Tarif PPN Naik Jadi 12% Mulai Januari 2025, Ini Dampaknya pada Pengeluaran Gaya Hidup
23 November 2024 |
16:00 WIB
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, sebab penjual akan membebankan tambahan pajak tersebut kepada konsumen.
Hal ini tentu akan mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di sektor barang dan jasa yang terkait dengan gaya hidup, seperti pakaian, sepatu, perangkat elektronik, hingga layanan streaming seperti Spotify dan Netflix.
Perencana keuangan Mitra Rencana Edukasi (MRE) Mike Rini Sutikno turut berkomentar mengenai mengapa penting bagi masyarakat mengencangkan sabuk jelang terdampaknya sektor gaya hidup yang begitu dekat dengan keseharian masyarakat.
Baca juga: Tanggapan Pelaku Usaha Otomotif Soal Kenaikan Tarif PPN 12 Persen
Menurut Mike, kenaikan PPN ini dapat dipandang sebagai momentum yang tepat untuk mengevaluasi ulang pola pengeluarandi sektor gaya hidup.
“Sektor gaya hidup sering kali menjadi area yang paling terdampak oleh perubahan harga, karena pengeluaran di sini cenderung lebih bersifat konsumtif dan bisa kurang terkontrol,” ungkap Mike.
Dengan adanya tambahan 1% PPN, harga barang dan jasa akan naik, sehingga konsumen perlu lebih bijak dalam mengelola pengeluarannya. Terlepas dari kontroversi kenaikan PPN, Mike menilai salah satu langkah pertama yang perlu dilakukan segera adalah membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan dalam pengeluaran sehari-hari.
Mike menekankan pentingnya melakukan evaluasi prioritas pengeluaran dengan cermat. "Dalam menghadapi kenaikan harga, kita perlu fokus pada 'value for money'. Artinya, setiap pembelian yang kita lakukan harus memberikan manfaat yang sebanding dengan harga yang kita bayar," imbuhnya.
Menurutnya, kenaikan PPN dapat menjadi kesempatan untuk lebih selektif dalam membeli barang dan jasa. Misalnya, sebelum membeli barang yang baru, pertimbangkan apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau hanya sekadar keinginan semata.
Dengan cara ini, dampak kenaikan PPN yang relatif kecil dapat diimbangi dengan pengelolaan keuangan yang lebih bijak. Mike juga menyarankan pentingnya pengelolaan anggaran yang proporsional dalam mengatur pengeluaran.
Salah satu prinsip yang bisa diterapkan adalah pembagian alokasi anggaran berdasarkan prioritas keuangan. Sebagai contoh, 30?ri pendapatan bulanan sebaiknya dialokasikan untuk menabung dan berinvestasi yang merupakan prioritas utama dalam perencanaan keuangan jangka panjang.
Selanjutnya, 5%-10% bisa digunakan untuk alokasi asuransi yang berfungsi sebagai perlindungan finansial. Jika seseorang memiliki cicilan utang, alokasi maksimalnya 30?ri pendapatan. Sisanya, sekitar 30%-40%, bisa digunakan untuk biaya hidup sehari-hari termasuk pengeluaran untuk gaya hidup.
Strategi lain yang bisa diterapkan adalah dengan lebih bijak dalam berbelanja. Mike menekankan pentingnya memiliki anggaran atau budget sebelum melakukan pembelian. "Sebisa mungkin, gunakan promo dan diskon dengan bijak. Misalnya, bandingkan harga barang yang sama di berbagai toko untuk mendapatkan harga terbaik," ujarnya.
Selain itu, konsumen juga bisa mencari alternatif barang yang lebih terjangkau namun tetap memberikan manfaat yang sama. "Kadang, kita bisa menemukan barang pengganti dengan harga lebih murah namun memiliki kualitas yang setara. Ini adalah cara yang baik untuk tetap mengontrol pengeluaran tanpa mengurangi manfaat dari produk yang dibeli," tambah Mike.
Dengan kenaikan tarif PPN yang akan diterapkan mulai Januari 2025, Mike menyarankan masyarakat perlu mempersiapkan diri dengan melakukan evaluasi terhadap pola pengeluaran, terutama di sektor gaya hidup. Mike mengingatkan agar setiap keputusan keuangan selalu mengacu pada prioritas yang jelas dengan fokus pada jangka panjang.
"Penting untuk memiliki visi keuangan yang jelas, sehingga meskipun ada penyesuaian harga, kita tetap dapat menjaga stabilitas keuangan pribadi dan keluarga," tutupnya.
Baca juga: Heboh PPN 12 Persen, Begini Dampaknya terhadap Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Hal ini tentu akan mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di sektor barang dan jasa yang terkait dengan gaya hidup, seperti pakaian, sepatu, perangkat elektronik, hingga layanan streaming seperti Spotify dan Netflix.
Perencana keuangan Mitra Rencana Edukasi (MRE) Mike Rini Sutikno turut berkomentar mengenai mengapa penting bagi masyarakat mengencangkan sabuk jelang terdampaknya sektor gaya hidup yang begitu dekat dengan keseharian masyarakat.
Baca juga: Tanggapan Pelaku Usaha Otomotif Soal Kenaikan Tarif PPN 12 Persen
Menurut Mike, kenaikan PPN ini dapat dipandang sebagai momentum yang tepat untuk mengevaluasi ulang pola pengeluarandi sektor gaya hidup.
“Sektor gaya hidup sering kali menjadi area yang paling terdampak oleh perubahan harga, karena pengeluaran di sini cenderung lebih bersifat konsumtif dan bisa kurang terkontrol,” ungkap Mike.
Dengan adanya tambahan 1% PPN, harga barang dan jasa akan naik, sehingga konsumen perlu lebih bijak dalam mengelola pengeluarannya. Terlepas dari kontroversi kenaikan PPN, Mike menilai salah satu langkah pertama yang perlu dilakukan segera adalah membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan dalam pengeluaran sehari-hari.
Mike menekankan pentingnya melakukan evaluasi prioritas pengeluaran dengan cermat. "Dalam menghadapi kenaikan harga, kita perlu fokus pada 'value for money'. Artinya, setiap pembelian yang kita lakukan harus memberikan manfaat yang sebanding dengan harga yang kita bayar," imbuhnya.
Menurutnya, kenaikan PPN dapat menjadi kesempatan untuk lebih selektif dalam membeli barang dan jasa. Misalnya, sebelum membeli barang yang baru, pertimbangkan apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau hanya sekadar keinginan semata.
Dengan cara ini, dampak kenaikan PPN yang relatif kecil dapat diimbangi dengan pengelolaan keuangan yang lebih bijak. Mike juga menyarankan pentingnya pengelolaan anggaran yang proporsional dalam mengatur pengeluaran.
Salah satu prinsip yang bisa diterapkan adalah pembagian alokasi anggaran berdasarkan prioritas keuangan. Sebagai contoh, 30?ri pendapatan bulanan sebaiknya dialokasikan untuk menabung dan berinvestasi yang merupakan prioritas utama dalam perencanaan keuangan jangka panjang.
Selanjutnya, 5%-10% bisa digunakan untuk alokasi asuransi yang berfungsi sebagai perlindungan finansial. Jika seseorang memiliki cicilan utang, alokasi maksimalnya 30?ri pendapatan. Sisanya, sekitar 30%-40%, bisa digunakan untuk biaya hidup sehari-hari termasuk pengeluaran untuk gaya hidup.
Strategi lain yang bisa diterapkan adalah dengan lebih bijak dalam berbelanja. Mike menekankan pentingnya memiliki anggaran atau budget sebelum melakukan pembelian. "Sebisa mungkin, gunakan promo dan diskon dengan bijak. Misalnya, bandingkan harga barang yang sama di berbagai toko untuk mendapatkan harga terbaik," ujarnya.
Selain itu, konsumen juga bisa mencari alternatif barang yang lebih terjangkau namun tetap memberikan manfaat yang sama. "Kadang, kita bisa menemukan barang pengganti dengan harga lebih murah namun memiliki kualitas yang setara. Ini adalah cara yang baik untuk tetap mengontrol pengeluaran tanpa mengurangi manfaat dari produk yang dibeli," tambah Mike.
Dengan kenaikan tarif PPN yang akan diterapkan mulai Januari 2025, Mike menyarankan masyarakat perlu mempersiapkan diri dengan melakukan evaluasi terhadap pola pengeluaran, terutama di sektor gaya hidup. Mike mengingatkan agar setiap keputusan keuangan selalu mengacu pada prioritas yang jelas dengan fokus pada jangka panjang.
"Penting untuk memiliki visi keuangan yang jelas, sehingga meskipun ada penyesuaian harga, kita tetap dapat menjaga stabilitas keuangan pribadi dan keluarga," tutupnya.
Baca juga: Heboh PPN 12 Persen, Begini Dampaknya terhadap Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.