidak mengikuti apa yang dilakukan orang lain di media sosial. FOMO merupakan pendorong yang kuat bagi Gen Z, dipicu pembaruan media sosial tentang peluncuran produk, konser, dan acara.Melihat teman sebaya menghadiri acara, memiliki produk baru, atau mencapai tonggak sejarah dapat menimbulkan perasaan tidak mampu atau dikucilkan. Baik itu peluncuran iPhone baru, Tur Eras Taylor Swift, atau acara olahraga besar, FOMO dapat mendorong pengguna untuk mengeklik tautan yang tidak terverifikasi yang menjanjikan akses awal atau penawaran eksklusif.
Nah, penjahat siber memanfaatkan urgensi ini dengan membuat skema phishing clickbait, mengarahkan pengguna ke situs berbahaya yang mencuri kredensial login atau mendistribusikan malware. Tiket acara palsu, penipuan pre-order, dan bocornya informasi orang dalam hanyalah segelintir taktik yang digunakan untuk memanipulasi ketakutan ini.
3. Nostalgia mode Y2K dan budaya awal 2000-an
Bagi Gen Z, mode Y2K merupakan perpaduan antara nostalgia akan masa pra-digital yang lebih sederhana dan keinginan untuk menciptakan kembali gaya tersebut dengan sentuhan modern. Platform seperti TikTok dan Instagram telah memperkuat kebangkitan Y2K, dengan para influencer yang menciptakan kembali tampilan vintage dan berbagi barang-barang bekas.Tagar seperti #Y2Kfashion dan #Y2Kaesthetic diketahui telah ditonton miliaran kali. Ketertarikan Gen Z terhadap budaya awal 2000an, mulai dari estetika Y2K hingga permainan anak-anak, menghidupkan kembali minat terhadap judul-judul retro seperti The Sims 2, Barbie Fashion Designer, dan Bratz Rock Angelz.
Permainan-permainan ini membangkitkan nostalgia, tetapi pencarian unduhan tidak resmi sering kali mengarahkan pengguna ke situs-situs yang dipenuhi malware.
Penjahat siber menargetkan minat khusus ini dengan menanamkan perangkat lunak berbahaya ke dalam berkas-berkas permainan palsu. Apa yang tampak seperti perjalanan menyusuri kenangan dapat mengakibatkan perangkat disusupi atau data dicuri.
4. Fast fashion
Gen Z menyukai pakaian yang ekspresif, ingin tampil menonjol daripada sekadar mengikuti tren, dan memiliki gaya yang selalu berubah. Kebiasaan mereka dalam mengikuti tren didukung oleh peritel fast fashion yang menyediakan cara mudah untuk mengubahnya.Bagi Gen Z, fast fashion lebih dari sekadar preferensi berbelanja, ini adalah gaya hidup. Akan tetapi, mereka perlu berhati-hati dengan situs web belanja palsu, kode promo palsu, dan iklan phishing yang memanfaatkan popularitas brand-brand ternama.
Penjahat siber kerap membuat tiruan meyakinkan untuk memikat pengguna agar memasukkan detail sensitif melalui web palsu ini. Semakin tinggi keterlibatan dalam belanja daring, semakin tinggi risiko menghadapi situs web palsu dan penipuan phishing yang membahayakan informasi pribadi dan keuangan.
5. iDisorder
Generasi Z menghadapi fenomena yang disebut iDisorder, yaitu kondisi di mana kemampuan otak untuk memproses informasi berubah karena terlalu sering terpapar teknologi. Obsesi terhadap teknologi ini dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisik, dan sosial, termasuk depresi dan kecemasan.Dari penelitian publik yang dicatat Kaspersky, satu dari tiga orang berusia 18 hingga 24 tahun kini melaporkan gejala yang menunjukkan bahwa mereka telah mengalami masalah kesehatan mental tersebut. Alhasil mereka beralih secara ekstensif ke perangkat digital seperti platform teleterapi dan pelacak kesehatan mental untuk meredakan stres.
Kendati demikian, platform ini menyimpan informasi pribadi yang sangat sensitif, termasuk kondisi emosional, catatan terapi, dan rutinitas pengguna. Jika terjadi pelanggaran, data ini dapat dimanfaatkan untuk pemerasan atau phishing.
Baca juga: Waspada Quishing, Modus Kejahatan Siber Canggih Memanfaatkan QR Code
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.