Hypereport: Tren Sektor Perfilman 2025, Penuh Keberagaman Cerita & Eksplorasi
25 November 2024 |
00:00 WIB
Penonton film Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, jumlahnya menembus 70 juta penonton pada tahun ini. Raihan tersebut merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah sejak film pertama Indonesia tayang pada 1926.
Dengan raihan ini, banyak pakar dan pesohor film menyebut industri gambar gerak ini tengah kembali menyongsong masa keemasan baru perfilman nasional. Para pelaku industri sepakat, 2025 akan jadi tahun penuh optimistme bagi perfilman Tanah Air.
Sutradara Joko Anwar sepakat bahwa dunia perfilman Indonesia tengah menapaki satu lagi periode penting. Menurut dia, saat ini Indonesia tengah kembali berada di era keemasan perfilman ketiga. Bagi Joko, era keemasan pertama perfilman Indonesia terjadi pada medio 1940-an. Lalu, era keemasan kedua terjadi pada era 1970-an. Yang ketiga, era keemasan itu terjadi selepas pandemi Covid-19 sampai saat ini.
Baca juga: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih Piala Citra FFI 2024
Sutradara film Siksa Kubur ini mengatakan dalam setiap masa keemasan tersebut, ada satu ciri khas yang paling kentara terjadi, yakni eratnya hubungan sineas dengan penonton. Simbiosis mutualisme ini membuat film sebagai industri maupun produk budaya bisa berkembang pesat.
“Saat ini juga kan, kedekatan pembuat film dan penonton itu tinggi banget. Sineas bisa menciptakan film yang relegan dengan isu atau apa yang tengah terjadi di masyarakat, penonton pun mengapresiasinya,” ucap Joko di ICE BSD, beberapa waktu lalu.
Di luar itu, ekosistem yang terbangun juga kini makin baik. Hal ini mendorong sineas untuk lebih berkarya tanpa batas. Bagi Joko, kepercayaan dari penonton ini mesti terus dijaga pada tahun depan dan tahun-tahun berikutnya.
Optimisme serupa disampaikan pula oleh sutradara Garin Nugroho. Menurut dia, apresiasi penonton Indonesia terhadap perfilman makin tinggi. Hal ini pada ujungnya memberi keberanian keberagaman tema dan penceritaan yang dibawa oleh sineas.
Garin mengatakan film Samsara, yang mendapat total 9 nominasi menjadi bukti bahwa tingkat apresiasi karya di Indonesia makin tinggi. Padahal, Samsara merupakan film bisu, dengan pendekatan hitam putih, dan balutan musik tradisi yang lekat. “Inovasi selalu menjadi hal terdepan dalam sinema Indonesia,” tuturnya.
Sineas perempuan Kamila Andini juga menuturkan bahwa perfilman Tanah Air tengah merandai cakrawala baru. Ke depan, lanjutnya, bentuk-bentuk film yang penuh keberagaman akan lebih muncul.
Sutradara Gadis Kretek ini mengatakan ekosistem perfilman sekarang ini dan ke depan akan makin besar. Hal ini pada akhirnya juga akan menuntun sineas untuk melahirkan karya-karya yang makin beragam.
“Karya-karya itu akan makin berbicara tentang kita, dari Sabang sampai Merauke. Kita bisa makin sama-sama memiliki film Indonesia sebagai identitas sebagai sebuah kesatuan negara,” tegasnya.
Peneliti film Hikmat Darmawan mengatakan tren positif jumlah film Indonesia mesti benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk perkembangan perfilman. Menurutnya, sudah saatnya film-film yang mengangkat berbagai cerita dan eksplorasi bentuk mendapat ruang di bioskop.
Hikmat mengatakan dilihat dari hulu, sineas-sineas Indonesia sebenarnya punya banyak sekali tawaran keberagaman yang menarik. Eksplorasi sutradara itu tampil dalam berbagai hal, bentuk penceritaan, tema, hingga estetika lainnya.
Hal itu misalnya dapat dilihat dari produksi film-film pendek maupun dokumenter. Menurut Hikmat, dua medium ini adalah potret masa depan cerah perfilman Indonesia dengan berbagai eksplorasi menarik terjadi di dalamnya.
Sebenarnya, lanjutnya, di film panjang hal serupa juga terjadi. Namun, di film panjang memiliki masalah yang lebih kompleks, dari dukungan pendanaan yang lebih besar untuk mencoba hal-hal berbau eksplorasi hingga yang tak kalah penting adalah kesempatan jam tayang.
Hikmat menaruh perhatian penting pada hilirisasi produk film. Sebab, diakui atau tidak, bagian hilir ini nanti bisa berpengaruh pula pada hulu. Meski di hulu produksi keberagaman ini melimpah, ketika sebuah film itu tidak tayang tentu akan percuma.
“Yang menjegal film Indonesia adalah distribusi yang hilang sehingga pasarnya enggak majemuk dan keterjangkauan akses masyarakat ke bioskop. Dua hal ini yang kerap membuat situasnya jadi pragmatis, akhirnya yang ‘tampil’ seolah begitu-begitu saja,” ungkap Hikmat.
Menurutnya, permasalahan distribusi ini memang perlu jadi perhatian bersama. Jangan sampai, lanjutnya, sineas yang punya daya eksplorasi tinggi, kemudian menjadi pragmatis karena ruang-ruang keragaman tersebut tidak memadai.
Hikmat mengatakan saat ini perfilman Indonesia perlu memiliki jembatan yang kokoh antara film sebagai produk kesenian dan film sebagai bisnis. Keduanya, baginya perlu berjalan beriringan tanpa memakan satu sama lain.
Hikmat pun mendukung gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menginginkan ditambahnya layar bioskop. Namun, bagi Hikmat itu barulah gagasan setengah jalan. Sebab, distribusi dan pemerataannya perlu juga diperhatikan agar setiap bentuk film bisa tayang dan bertemu dengan penontonnya.
Secara genre, peneliti film ini memprediksi film Indonesia tahun depan masih akan berkutat pada empat genre, yakni horor, melodrama religi, melodrama keluarga, dan komedi.
Baca juga: Indonesia Butuh Lebih Banyak Layar Bioskop untuk Dongkrak Industri Film
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Puput Ady Sukarno
Dengan raihan ini, banyak pakar dan pesohor film menyebut industri gambar gerak ini tengah kembali menyongsong masa keemasan baru perfilman nasional. Para pelaku industri sepakat, 2025 akan jadi tahun penuh optimistme bagi perfilman Tanah Air.
Sutradara Joko Anwar sepakat bahwa dunia perfilman Indonesia tengah menapaki satu lagi periode penting. Menurut dia, saat ini Indonesia tengah kembali berada di era keemasan perfilman ketiga. Bagi Joko, era keemasan pertama perfilman Indonesia terjadi pada medio 1940-an. Lalu, era keemasan kedua terjadi pada era 1970-an. Yang ketiga, era keemasan itu terjadi selepas pandemi Covid-19 sampai saat ini.
Baca juga: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih Piala Citra FFI 2024
Sutradara film Siksa Kubur ini mengatakan dalam setiap masa keemasan tersebut, ada satu ciri khas yang paling kentara terjadi, yakni eratnya hubungan sineas dengan penonton. Simbiosis mutualisme ini membuat film sebagai industri maupun produk budaya bisa berkembang pesat.
“Saat ini juga kan, kedekatan pembuat film dan penonton itu tinggi banget. Sineas bisa menciptakan film yang relegan dengan isu atau apa yang tengah terjadi di masyarakat, penonton pun mengapresiasinya,” ucap Joko di ICE BSD, beberapa waktu lalu.
Di luar itu, ekosistem yang terbangun juga kini makin baik. Hal ini mendorong sineas untuk lebih berkarya tanpa batas. Bagi Joko, kepercayaan dari penonton ini mesti terus dijaga pada tahun depan dan tahun-tahun berikutnya.
Produksi film (Sumber gambar: Unsplash/ Jakob Owens)
Optimisme serupa disampaikan pula oleh sutradara Garin Nugroho. Menurut dia, apresiasi penonton Indonesia terhadap perfilman makin tinggi. Hal ini pada ujungnya memberi keberanian keberagaman tema dan penceritaan yang dibawa oleh sineas.
Garin mengatakan film Samsara, yang mendapat total 9 nominasi menjadi bukti bahwa tingkat apresiasi karya di Indonesia makin tinggi. Padahal, Samsara merupakan film bisu, dengan pendekatan hitam putih, dan balutan musik tradisi yang lekat. “Inovasi selalu menjadi hal terdepan dalam sinema Indonesia,” tuturnya.
Sineas perempuan Kamila Andini juga menuturkan bahwa perfilman Tanah Air tengah merandai cakrawala baru. Ke depan, lanjutnya, bentuk-bentuk film yang penuh keberagaman akan lebih muncul.
Sutradara Gadis Kretek ini mengatakan ekosistem perfilman sekarang ini dan ke depan akan makin besar. Hal ini pada akhirnya juga akan menuntun sineas untuk melahirkan karya-karya yang makin beragam.
“Karya-karya itu akan makin berbicara tentang kita, dari Sabang sampai Merauke. Kita bisa makin sama-sama memiliki film Indonesia sebagai identitas sebagai sebuah kesatuan negara,” tegasnya.
Eksplorasi Cerita Dibarengi Kesempatan Jam Tayang
Peneliti film Hikmat Darmawan mengatakan tren positif jumlah film Indonesia mesti benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk perkembangan perfilman. Menurutnya, sudah saatnya film-film yang mengangkat berbagai cerita dan eksplorasi bentuk mendapat ruang di bioskop.
Hikmat mengatakan dilihat dari hulu, sineas-sineas Indonesia sebenarnya punya banyak sekali tawaran keberagaman yang menarik. Eksplorasi sutradara itu tampil dalam berbagai hal, bentuk penceritaan, tema, hingga estetika lainnya.
Hal itu misalnya dapat dilihat dari produksi film-film pendek maupun dokumenter. Menurut Hikmat, dua medium ini adalah potret masa depan cerah perfilman Indonesia dengan berbagai eksplorasi menarik terjadi di dalamnya.
Sebenarnya, lanjutnya, di film panjang hal serupa juga terjadi. Namun, di film panjang memiliki masalah yang lebih kompleks, dari dukungan pendanaan yang lebih besar untuk mencoba hal-hal berbau eksplorasi hingga yang tak kalah penting adalah kesempatan jam tayang.
Hikmat menaruh perhatian penting pada hilirisasi produk film. Sebab, diakui atau tidak, bagian hilir ini nanti bisa berpengaruh pula pada hulu. Meski di hulu produksi keberagaman ini melimpah, ketika sebuah film itu tidak tayang tentu akan percuma.
“Yang menjegal film Indonesia adalah distribusi yang hilang sehingga pasarnya enggak majemuk dan keterjangkauan akses masyarakat ke bioskop. Dua hal ini yang kerap membuat situasnya jadi pragmatis, akhirnya yang ‘tampil’ seolah begitu-begitu saja,” ungkap Hikmat.
Produksi film (Sumber gambar: Unsplash/Brands&People)
Menurutnya, permasalahan distribusi ini memang perlu jadi perhatian bersama. Jangan sampai, lanjutnya, sineas yang punya daya eksplorasi tinggi, kemudian menjadi pragmatis karena ruang-ruang keragaman tersebut tidak memadai.
Hikmat mengatakan saat ini perfilman Indonesia perlu memiliki jembatan yang kokoh antara film sebagai produk kesenian dan film sebagai bisnis. Keduanya, baginya perlu berjalan beriringan tanpa memakan satu sama lain.
Hikmat pun mendukung gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menginginkan ditambahnya layar bioskop. Namun, bagi Hikmat itu barulah gagasan setengah jalan. Sebab, distribusi dan pemerataannya perlu juga diperhatikan agar setiap bentuk film bisa tayang dan bertemu dengan penontonnya.
Secara genre, peneliti film ini memprediksi film Indonesia tahun depan masih akan berkutat pada empat genre, yakni horor, melodrama religi, melodrama keluarga, dan komedi.
Baca juga: Indonesia Butuh Lebih Banyak Layar Bioskop untuk Dongkrak Industri Film
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.