Masalah Kesehatan Mental di Masa Pandemi Cukup Mengkhawatirkan
13 August 2021 |
19:00 WIB
Selama masa pandemi, tidak sedikit orang yang mulai mengalami depresi dan kesepian hingga berniat untuk bunuh diri. Hal ini sejalan dengan survei kesehatan mental yang dilakukan Into The Light dan change.org terhadap 5.211 reseponden.
Dari hasil survei tersebut ditemukan sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian Liem, peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light.
Andrian mengatakan di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan. Menurutnya, ketika seseorang merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan sekitar.
“Jika tidak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan,” tuturnya.
Walau tidak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien.
“Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. Selain itu pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini,” kata dr. Jiemi.
Saat ini, sebagain besar yang mengakses layakan kesehatan ialah mereka yang sudah memiliki keluhan berat. Pasalnya, seseorang baru akan mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa ketika gejala yang dialaminya sudah benar-benar berat.
“Ini terjadi karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Dari hasil survei tersebut ditemukan sekitar 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.
Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian Liem, peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light.
Andrian mengatakan di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan. Menurutnya, ketika seseorang merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan sekitar.
“Jika tidak yakin apakah Puskesmas terdekat dari tempat tinggal kamu menyediakan layanan kesehatan jiwa, datangi langsung dan tanyakan,” tuturnya.
Walau tidak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien.
“Jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. Selain itu pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini,” kata dr. Jiemi.
Saat ini, sebagain besar yang mengakses layakan kesehatan ialah mereka yang sudah memiliki keluhan berat. Pasalnya, seseorang baru akan mencari pertolongan kepada profesional kesehatan jiwa ketika gejala yang dialaminya sudah benar-benar berat.
“Ini terjadi karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.