Film Dokumenter 17 Surat Cinta Serukan Perlindungan Hutan
05 November 2024 |
13:27 WIB
Ekspedisi Indonesia Baru yang bekerja sama dengan Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, Greenpeace Indonesia, dan Pusaka Bentala Rakyat membuat film dokumenter berjudul 17 Surat Cinta, yang mengangkat suara-suara tentang hutan dan masyarakatnya yang selama ini terlupakan.
Farwiza Farhan, Direktur Yayasan HAkA mengatakan bahwa film dokumenter 17 Surat Cinta mengajak penonton menjelajahi sisi lain perlindungan lingkungan di Indonesia dan mempertanyakan efisiensi penetapan wilayah konservasi. “Dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dari ancaman deforestasi,” katanya dalam siaran pers pada Selasa (5/11/2024).
Baca juga: Joko Anwar Ungkap Tantangan Casting Terberat Untuk Film Pengepungan di Bukit Duri
Dia menuturkan, film 17 Surat Cinta mengangkat kisah nyata perjuangan masyarakat sipil yang telah mengirimkan 17 surat dan laporan kepada otoritas terkait, terutama Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, mengenai deforestasi ilegal yang berlangsung di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh.
Daerah tersebut merupakan wilayah hutan gambut, menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser, dan satu-satunya ekosistem yang dihuni oleh badak Sumatera, gajah, harimau, dan orang utan Sumatera secara bersama-sama.
Suaka Margasatwa sebenarnya adalah area yang paling mendapatkan perlindungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas perusakan hutan di SM Rawa Singkil masih terjadi.
Film dokumenter ini juga mengangkat permasalahan besar yang terjadi di tempat itu, yakni ekspansi perkebunan sawit ilegal guna memasok berbagai kebutuhan dari perusahaan besar.
Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia akan kehilangan ekosistem kritis jika perusakan yang terjadi terus mendapatkan pembiaran. Tidak hanya itu, perusakan juga akan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat setempat yang bergantung pada hutan.
Pada kesempatan yang sama, Mufti Barri dari Forest Watch Indonesia mengungkapkan bahwa tragedi deforestasi di SM Rawa Singkil ini menguatkan temuan National History Museum perihal meningkatnya penurunan keutuhan kawasan konservasi (biodiversity intactness) di dunia.
Menurutnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah tidak berarti lebih baik bagi keragaman hayati. Dengan begitu, pemerintah Indonesia perlu mendorong dan merekognisi wilayah yang telah dikonservasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah lama terbukti lebih efisien dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati.
“Kasus yang diangkat dalam film ini bukan hanya soal perusakan hutan, tapi juga bentuk pengabaian hak masyarakat adat dan kerusakan ekosistem penting,” ujarnya.
Dia menambahkan, 17 Surat Cinta menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa janji perlindungan hutan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar slogan.
Baca juga: Serba-serbi Film Horor Hutang Nyawa, Diangkat dari Threat Viral di Twitter
Pada kesempatan yang sama, Team Leader Forest Campaigner dari Greenpeace Arie Rompas menturkan bahwa 17 Surat Cinta mengkspos cara perusakan hutan yang terjadi secara sistematis, bahkan di kawasan yang secara hukum seharusnya terlindungi.
“Ini adalah seruan untuk pemerintah Indonesia agar benar-benar menghentikan deforestasi dan melindungi kawasan konservasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, film ini juga memiliki tujuan untuk menuntut keseriusan para pihak menghentikan deforestasi di Indonesia, terutama di dalam kawasan konservasi.
Editor: Fajar Sidik
Farwiza Farhan, Direktur Yayasan HAkA mengatakan bahwa film dokumenter 17 Surat Cinta mengajak penonton menjelajahi sisi lain perlindungan lingkungan di Indonesia dan mempertanyakan efisiensi penetapan wilayah konservasi. “Dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dari ancaman deforestasi,” katanya dalam siaran pers pada Selasa (5/11/2024).
Baca juga: Joko Anwar Ungkap Tantangan Casting Terberat Untuk Film Pengepungan di Bukit Duri
Dia menuturkan, film 17 Surat Cinta mengangkat kisah nyata perjuangan masyarakat sipil yang telah mengirimkan 17 surat dan laporan kepada otoritas terkait, terutama Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, mengenai deforestasi ilegal yang berlangsung di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh.
Daerah tersebut merupakan wilayah hutan gambut, menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser, dan satu-satunya ekosistem yang dihuni oleh badak Sumatera, gajah, harimau, dan orang utan Sumatera secara bersama-sama.
Suaka Margasatwa sebenarnya adalah area yang paling mendapatkan perlindungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas perusakan hutan di SM Rawa Singkil masih terjadi.
Film dokumenter ini juga mengangkat permasalahan besar yang terjadi di tempat itu, yakni ekspansi perkebunan sawit ilegal guna memasok berbagai kebutuhan dari perusahaan besar.
Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia akan kehilangan ekosistem kritis jika perusakan yang terjadi terus mendapatkan pembiaran. Tidak hanya itu, perusakan juga akan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat setempat yang bergantung pada hutan.
Pada kesempatan yang sama, Mufti Barri dari Forest Watch Indonesia mengungkapkan bahwa tragedi deforestasi di SM Rawa Singkil ini menguatkan temuan National History Museum perihal meningkatnya penurunan keutuhan kawasan konservasi (biodiversity intactness) di dunia.
Menurutnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah tidak berarti lebih baik bagi keragaman hayati. Dengan begitu, pemerintah Indonesia perlu mendorong dan merekognisi wilayah yang telah dikonservasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah lama terbukti lebih efisien dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati.
“Kasus yang diangkat dalam film ini bukan hanya soal perusakan hutan, tapi juga bentuk pengabaian hak masyarakat adat dan kerusakan ekosistem penting,” ujarnya.
Dia menambahkan, 17 Surat Cinta menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa janji perlindungan hutan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar slogan.
Baca juga: Serba-serbi Film Horor Hutang Nyawa, Diangkat dari Threat Viral di Twitter
Pada kesempatan yang sama, Team Leader Forest Campaigner dari Greenpeace Arie Rompas menturkan bahwa 17 Surat Cinta mengkspos cara perusakan hutan yang terjadi secara sistematis, bahkan di kawasan yang secara hukum seharusnya terlindungi.
“Ini adalah seruan untuk pemerintah Indonesia agar benar-benar menghentikan deforestasi dan melindungi kawasan konservasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, film ini juga memiliki tujuan untuk menuntut keseriusan para pihak menghentikan deforestasi di Indonesia, terutama di dalam kawasan konservasi.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.