Indonesia Menuju Energi Ramah Lingkungan, Pengangkut LNG Jadi Kunci
26 August 2021 |
17:00 WIB
Dari waktu ke waktu, berbagai negara berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, supaya Bumi dapat menjadi tempat yang lebih baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan peralihan sumber energi dari berbasis minyak mentah menjadi gas. Dalam hal ini, Indonesia telah memilih penggunaan Liquefied Natural Gas (LNG) secara massal loh, Genhype.
Langkah itu ditandai dengan upaya pemerintah mematok target pemanfaatan LNG yang mencapai 22% pada 2025. Meski begitu, porsi pemanfaatan gas bumi saat ini baru mencapai 19,5%.
Tentunya, untuk mencapai target-target ambisius itu, butuh kontribusi dan kerja sama dengan berbagai pihak mulai dari sektor hulu penghasil gas bumi hingga hilir. LNG menjadi alternatif energi karena ramah lingkungan dan tingkat emisi rendah yang dihasilkan oleh methane.
Gambarannya, bila dibandingkan dengan CO2 adalah rasio itu mencapai 1: 21. Rasio itu sangat berperan untuk mengurangi efek rumah kaca sebagaimana dicanangkan dalam “Protokol Kyoto” yang ditandatangani oleh 188 negara pada 11 Desember 1997.
Untuk menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan dari hulu ke hilir, tentu membutuhkan suatu proses panjang, termasuk transportasi beserta pembangunan instalasi lainnya yang berkaitan dengan penyaluran LNG. Para penggawa rantai pasok inilah yang juga memegang peran penting dari cita-cita besar memassalkan penggunaan energi ramah lingkungan.
Salah satu operator transportasi LNG yang sarat pengalaman adalah PT GTS Internasional (GTSI) yang telah berkiprah selama 30 tahun belakangan ini. Sebagai operator pengangkutan LNG, GTS International memiliki teknologi canggih yang dituntut memenuhi tingkat keamanan level tertinggi.
Dalam rantai industri LNG, perseroan ini bermain di level mid-stream yang meliputi pengapalan LNG dari terminal penjual ke terminal pembeli, serta proses penyimpanan sementara dan regasifikasi LNG menjadi gas siap pakai oleh pengguna terakhir.
Dandun Widodo, Direktur PT GTSI, mengatakan bahwa Perseroan telah berkecimpung sejak tahun 1986 yang diawali oleh kerja sama antara PT Humpuss dengan Mitsui O.S.K Lines Ltd dan setahun kemudian mulai membangun kapal ST Ekaputra yang mulai dioperasikan pada 1990 yang mengangkut logistik gas dari Indonesia ke Jepang, dan Taiwan.
“Saat ini, GTSI memiliki dan mengoperasikan 2 kapal LNG yakni Ekaputra 1 dan Triputra serta 2 FSRU yaitu FSRU Amurang dan FSRU Jawa Satu,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, bisnis transportasi LNG beserta infrastruktur pendukungnya sangat menjanjikan. Saat ini, kebutuhan LNG paling banyak diserap pembangkit listrik PLN grup sebagai bagian dari upaya meningkatkan penggunaan energi bersih. Di samping itu, ada juga beberapa pengguna lain seperti di industri baik besar maupun kecil, seperti perhotelan.
Dia memberikan gambaran bahwa kebutuhan PLN akan LNG yang harus disalurkan. Misalkan, LNG yang bersumber dari Tangguh di Bintuni, Papua Barat, harus harus dikapalkan sekitar 40-60 kargo standar per tahun untuk kebutuhan domestik di mana 1 kargo standar sekitar 125.000-130.000 meter kubik.
Selain itu masih ada alokasi LNG yang berasal dari Bontang sekitar 15-20 kargo standar per tahun di mana GTSI berperan aktif dalam penyalurannya.
LNG itu dikapalkan ke FSRU (Floating Storage Regasification Unit) untuk mengubah LNG cair menjadi gas sebelum disalurkan ke pembangkit listrik di Teluk Jakarta, dan Lampung serta ke terminal LNG Arun di Aceh. GTSI, menurutnya, juga menyalurkan kargo LNG dari Bontang ke FSRU di Benoa, serta ke Amurang, di Sulawesi Utara.
Editor: Fajar Sidik
Langkah itu ditandai dengan upaya pemerintah mematok target pemanfaatan LNG yang mencapai 22% pada 2025. Meski begitu, porsi pemanfaatan gas bumi saat ini baru mencapai 19,5%.
Tentunya, untuk mencapai target-target ambisius itu, butuh kontribusi dan kerja sama dengan berbagai pihak mulai dari sektor hulu penghasil gas bumi hingga hilir. LNG menjadi alternatif energi karena ramah lingkungan dan tingkat emisi rendah yang dihasilkan oleh methane.
Gambarannya, bila dibandingkan dengan CO2 adalah rasio itu mencapai 1: 21. Rasio itu sangat berperan untuk mengurangi efek rumah kaca sebagaimana dicanangkan dalam “Protokol Kyoto” yang ditandatangani oleh 188 negara pada 11 Desember 1997.
Untuk menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan dari hulu ke hilir, tentu membutuhkan suatu proses panjang, termasuk transportasi beserta pembangunan instalasi lainnya yang berkaitan dengan penyaluran LNG. Para penggawa rantai pasok inilah yang juga memegang peran penting dari cita-cita besar memassalkan penggunaan energi ramah lingkungan.
Salah satu operator transportasi LNG yang sarat pengalaman adalah PT GTS Internasional (GTSI) yang telah berkiprah selama 30 tahun belakangan ini. Sebagai operator pengangkutan LNG, GTS International memiliki teknologi canggih yang dituntut memenuhi tingkat keamanan level tertinggi.
Dalam rantai industri LNG, perseroan ini bermain di level mid-stream yang meliputi pengapalan LNG dari terminal penjual ke terminal pembeli, serta proses penyimpanan sementara dan regasifikasi LNG menjadi gas siap pakai oleh pengguna terakhir.
Dandun Widodo, Direktur PT GTSI, mengatakan bahwa Perseroan telah berkecimpung sejak tahun 1986 yang diawali oleh kerja sama antara PT Humpuss dengan Mitsui O.S.K Lines Ltd dan setahun kemudian mulai membangun kapal ST Ekaputra yang mulai dioperasikan pada 1990 yang mengangkut logistik gas dari Indonesia ke Jepang, dan Taiwan.
“Saat ini, GTSI memiliki dan mengoperasikan 2 kapal LNG yakni Ekaputra 1 dan Triputra serta 2 FSRU yaitu FSRU Amurang dan FSRU Jawa Satu,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, bisnis transportasi LNG beserta infrastruktur pendukungnya sangat menjanjikan. Saat ini, kebutuhan LNG paling banyak diserap pembangkit listrik PLN grup sebagai bagian dari upaya meningkatkan penggunaan energi bersih. Di samping itu, ada juga beberapa pengguna lain seperti di industri baik besar maupun kecil, seperti perhotelan.
Dia memberikan gambaran bahwa kebutuhan PLN akan LNG yang harus disalurkan. Misalkan, LNG yang bersumber dari Tangguh di Bintuni, Papua Barat, harus harus dikapalkan sekitar 40-60 kargo standar per tahun untuk kebutuhan domestik di mana 1 kargo standar sekitar 125.000-130.000 meter kubik.
Selain itu masih ada alokasi LNG yang berasal dari Bontang sekitar 15-20 kargo standar per tahun di mana GTSI berperan aktif dalam penyalurannya.
LNG itu dikapalkan ke FSRU (Floating Storage Regasification Unit) untuk mengubah LNG cair menjadi gas sebelum disalurkan ke pembangkit listrik di Teluk Jakarta, dan Lampung serta ke terminal LNG Arun di Aceh. GTSI, menurutnya, juga menyalurkan kargo LNG dari Bontang ke FSRU di Benoa, serta ke Amurang, di Sulawesi Utara.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.