Merek Lokal Dituding Fast Fashion, Apa Bahaya Sebenarnya?
22 November 2024 |
07:00 WIB
Perbincangan tentang brand lokal The Executive ramai di X sejak Rabu (20/11/2024), setelah seorang pengguna @kforkinsley membagikan pengalamannya yang positif tentang merek tersebut, menyebutnya sebagai pilihan tepat untuk office look dengan harga terjangkau.
Cuitannya menarik perhatian banyak pengguna yang juga membagikan pengalaman serupa, tapi tak lama kemudian muncul komentar yang menyebut The Executive sebagai merek fast fashion. Hal ini memicu perdebatan publik, dengan beberapa pengguna menggaris bawahi kualitas dan daya tahan produk, serta menanggapi klaim bahwa brand asal Bandung ini tak layak digolongkan dalam kategori fast fashion.
Baca juga: Cara Menerapkan Slow Fashion, Lebih Hemat dan Berkelanjutan
Mengesampingkan perdebatan yang tak ada habisnya, apa sebenarnya fast fashion dan bahaya apa yang disebabkannya?
Melansir informasi dari Zero Waste Indonesia, fast fashion merujuk pada model bisnis dalam industri pakaian yang menekankan pada produksi massal dan distribusi cepat, dengan desain yang selalu mengikuti tren terbaru dan harga yang terjangkau. Merek-merek fast fashion berusaha untuk menghadirkan koleksi baru dengan kecepatan tinggi, seringkali mengorbankan kualitas demi volume penjualan yang lebih besar.
Konsep ini memungkinkan konsumen untuk membeli pakaian dengan harga murah, namun sering kali dalam jangka pendek, kualitas produk yang rendah dan daya tahan yang terbatas menjadi masalah.
Bisnis fast fashion memiliki konotasi negatif karena dampaknya yang besar terhadap lingkungan dan kondisi kerja. Proses produksi yang cepat dan massal seringkali mengabaikan standar keberlanjutan, menciptakan limbah tekstil yang besar dan menggunakan bahan-bahan sintetis yang sulit terurai.
Selain itu, masalah etika juga muncul terkait dengan upah rendah dan kondisi kerja buruk di pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang ini. Dengan berbagai isu sosial dan lingkungan yang menyertainya, banyak konsumen kini mulai mempertanyakan apakah membeli produk dari merek fast fashion sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Fast fashion adalah salah satu industri yang paling banyak menghasilkan polusi secara global. Earth.Org menucatat industri ini menyumbang sekitar 10?ri emisi karbon global sehingga menjadi kontributor utama dalam proses perubahan iklim.
Proses produksi mereka sangat boros sumber daya, mengkonsumsi air dalam jumlah besar yang diperkirakan mencapai 20?ri total air limbah global dan menghasilkan limbah tekstil yang signifikan.
Penggunaan bahan sintetis yang lazim digunakan dalam garmen fast fashion, turut memperparah masalah lingkungan. Kain-kain ini sering kali tidak dapat terurai secara hayati dan melepaskan mikroplastik ke lautan sehingga berkontribusi terhadap polusi laut.
Selain itu pembuangan pakaian sisa tidak terjual menyebabkan meluapnya tempat pembuangan sampah dan praktik pembakaran yang melepaskan polutan berbahaya ke atmosfer.
Dampak sosial dari fast fashion juga sama meresahkannya. Industri ini sangat bergantung pada tenaga kerja murah di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di mana para pekerja sering kali menghadapi kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan masalah pelanggaran hak kerja.
Laporan Earth. Org menunjukkan bahwa banyak pekerja garmen ini umumnya perempuan muda yang mengalami praktik eksploitasi, termasuk kerja paksa. Insiden-insiden terkenal, seperti runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013 turut menyoroti bahaya yang terkait dengan praktik-praktik manufaktur yang diabaikan oleh proses produksi semacam ini.
Secara ekonomi, meskipun fast fashion menghasilkan keuntungan yang besar bagi merek pembuatnya. Namun hal ini merusak industri garmen lokal di negara-negara maju karena ketergantungannya pada tenaga kerja murah dari negara berkembang.
Pergeseran ini telah berkontribusi pada penurunan lapangan kerja di sektor manufaktur dan menumbuhkan budaya konsumerisme sekali pakai, di mana pakaian menjadi barang yang rentan mengalami pembuangan karena harganya yang murah.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Cuitannya menarik perhatian banyak pengguna yang juga membagikan pengalaman serupa, tapi tak lama kemudian muncul komentar yang menyebut The Executive sebagai merek fast fashion. Hal ini memicu perdebatan publik, dengan beberapa pengguna menggaris bawahi kualitas dan daya tahan produk, serta menanggapi klaim bahwa brand asal Bandung ini tak layak digolongkan dalam kategori fast fashion.
Baca juga: Cara Menerapkan Slow Fashion, Lebih Hemat dan Berkelanjutan
Mengesampingkan perdebatan yang tak ada habisnya, apa sebenarnya fast fashion dan bahaya apa yang disebabkannya?
Melansir informasi dari Zero Waste Indonesia, fast fashion merujuk pada model bisnis dalam industri pakaian yang menekankan pada produksi massal dan distribusi cepat, dengan desain yang selalu mengikuti tren terbaru dan harga yang terjangkau. Merek-merek fast fashion berusaha untuk menghadirkan koleksi baru dengan kecepatan tinggi, seringkali mengorbankan kualitas demi volume penjualan yang lebih besar.
Konsep ini memungkinkan konsumen untuk membeli pakaian dengan harga murah, namun sering kali dalam jangka pendek, kualitas produk yang rendah dan daya tahan yang terbatas menjadi masalah.
Bisnis fast fashion memiliki konotasi negatif karena dampaknya yang besar terhadap lingkungan dan kondisi kerja. Proses produksi yang cepat dan massal seringkali mengabaikan standar keberlanjutan, menciptakan limbah tekstil yang besar dan menggunakan bahan-bahan sintetis yang sulit terurai.
Selain itu, masalah etika juga muncul terkait dengan upah rendah dan kondisi kerja buruk di pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang ini. Dengan berbagai isu sosial dan lingkungan yang menyertainya, banyak konsumen kini mulai mempertanyakan apakah membeli produk dari merek fast fashion sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Implikasi Fast Fashion
Meskipun fast fashion telah mengubah lanskap produksi ritel dan membuat pakaian trendi menjadi mudah diakses, namun hal ini juga memiliki implikasi yang signifikan terhadap lingkungan, masyarakat, hingga ekonomi.
Dampak Lingkungan
Fast fashion adalah salah satu industri yang paling banyak menghasilkan polusi secara global. Earth.Org menucatat industri ini menyumbang sekitar 10?ri emisi karbon global sehingga menjadi kontributor utama dalam proses perubahan iklim.Proses produksi mereka sangat boros sumber daya, mengkonsumsi air dalam jumlah besar yang diperkirakan mencapai 20?ri total air limbah global dan menghasilkan limbah tekstil yang signifikan.
Penggunaan bahan sintetis yang lazim digunakan dalam garmen fast fashion, turut memperparah masalah lingkungan. Kain-kain ini sering kali tidak dapat terurai secara hayati dan melepaskan mikroplastik ke lautan sehingga berkontribusi terhadap polusi laut.
Selain itu pembuangan pakaian sisa tidak terjual menyebabkan meluapnya tempat pembuangan sampah dan praktik pembakaran yang melepaskan polutan berbahaya ke atmosfer.
Dampak Sosial
Dampak sosial dari fast fashion juga sama meresahkannya. Industri ini sangat bergantung pada tenaga kerja murah di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di mana para pekerja sering kali menghadapi kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan masalah pelanggaran hak kerja.Laporan Earth. Org menunjukkan bahwa banyak pekerja garmen ini umumnya perempuan muda yang mengalami praktik eksploitasi, termasuk kerja paksa. Insiden-insiden terkenal, seperti runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013 turut menyoroti bahaya yang terkait dengan praktik-praktik manufaktur yang diabaikan oleh proses produksi semacam ini.
Dampak Ekonomi
Secara ekonomi, meskipun fast fashion menghasilkan keuntungan yang besar bagi merek pembuatnya. Namun hal ini merusak industri garmen lokal di negara-negara maju karena ketergantungannya pada tenaga kerja murah dari negara berkembang.Pergeseran ini telah berkontribusi pada penurunan lapangan kerja di sektor manufaktur dan menumbuhkan budaya konsumerisme sekali pakai, di mana pakaian menjadi barang yang rentan mengalami pembuangan karena harganya yang murah.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.