Dibawa Laksamana Cheng Ho, Simak Asal Usul Bedug yang Dipakai Saat Takbiran
09 April 2024 |
16:23 WIB
Tradisi menyambut Hari Raya Idulfitri di Indonesia begitu beragam. Salah satu yang tidak pernah absen pada malam sebelum Lebaran yakni rampak bedug atau menabuh bedug secara bersamaan secara serempak, seraya melantunkan pujian kepada Allah SWT dengan menyerukan takbir.
Pertunjukan kesenian yang mengandung motivasi religi ini selalu mengundang masyarakat untuk menyaksikannya. Acap kali bedug ditempatkan sejajar dan ditabuh serempak hingga mengeluarkan nada yang indah.
Kendati demikian, bedug pada malam takbiran juga bisa dimainkan tunggal. Namun yang pasti, sepanjang malam hingga tiba waktu Idulfitri di pagi hari, suara bedug dan lantunan takbir terus berkumandang.
Baca juga: Asal Mula & Sejarah Halalbihalal, Tradisi Idulfitri Khas Indonesia
Bedug memang tidak lepas dari tradisi, terutama umat muslim Indonesia. Setidaknya setiap musalah atau masjid memiliki satu bedug. Jika adzan merupakan panggilan salat, bedug merupakan penanda tibanya waktu salat.
Sejatinya bedug bukan berasal dari Indonesia lho Genhype. Mengutip NU Online, bedug bagian dari jejak pengaruh Tiongkok di kebudayaan Muslim Jawa. Pembawanya adalah Laksamana Muhammad Chengho saat pelesir politik di Majapahit.
Dikatakan laman website Museum Musantara, Cheng-Ho beserta pasukannya datang ke Jawa tepatnya di Semarang sebagai utusan dari maharaja Ming. Pengenalan bedug ternyata secara tidak sengaja. Kala itu, dia mengatur pasukannya untuk berbaris menggunakan bunyi bedug.
Setelah urusannya di Indonesia selesai dan hendak kembali ke China, Cheng-Ho berinisiatif untuk memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasihnya kepada raja Semarang saat itu. Namun, sang raja menolak untuk diberikan hadiah dan lebih memilih untuk mengajukan satu permintaan.
Raja Semarang ternyata ingin mendengarkan suara bedug yang dimainkan dari masjid. Utusan dari China itu pun mengabulkannya. Sejak itu, bedug menjadi bagian dari masjid dan alat ritual keagamaan hingga saat ini.
Mengutip Historia, bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisongo sekitar abad 15 dan 16. Bedug yang ditempatkan di masjid memiliki fungsi untuk mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu.
Bedug biasanya diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang ditaruh di pendopo kecil, terpisah dari masjid. Denis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2 mengatakan pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa, serta hari raya. Kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara.
Belakangan, faktanya tidak setiap umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid. Beberapa kelompok seperti Muhammadiyah menganggap bedug merupakan bid’ah atau perbuatan yang bertolak belakang dengan sunnah. Namun masih banyak kelompok muslim yang melestarikan tradisi memukul bedug.
Selain sebagai penanda tibanya waktu salat dan menyambut Ramdan serta Hari Raya, bedug merupakan alat komunikasi jarak jauh pada zaman dahulu. Bedug ditabuh untuk memberi informasi mengenai jam, ataupun memberi tahu akan adanya bahaya.
Fungsi lainnya yakni sebagai pengobar semangat ketika dalam peperangan. Suaranya yang rendah namun menggelegar ini cocok untuk dijadikan sebagai pemompa semangat prajurit dalam peperangan.
Melansir dari Museum Nusantara, bedug terbuat dari batang pohon dan kulit hewan. Batang pohon yang dipakai tentu berukuran besar dan biasanya menggunakan pohon enau dengan panjang sekitar satu meter atau lebih. Batang pohon ini dilubangi tengahnya sehingga berbentuk tabung.
Adapun kulit hewan dipakai untuk menutup salah satu sisi pada lubang terebut. Kulit hewan yang dipakai biasanya menggunakan kulit kambing, sapi, kerbau, maupun banteng. Kulit hewan ini dibersihkan dari bulu dan darah, lalu dikeringkan dengan cara dijemur untuk menghasilkan suara yang bagus dan nyaring.
Baca juga : Mengenal Asal-usul Mudik dan Tradisi Pulang Kampung saat Lebaran
Editor: Puput Ady Sukarno
Pertunjukan kesenian yang mengandung motivasi religi ini selalu mengundang masyarakat untuk menyaksikannya. Acap kali bedug ditempatkan sejajar dan ditabuh serempak hingga mengeluarkan nada yang indah.
Kendati demikian, bedug pada malam takbiran juga bisa dimainkan tunggal. Namun yang pasti, sepanjang malam hingga tiba waktu Idulfitri di pagi hari, suara bedug dan lantunan takbir terus berkumandang.
Baca juga: Asal Mula & Sejarah Halalbihalal, Tradisi Idulfitri Khas Indonesia
Bedug memang tidak lepas dari tradisi, terutama umat muslim Indonesia. Setidaknya setiap musalah atau masjid memiliki satu bedug. Jika adzan merupakan panggilan salat, bedug merupakan penanda tibanya waktu salat.
Sejarah Bedug di Tanah Air
Sejatinya bedug bukan berasal dari Indonesia lho Genhype. Mengutip NU Online, bedug bagian dari jejak pengaruh Tiongkok di kebudayaan Muslim Jawa. Pembawanya adalah Laksamana Muhammad Chengho saat pelesir politik di Majapahit.
Dikatakan laman website Museum Musantara, Cheng-Ho beserta pasukannya datang ke Jawa tepatnya di Semarang sebagai utusan dari maharaja Ming. Pengenalan bedug ternyata secara tidak sengaja. Kala itu, dia mengatur pasukannya untuk berbaris menggunakan bunyi bedug.
Setelah urusannya di Indonesia selesai dan hendak kembali ke China, Cheng-Ho berinisiatif untuk memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasihnya kepada raja Semarang saat itu. Namun, sang raja menolak untuk diberikan hadiah dan lebih memilih untuk mengajukan satu permintaan.
Raja Semarang ternyata ingin mendengarkan suara bedug yang dimainkan dari masjid. Utusan dari China itu pun mengabulkannya. Sejak itu, bedug menjadi bagian dari masjid dan alat ritual keagamaan hingga saat ini.
Mengutip Historia, bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisongo sekitar abad 15 dan 16. Bedug yang ditempatkan di masjid memiliki fungsi untuk mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu.
Bedug biasanya diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang ditaruh di pendopo kecil, terpisah dari masjid. Denis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2 mengatakan pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa, serta hari raya. Kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara.
Belakangan, faktanya tidak setiap umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid. Beberapa kelompok seperti Muhammadiyah menganggap bedug merupakan bid’ah atau perbuatan yang bertolak belakang dengan sunnah. Namun masih banyak kelompok muslim yang melestarikan tradisi memukul bedug.
Fungsi Bedug
Selain sebagai penanda tibanya waktu salat dan menyambut Ramdan serta Hari Raya, bedug merupakan alat komunikasi jarak jauh pada zaman dahulu. Bedug ditabuh untuk memberi informasi mengenai jam, ataupun memberi tahu akan adanya bahaya.
Fungsi lainnya yakni sebagai pengobar semangat ketika dalam peperangan. Suaranya yang rendah namun menggelegar ini cocok untuk dijadikan sebagai pemompa semangat prajurit dalam peperangan.
Bahan Pembuat Bedug
Melansir dari Museum Nusantara, bedug terbuat dari batang pohon dan kulit hewan. Batang pohon yang dipakai tentu berukuran besar dan biasanya menggunakan pohon enau dengan panjang sekitar satu meter atau lebih. Batang pohon ini dilubangi tengahnya sehingga berbentuk tabung.
Adapun kulit hewan dipakai untuk menutup salah satu sisi pada lubang terebut. Kulit hewan yang dipakai biasanya menggunakan kulit kambing, sapi, kerbau, maupun banteng. Kulit hewan ini dibersihkan dari bulu dan darah, lalu dikeringkan dengan cara dijemur untuk menghasilkan suara yang bagus dan nyaring.
Baca juga : Mengenal Asal-usul Mudik dan Tradisi Pulang Kampung saat Lebaran
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.