Survei: 25% Masyarakat Indonesia Pernah Menggunakan Vape, Tertinggi di Dunia
16 January 2024 |
10:00 WIB
Baru-baru ini, pemerintah menata regulasi rokok elektrik dengan cara meningkatkan pajak yang berlaku per 1 Januari 2024. Pajak rokok elektrik ditetapkan dengan besaran 10 persen hingga 15 persen. Sebesar 37,5 persen penerimaan pajak rokok elektrik ini nantinya akan dikontribusikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
Tak hanya berfokus pada pendapatan negara saja, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI juga mendorong langkah preventif untuk meredam tren penggunaan rokok elektrik.
Baca juga: Peringatan WHO soal Bahaya Laten di Balik Candu Vape Anak-anak Muda
Dalam Paparan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyoroti prevalensi penggunaan rokok elektrik yang kian naik, khususnya untuk kasus pada remaja.
Di Indonesia, prevalensi pengguna rokok elektrik berada pada kisaran 0,3 persen pada 2011. Kemudian naik menjadi 1,2 persen pada 2016, dan kembali tercatat meroket mencapai 10,9 persen per 2018 lalu.
Survei Statista Consumer Insights periode Januari-Maret 2023 memaparkan, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang memimpin pengguna rokok elektrik di dunia. Setidaknya sebanyak 25 persen masyarakat Indonesia pernah menggunakan rokok elektrik minimal 1 kali. Hasil survei tersebut menempatkan Indonesia sebagai pengguna vape terbanyak, mengalahkan Swiss, Amerika Serikat, Inggris, hingga Kanada.
Data Global Adult Tobacco Survey 2021 pun menyebutkan 3 persen masyarakat Indonesia masih aktif menggunakan rokok elektrik. Agus menyebut, rokok elektrik kerap dipilih sebagai alternatif pengganti rokok konvensional. Padahal faktanya, rokok tetap memiliki kandungan nikotin sama seperti rokok tembakau.
“Uap rokok elektrik memang tidak mengandung karbon monoksida dan TAR. Namun, ada bahan karsinogen dan bahan toksik lain yang bersifat iritatif,” kata Agus.
Dalam paparannya, Agus menjabarkan jika rokok elektrik tidak memenuhi syarat sebagai nicotine replacement therapy untuk berhenti merokok. Sebab faktanya, banyak perokok yang justru menjadi dual user atau menggunakan rokok konvensional dan rokok elektrik dengan sifat komplementer.
Selain berisiko bagi kesehatan, laporan menyebutkan penggunaan rokok elektrik tidak mengalami penurunan dosis signifikan dibandingkan dengan rokok konvensional apabila tujuannya adalah membuat kebiasan merokok berhenti. Sebagian besar lainnya justru tetap menggunakan rokok elektrik meski telah lepas penggunaan rokok konvensional.
Adapun jenis karsinogen yang kerap dijumpai dalam rokok elektrik antara lain Nitrosamin, Aldehyde, Formaldehyde, Acrolein, dan Otoluidine. Jenis karsinogen ini bisa mendorong potensi toksisitas karena kandungan dalam cairan atau aerosol rokok elektrik yang bisa menyebabkan inflamasi pada paru-paru.
Dengan demikian, rokok elektrik dan rokok tembakau sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik yang bisa menyebabkan adiksi dan berbahaya untuk kesehatan.
Paru-paru merupakan organ yang memiliki kaitan paling dekat dan langsung dengan kebiasaan merokok. Laporan National Academies of Science, Engineering, and Medicine menyebutkan kaitan penggunaan rokok elektrik dengan penyakit paru.
Agus mengatakan, kandungan acrolein pada rokok elektrik dilaporkan bisa mendorong risiko acute lung injury, PPOK, asma, dan kanker paru. Belum lagi dengan kandungan bahan kimia toksik lainnya yang bisa memperbesar risiko penyakit bronchitis, asma, hingga pneumonia.
Dia juga menjelaskan, Indonesia pernah menerima laporan kasus remaja dengan keluhan sesak napas dan batuk selama 3 pekan. Pasien tersebut memiliki riwayat penggunaan rokok elektrik dalam 3 bulan terakhir tanpa memiliki riwayat asma sebelumnya.
Pasien kemudian didiagnosis mengalami peradangan paru atau pneumonia. Pada pasien dengan riwayat asma dan PPOK, penelitian Bhatta DN memberi kesimpulan bahwa rokok elektrik meningkatkan risiko penyakit asma, bronkitis kronik, hingga PPOK sekitar 30 persen lebih besar jika dibandingkan yang tidak merokok.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tak hanya berfokus pada pendapatan negara saja, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI juga mendorong langkah preventif untuk meredam tren penggunaan rokok elektrik.
Baca juga: Peringatan WHO soal Bahaya Laten di Balik Candu Vape Anak-anak Muda
Dalam Paparan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyoroti prevalensi penggunaan rokok elektrik yang kian naik, khususnya untuk kasus pada remaja.
Di Indonesia, prevalensi pengguna rokok elektrik berada pada kisaran 0,3 persen pada 2011. Kemudian naik menjadi 1,2 persen pada 2016, dan kembali tercatat meroket mencapai 10,9 persen per 2018 lalu.
Survei Statista Consumer Insights periode Januari-Maret 2023 memaparkan, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang memimpin pengguna rokok elektrik di dunia. Setidaknya sebanyak 25 persen masyarakat Indonesia pernah menggunakan rokok elektrik minimal 1 kali. Hasil survei tersebut menempatkan Indonesia sebagai pengguna vape terbanyak, mengalahkan Swiss, Amerika Serikat, Inggris, hingga Kanada.
Data Global Adult Tobacco Survey 2021 pun menyebutkan 3 persen masyarakat Indonesia masih aktif menggunakan rokok elektrik. Agus menyebut, rokok elektrik kerap dipilih sebagai alternatif pengganti rokok konvensional. Padahal faktanya, rokok tetap memiliki kandungan nikotin sama seperti rokok tembakau.
“Uap rokok elektrik memang tidak mengandung karbon monoksida dan TAR. Namun, ada bahan karsinogen dan bahan toksik lain yang bersifat iritatif,” kata Agus.
Dalam paparannya, Agus menjabarkan jika rokok elektrik tidak memenuhi syarat sebagai nicotine replacement therapy untuk berhenti merokok. Sebab faktanya, banyak perokok yang justru menjadi dual user atau menggunakan rokok konvensional dan rokok elektrik dengan sifat komplementer.
Selain berisiko bagi kesehatan, laporan menyebutkan penggunaan rokok elektrik tidak mengalami penurunan dosis signifikan dibandingkan dengan rokok konvensional apabila tujuannya adalah membuat kebiasan merokok berhenti. Sebagian besar lainnya justru tetap menggunakan rokok elektrik meski telah lepas penggunaan rokok konvensional.
Adapun jenis karsinogen yang kerap dijumpai dalam rokok elektrik antara lain Nitrosamin, Aldehyde, Formaldehyde, Acrolein, dan Otoluidine. Jenis karsinogen ini bisa mendorong potensi toksisitas karena kandungan dalam cairan atau aerosol rokok elektrik yang bisa menyebabkan inflamasi pada paru-paru.
Dengan demikian, rokok elektrik dan rokok tembakau sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik yang bisa menyebabkan adiksi dan berbahaya untuk kesehatan.
Risiko Kesehatan
Ilustrasi rokok elektrik (Sumber gambar: Olena Bohovyk/Pexels)
Agus mengatakan, kandungan acrolein pada rokok elektrik dilaporkan bisa mendorong risiko acute lung injury, PPOK, asma, dan kanker paru. Belum lagi dengan kandungan bahan kimia toksik lainnya yang bisa memperbesar risiko penyakit bronchitis, asma, hingga pneumonia.
Dia juga menjelaskan, Indonesia pernah menerima laporan kasus remaja dengan keluhan sesak napas dan batuk selama 3 pekan. Pasien tersebut memiliki riwayat penggunaan rokok elektrik dalam 3 bulan terakhir tanpa memiliki riwayat asma sebelumnya.
Pasien kemudian didiagnosis mengalami peradangan paru atau pneumonia. Pada pasien dengan riwayat asma dan PPOK, penelitian Bhatta DN memberi kesimpulan bahwa rokok elektrik meningkatkan risiko penyakit asma, bronkitis kronik, hingga PPOK sekitar 30 persen lebih besar jika dibandingkan yang tidak merokok.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.