Mengenal Tradisi Rebo Wekasan yang Dilakukan untuk Menghindari Malapetaka dan Bencana
28 August 2024 |
15:57 WIB
Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah sebutan untuk hari Rabu terakhir bulan Safar pada Kalender Hijriah, yang tahu ini bertepatan pada 30 Safar 1446 H atau 4 September 2024. Banyak mitos atau keyakinan yang beredar di masyarakat, bahwa hari tersebut dihubungkan dengan malapetaka dan bencana.
Oleh karenanya, masyarakat melakukan berbagai ritual keagamaan pada Rebo Wekasan, misalnya ibadah bersama dan bersedekah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Ritual keagamaan tersebut mulai dari shalat, dzikir, hingga berdoa untuk memohon perlindungan dan berkah dari Tuhan.
Pada beberapa daerah, khususnya di pulau Jawa, Rebo Wekasan ditandai dengan upacara adat seperti pertunjukan budaya dan bersantap bersama. Makanan yang dibuat untuk upacara biasanya Ketupat, Apem, dan Nasi tumpeng.
Baca juga: Mengenal Tarhib Ramadan, Tradisi Menyambut Ramadan yang Penuh Kegiatan Positif
Berdasarkan sejarahnya, Rebo Wekasan sudah ada sejak era 1600 di Keraton Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Saat itu, rakyat Mataram terjangkit wabah penyakit. Kemudian digelar ritual untuk menolak bala wabah penyakit tersebut dan Rebo Wekasan diadakan sebagai wujud doa.
Versi lainnya menyebutkan, Rebo Wekasan merupakan upacara tradisional yang mulanya dilakukan di tempuran (tempat bertemunya dua sungai), yakni Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Kedua sungai tersebut berhubungan dengan mitos Sultan Agung yang mengadakan pertemuan dengan penguasa pantai selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Namun, karena masyarakat mulai merasa upacara ini menimbulkan efek negatif, akhirnya ritual tersebut diubah menjadi acara mengarak gunungan lemper diiringi arak-arakan.
Namun, seiring waktu masyarakat mulai menggelar sejumlah upacara adat setiap Rebo Wekasan. Misalnya Sedekah Ketupat di daerah Dayeuhluhur, Cilacap; Upacara Rebo Pungkasan di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta; Ngirab di daerah Cirebonan dan; Safaran di beberapa daerah Indonesia lainnya.
Mengutip laman Jabar NU, sebagian orang Arab menyebut bulan Safar dengan sebutan najiz karena pada bulan ini mereka merasa ditimpa kesialan (tasya’um). Hal itu kemudian dibantah oleh Rasulullah SAW.
"Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.”(HR Bukhari dan Muslim).
Para ulama dalam beberapa karyanya selalu menyandingkan kata Safar dengan kata al-khair dengan menyebut shafar al-khair (Safar yang baik) sebagai bentuk tafa’ul (berharap kebaikan dan optimis) sehingga menepis anggapan kekhususan kesialan, nahas, atau keburukan yang melekat dengan dzat bulan Safar.
Dengan demikian, diharapkan orang-orang tidak menganggap Rabu sebagai hari yang membawa kesialan, sebab banyak peristiwa penting dalam sejarah islam yang terjadi pada hari tersebut. Rabu adalah hari ketika Nabi Yunus dilahirkan, begitu juga dengan Nabi Yusuf. Selain itu, pertolongan kepada Nabi Muhammad pada perang Ahzab juga adalah hari Rabu.
Berdasarkan Hadist HR. Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa, manusia diperintahkan untuk tidak mencaci, menghina, dan mencela waktu karena sebab Allah sang pencipta, pengatur, dan penguasa waktu. Hendaklah beriman kepada qadha dan qadar-Nya, baik ataupun buruk, manis ataupun pahit, dan senang maupun dukanya.
“Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela masa atau waktu. Padahal Aku yang mengatur dan menetapkan waktu. Di tangan-Ku lah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang,” sebagaimana hadist tersebut.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Oleh karenanya, masyarakat melakukan berbagai ritual keagamaan pada Rebo Wekasan, misalnya ibadah bersama dan bersedekah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Ritual keagamaan tersebut mulai dari shalat, dzikir, hingga berdoa untuk memohon perlindungan dan berkah dari Tuhan.
Pada beberapa daerah, khususnya di pulau Jawa, Rebo Wekasan ditandai dengan upacara adat seperti pertunjukan budaya dan bersantap bersama. Makanan yang dibuat untuk upacara biasanya Ketupat, Apem, dan Nasi tumpeng.
Baca juga: Mengenal Tarhib Ramadan, Tradisi Menyambut Ramadan yang Penuh Kegiatan Positif
Berdasarkan sejarahnya, Rebo Wekasan sudah ada sejak era 1600 di Keraton Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Saat itu, rakyat Mataram terjangkit wabah penyakit. Kemudian digelar ritual untuk menolak bala wabah penyakit tersebut dan Rebo Wekasan diadakan sebagai wujud doa.
Versi lainnya menyebutkan, Rebo Wekasan merupakan upacara tradisional yang mulanya dilakukan di tempuran (tempat bertemunya dua sungai), yakni Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Kedua sungai tersebut berhubungan dengan mitos Sultan Agung yang mengadakan pertemuan dengan penguasa pantai selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Namun, karena masyarakat mulai merasa upacara ini menimbulkan efek negatif, akhirnya ritual tersebut diubah menjadi acara mengarak gunungan lemper diiringi arak-arakan.
Namun, seiring waktu masyarakat mulai menggelar sejumlah upacara adat setiap Rebo Wekasan. Misalnya Sedekah Ketupat di daerah Dayeuhluhur, Cilacap; Upacara Rebo Pungkasan di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta; Ngirab di daerah Cirebonan dan; Safaran di beberapa daerah Indonesia lainnya.
Mengutip laman Jabar NU, sebagian orang Arab menyebut bulan Safar dengan sebutan najiz karena pada bulan ini mereka merasa ditimpa kesialan (tasya’um). Hal itu kemudian dibantah oleh Rasulullah SAW.
"Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.”(HR Bukhari dan Muslim).
Para ulama dalam beberapa karyanya selalu menyandingkan kata Safar dengan kata al-khair dengan menyebut shafar al-khair (Safar yang baik) sebagai bentuk tafa’ul (berharap kebaikan dan optimis) sehingga menepis anggapan kekhususan kesialan, nahas, atau keburukan yang melekat dengan dzat bulan Safar.
Dengan demikian, diharapkan orang-orang tidak menganggap Rabu sebagai hari yang membawa kesialan, sebab banyak peristiwa penting dalam sejarah islam yang terjadi pada hari tersebut. Rabu adalah hari ketika Nabi Yunus dilahirkan, begitu juga dengan Nabi Yusuf. Selain itu, pertolongan kepada Nabi Muhammad pada perang Ahzab juga adalah hari Rabu.
Berdasarkan Hadist HR. Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa, manusia diperintahkan untuk tidak mencaci, menghina, dan mencela waktu karena sebab Allah sang pencipta, pengatur, dan penguasa waktu. Hendaklah beriman kepada qadha dan qadar-Nya, baik ataupun buruk, manis ataupun pahit, dan senang maupun dukanya.
“Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela masa atau waktu. Padahal Aku yang mengatur dan menetapkan waktu. Di tangan-Ku lah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang,” sebagaimana hadist tersebut.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.