Mengenal Penyakit Radang Usus & Bahaya Komplikasinya
30 June 2024 |
09:48 WIB
Temuan terkait peningkatan kasus Inflammatory Bowel Disease (IBD), atau radang usus, kian memprihatinkan. Sebuah penelitian karya M. Ellen Kuenzig dkk yang dipublikasikan dalam American Gastroenterology Association (AGA) mencatat angka kejadian radang usus meningkat secara internasional untuk usia di bawah 21 tahun.
Hasilnya, sebanyak 84% penelitian melalui 131 studi dari 48 negara melaporkan peningkatan prevalensi untuk kasus radang buntu didominasi Eropa Utara dan Amerika Utara. Sementara wilayah Eropa Selatan, Asia, dan Timur Tengah masih mencatat prevalensi yang tak terlalu tinggi.
Baca juga: Polusi Udara Bisa Mengancam Kesehatan Pencernaan, Kok Bisa?
Meski demikian, sosialisasi terkait penyakit radang usus buntu masih menjadi perhatian khusus di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sebab, penyakit berbahaya ini kerap dianggap sepele karena gejalanya yang mirip diare biasa.
Kepedulian terhadap penyakit radang usus di Indonesia juga masih rendah dan sering diabaikan. Padahal, pasien radang usus memiliki angka moralitas yang cukup besar, yakni 17,1 per 1.000 orang per tahun, sementara kelompok terkontrol terdata 12,3 per 1.000 orang per tahun.
Kurangnya kesadaran penyakit radang usus memerlukan perhatian khusus. Radang usus merupakan kelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada bagian usus kecil dan besar. Elemen sistem pencernaan tersebut diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo Marcellus Simadibrata menjelaskan, radang usus terjadi karena multifaktor yang melatarbelakanginya. Namun sebetulnya, penyebab pasti dari radang usus belum diketahui secara jelas.
Penyakit radang usus yang berkembang, menurut Marcellus, bisa makin parah apabila dibiarkan. Radang usus bisa berbuntut pada komplikasi mulai dari pembengkakan usus besar yang beracun lubang pada usus besar hingga dehidrasi berat. Risiko ini akan bergantung pada jenis radang usus yang juga bisa berakibat pada risiko kanker usus. Apabila didiamkan, risiko komplikasi seperti penggumpalan darah dan radang pada sendi bisa saja terjadi.
Marcellus menjelaskan, tiap pasien radang usus bisa memiliki keluhan yang berbeda-beda. Secara umum, keluhan pasien radang usus bisa berupa nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan.
Untuk menentukan tatalaksana yang tepat, dokter memerlukan pemeriksaan feses, darah, radiologi, hingga endoskopi saluran cerna, untuk selanjutnya ditentukkan apaka pasen dapat diobati dengan terapi obat atau tindakan operasi atau pembedahan.
Merabaknya radang usus di kalangan muda perlu diteliti lebih lanjut. Namun apabila melihat tren abad-21, gaya hidup dan pola makan ditengarai sebagai faktor pemicu yang berperan besar terhadap penyakit radang usus. Menurut Marcellus, menentukan diagnosa radang usus pun harus memperhatikan pada penilaian pola makan yang dikonfirmasi dari dokter spesialis gizi klinik.
“Kesalahan pada diet dan tingkat stress berlebih juga bisa memicu terjadinya radang usus,” katanya.
Terkait pola hidup, Dokter Spesialis Gizi Klinik Nathania S. Sutisna menyebutkan, nutrisi penderita radang usus merupakan perhatian yang tak boleh luput. Radang usus berkaitan dengan proses pencernaan yang bermula dari asupan makanan dan minuman.
Nathania menjelaskan, nutrisi merupakan salah satu sisi dari faktor risiko radang usus yang masih jarang diperhatikan. Stigma penyakit diare biasa membuat penyakit ini acap kali mengalami keterlambatan diagnosis.
“Beberapa faktor risiko radang usus (IBD) berasal dari sisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengkonsumsi ultra processed food dan bahan aditif makanan,” jelas Nathania.
Pernyataan tersebut didukung dengan laporan dari penelitian yang dilakukan Departemen Gastroenterologi dan Hepatologi, Rumah Sakit Universitas Leuven, Leuven, Belgia yang menemukan laporan bahwa jenis makanan UPF yang sarat pewarna, pengental, fosfat, dan bahan sejenisnya berkontribusi pada peningkatan kasus radang usus di negara-negara Barat.
Untuk menekan gejalanya, pasien radang usus memerlukan pola makan yang teratur dan sarat nutrisi. Pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dan protein yang lebih tinggi, utamanya saat radang usus mengalami penimbulan gejala. Konsumsi air dan memperhatian kesiembangan cairan juga perlu dilakukan dengan baik.
Sebab, Nathania menilai, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup, salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi yang sesuai.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Hasilnya, sebanyak 84% penelitian melalui 131 studi dari 48 negara melaporkan peningkatan prevalensi untuk kasus radang buntu didominasi Eropa Utara dan Amerika Utara. Sementara wilayah Eropa Selatan, Asia, dan Timur Tengah masih mencatat prevalensi yang tak terlalu tinggi.
Baca juga: Polusi Udara Bisa Mengancam Kesehatan Pencernaan, Kok Bisa?
Meski demikian, sosialisasi terkait penyakit radang usus buntu masih menjadi perhatian khusus di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sebab, penyakit berbahaya ini kerap dianggap sepele karena gejalanya yang mirip diare biasa.
Kepedulian terhadap penyakit radang usus di Indonesia juga masih rendah dan sering diabaikan. Padahal, pasien radang usus memiliki angka moralitas yang cukup besar, yakni 17,1 per 1.000 orang per tahun, sementara kelompok terkontrol terdata 12,3 per 1.000 orang per tahun.
Kurangnya kesadaran penyakit radang usus memerlukan perhatian khusus. Radang usus merupakan kelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada bagian usus kecil dan besar. Elemen sistem pencernaan tersebut diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo Marcellus Simadibrata menjelaskan, radang usus terjadi karena multifaktor yang melatarbelakanginya. Namun sebetulnya, penyebab pasti dari radang usus belum diketahui secara jelas.
Penyakit radang usus yang berkembang, menurut Marcellus, bisa makin parah apabila dibiarkan. Radang usus bisa berbuntut pada komplikasi mulai dari pembengkakan usus besar yang beracun lubang pada usus besar hingga dehidrasi berat. Risiko ini akan bergantung pada jenis radang usus yang juga bisa berakibat pada risiko kanker usus. Apabila didiamkan, risiko komplikasi seperti penggumpalan darah dan radang pada sendi bisa saja terjadi.
Marcellus menjelaskan, tiap pasien radang usus bisa memiliki keluhan yang berbeda-beda. Secara umum, keluhan pasien radang usus bisa berupa nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan.
Untuk menentukan tatalaksana yang tepat, dokter memerlukan pemeriksaan feses, darah, radiologi, hingga endoskopi saluran cerna, untuk selanjutnya ditentukkan apaka pasen dapat diobati dengan terapi obat atau tindakan operasi atau pembedahan.
Kaitan Gizi & Radang Usus
Ilustrasi radang usus (Sumber gambar: Polina Zimmerman/Pexels)
Merabaknya radang usus di kalangan muda perlu diteliti lebih lanjut. Namun apabila melihat tren abad-21, gaya hidup dan pola makan ditengarai sebagai faktor pemicu yang berperan besar terhadap penyakit radang usus. Menurut Marcellus, menentukan diagnosa radang usus pun harus memperhatikan pada penilaian pola makan yang dikonfirmasi dari dokter spesialis gizi klinik.
“Kesalahan pada diet dan tingkat stress berlebih juga bisa memicu terjadinya radang usus,” katanya.
Terkait pola hidup, Dokter Spesialis Gizi Klinik Nathania S. Sutisna menyebutkan, nutrisi penderita radang usus merupakan perhatian yang tak boleh luput. Radang usus berkaitan dengan proses pencernaan yang bermula dari asupan makanan dan minuman.
Nathania menjelaskan, nutrisi merupakan salah satu sisi dari faktor risiko radang usus yang masih jarang diperhatikan. Stigma penyakit diare biasa membuat penyakit ini acap kali mengalami keterlambatan diagnosis.
“Beberapa faktor risiko radang usus (IBD) berasal dari sisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengkonsumsi ultra processed food dan bahan aditif makanan,” jelas Nathania.
Pernyataan tersebut didukung dengan laporan dari penelitian yang dilakukan Departemen Gastroenterologi dan Hepatologi, Rumah Sakit Universitas Leuven, Leuven, Belgia yang menemukan laporan bahwa jenis makanan UPF yang sarat pewarna, pengental, fosfat, dan bahan sejenisnya berkontribusi pada peningkatan kasus radang usus di negara-negara Barat.
Untuk menekan gejalanya, pasien radang usus memerlukan pola makan yang teratur dan sarat nutrisi. Pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dan protein yang lebih tinggi, utamanya saat radang usus mengalami penimbulan gejala. Konsumsi air dan memperhatian kesiembangan cairan juga perlu dilakukan dengan baik.
Sebab, Nathania menilai, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup, salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi yang sesuai.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.