Entitas Bisnis Waspada! Jenis Serangan Siber Ini Paling Banyak Makan Korban
04 September 2024 |
09:56 WIB
Ancaman digital semakin masif dan terus berevolusi seiring munculnya teknologi artificial intelligence (AI). Risiko penyalahgunaan data oleh para penjahat dunia maya pun meningkat dan menimbulkan kerugian finansial yang signifikan pada korban, terutama entitas bisnis.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengatakan kanal layanan cekrekening.id milik kementeriannya mencatat 572.185 kasus fraud atau penipuan online yang dilaporkan sepanjang 2017 hingga 2 September 2024. Lebih terperinci, ditemukan ada 528.415 fraud jual beli online dan sisanya, 43.770 kasus merupakan fraud investasi fiktif online.
“Jenis fraud yang mendominasi adalah penipuan jual beli online dan investasi fiktif online,” ujarnya dalam acara VIDA Executive Summit di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Baca juga: Eksklusif Onno W. Purbo: Sumber Daya Manusia Jadi Elemen Penting Menangkal Serangan Siber
Deepfake, penipuan berbasis teknologi AI, pengambilalihan akun (account takeovers), dan serangan social engineering, diketahui telah meningkat hingga 1.550 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Laporan riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang diluncurkan VIDA mencatat, 97 persen bisnis di Indonesia menjadi sasaran serangan social engineering dalam setahun terakhir.
Social engineeringadalah jenis serangan siber yang memanipulasi psikologis korban melalui rekayasa sosial untuk mencuri data atau informasi tanpa disadari korbannya. Phising dan smishing dikatakan menjadi metode social engineering yang paling umum digunakan.
Phising merupakan praktik penipuan online dengan cara menyamar sebagai entitas terpercaya untuk mencuri informasi pribadi korbannya. Adapun smishing adalah serangan rekayasa sosial yang menggunakan pesan SMS palsu untuk mengelabui korbannya.
Founder dan CEO VIDA Group Niki Luhur, menyampaikan 90 persen bisnis mengidentifikasi phising sebagai ancaman terbesar mereka, dengan 56 persen bisnis kesulitan untuk mendeteksi dan mencegah serangan ini. Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa 84 persen bisnis mengalami identity fraud atau penipuan digital pada tahun lalu.
Sementara 100 persen bisnis dalam survei ini mengutarakan keprihatinannya terhadap risiko yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake. “Risiko deepfake dan penipuan lainnya oleh teknologi AI itu nyata, dan banyak bisnis kehilangan miliaran rupiah karena serangan ini,” tutur Niki.
Kendati demikian, dari banyaknya serangan digital, 46 persen bisnis tidak memiliki pemahaman teknologi AI yang mendalam untuk mencegahnya. Managing Director VIDA Adrian Anwar mengatakan entitas bisnis belum mengerti apa itu deepfake, AI fraud, hingga bagaimana cara menanganinya.
“Separuhnya merasa kebobolan karena belum mengerti, boro-boro mengimplementasikan solusi,” sebutnya.
Oleh karena itu, katanya VIDA hadir untuk mengedukasi, partner terpercaya dalam diskusi, hingga menghadirkan solusi alternatif. Untuk solusi menghadapi ancaman penipuan, terutama yang terjadi dalam proses transaksi digital di Indonesia, pihaknya hari ini meluncurkan VIDA Identity Stack.
VIDA Identity Stack yang memiliki tingkat penurunan penipuan identitas sebanyak 99,9 persen ini katanya didesain untuk melindungi bisnis agar aman dan lancar untuk pengalaman pengguna pelanggan. Software ini mengatasi secara langsung dua masalah utama yaitu kerugian finansial dan menurunnya kepercayaan pada sistem digital.
Salah satu solusi yang ditawarkan VIDA Identity Stack yaitu fraud detection atau deteksi penipuan digital dengan tiga fitur, antara lain fraud scanner yang menggunakan teknologi AI tingkat lanjut dan machine learning untuk mendeteksi aktivitas penipuan.
Kedua, deepfake detector atau mengidentifikasi dan mencegah konten deepfake. Ketiga yakni deepfake shield, untuk mencegah para penipu agar tidak bisa meretas kamera perangkat, menyediakan pertahanan terhadap serangan deepfake pada saat itu juga.
Baca juga: Perusahaan Telekomunikasi Jadi Target Utama Serangan Siber, Ini Alasannya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengatakan kanal layanan cekrekening.id milik kementeriannya mencatat 572.185 kasus fraud atau penipuan online yang dilaporkan sepanjang 2017 hingga 2 September 2024. Lebih terperinci, ditemukan ada 528.415 fraud jual beli online dan sisanya, 43.770 kasus merupakan fraud investasi fiktif online.
“Jenis fraud yang mendominasi adalah penipuan jual beli online dan investasi fiktif online,” ujarnya dalam acara VIDA Executive Summit di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Baca juga: Eksklusif Onno W. Purbo: Sumber Daya Manusia Jadi Elemen Penting Menangkal Serangan Siber
Deepfake, penipuan berbasis teknologi AI, pengambilalihan akun (account takeovers), dan serangan social engineering, diketahui telah meningkat hingga 1.550 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Laporan riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang diluncurkan VIDA mencatat, 97 persen bisnis di Indonesia menjadi sasaran serangan social engineering dalam setahun terakhir.
Social engineeringadalah jenis serangan siber yang memanipulasi psikologis korban melalui rekayasa sosial untuk mencuri data atau informasi tanpa disadari korbannya. Phising dan smishing dikatakan menjadi metode social engineering yang paling umum digunakan.
Phising merupakan praktik penipuan online dengan cara menyamar sebagai entitas terpercaya untuk mencuri informasi pribadi korbannya. Adapun smishing adalah serangan rekayasa sosial yang menggunakan pesan SMS palsu untuk mengelabui korbannya.
Founder dan CEO VIDA Group Niki Luhur, menyampaikan 90 persen bisnis mengidentifikasi phising sebagai ancaman terbesar mereka, dengan 56 persen bisnis kesulitan untuk mendeteksi dan mencegah serangan ini. Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa 84 persen bisnis mengalami identity fraud atau penipuan digital pada tahun lalu.
Sementara 100 persen bisnis dalam survei ini mengutarakan keprihatinannya terhadap risiko yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake. “Risiko deepfake dan penipuan lainnya oleh teknologi AI itu nyata, dan banyak bisnis kehilangan miliaran rupiah karena serangan ini,” tutur Niki.
Pemateri sedang memaparkan contoh deepfake dalam afaraVIDA Executive Summit di Ritz Carlton. (Sumber gambar: Desyinta Nuraini/Hypeabis.id)
“Separuhnya merasa kebobolan karena belum mengerti, boro-boro mengimplementasikan solusi,” sebutnya.
Oleh karena itu, katanya VIDA hadir untuk mengedukasi, partner terpercaya dalam diskusi, hingga menghadirkan solusi alternatif. Untuk solusi menghadapi ancaman penipuan, terutama yang terjadi dalam proses transaksi digital di Indonesia, pihaknya hari ini meluncurkan VIDA Identity Stack.
VIDA Identity Stack yang memiliki tingkat penurunan penipuan identitas sebanyak 99,9 persen ini katanya didesain untuk melindungi bisnis agar aman dan lancar untuk pengalaman pengguna pelanggan. Software ini mengatasi secara langsung dua masalah utama yaitu kerugian finansial dan menurunnya kepercayaan pada sistem digital.
Salah satu solusi yang ditawarkan VIDA Identity Stack yaitu fraud detection atau deteksi penipuan digital dengan tiga fitur, antara lain fraud scanner yang menggunakan teknologi AI tingkat lanjut dan machine learning untuk mendeteksi aktivitas penipuan.
Kedua, deepfake detector atau mengidentifikasi dan mencegah konten deepfake. Ketiga yakni deepfake shield, untuk mencegah para penipu agar tidak bisa meretas kamera perangkat, menyediakan pertahanan terhadap serangan deepfake pada saat itu juga.
Baca juga: Perusahaan Telekomunikasi Jadi Target Utama Serangan Siber, Ini Alasannya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.