Sutradra dan aktris Ratna Asmara dalam peran sebagai Ratna Moetoe Manikam. (Sumber foto: Poestaka Timoer/Wikimedia Commons)

Hypereport: Pahlawan Industri Perfilman, Ratna Asmara hingga Misbach Yusa Biran

13 November 2023   |   20:27 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Industri perfilman Indonesia terus menunjukkan tajinya. Meski sempat lesu akibat pandemi Covid-19, industri perfilman nasional kini terus mengalami pertumbuhan. Menurut data dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), jumlah penonton film Indonesia pada tahun 2022 mencapai 55 juta penonton.

Angka tersebut melebihi pencapaian jumlah penonton sebelum pandemi atau tepatnya pada 2019 yang mencatatkan sebanyak 52 juta penonton. Jika menggunakan rata-rata harga tiket Rp40.000, jumlah pendapatan dari penjualan tiket film Indonesia di bioskop pada 2022 mencapai Rp2,2 triliun.

Baca juga: 
1. 
Hypereport: Kata Mereka tentang Kepahlawanan di Seni Rupa Indonesia

2. Hypereport: Musik dan Perjuangan Para Pahlawan yang Tak Pernah Selesai
3. Hypereport: Desainer Muda Ikuti Jejak Para Tokoh Mode Nasional, dari Albert Yanuar sampai Rama Dauhan


Selain itu, masih pada tahun yang sama, nilai market share atau pangsa pasar film Indonesia mencapai 61%, di mana angka tersebut tidak pernah tercatat dalam pencapaian industri sinema sebelumnya. Di sisi lain, nilai pendapatan langganan video on demand di Indonesia mencapai US$411 juta pada 2021.

Sementara dari sisi kualitas, industri perfilman nasional juga kian menunjukkan dinamika positif, dimana hal tersebut tampak dari beragamnya tema, genre, cara bertutur, hingga kritik film yang berkembang di berbagai platform.
 


Sutradara Garin Nugroho menilai kondisi tersebut terjadi berkat beberapa hal seperti misalnya pengolahan teknologi film. Menurutnya, generasi para filmmaker saat ini mengalami percepatan dalam mengolah teknologi film, sehingga menimbulkan standarisasi perfilman global.

Begitupun dengan cara bertutur (storytelling) mereka dalam membuat film, yang cenderung beragam satu dengan yang lainnya. Hal itu kian diperkuat dengan arus penonton Indonesia yang sudah apresiatif terhadap ragam produk film yang ada.

"Dengan demikian, batas-batas antara seni, hiburan, pencapaian teknologi dan industri sudah lebur menjadi satu. Itu adalah pertanda dinamika film Indonesia yang makin dewasa," katanya.

Sutradara Yosep Anggi Noen sepakat jika saat ini percakapan mengenai film di ruang-ruang media sosial kian masif di kalangan penikmat film Tanah Air, di samping pertumbuhan yang terjadi dari segi pendapatan. Hal itu, katanya, membuat masyarakat kini memiliki kepekaan apresiasi yang tinggi, sehingga sudah bisa memilih film-fillm mana yang berkualitas untuk ditonton.

Pria yang akrab disapa Anggi itu menuturkan kualitas film-film lokal juga sudah menunjukkan peningkatan, setidaknya hal itu tercermin dalam production value atau nilai-nilai produksi yang tampak pada hasil akhir di layar bioskop. Menurutnya, hal itu sejalan dengan tingkat apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap film yang kian terbuka dan variatif.

"Karena penonton itu terliterasi, maka ada demand untuk film-film itu juga punya kemampuan bersaing secara kualitas dan value, dengan film-film sebelumnya misalnya dari Hollywood," kata sutradara yang menggarap film The Science of Fiction ini.

Perkembangan film Indonesia tentu tak bisa dilepaskan dari jasa dan kontribusi besar para pendahulu, yang ingin memajukan industri sinema dalam negeri. Satu nama yang sering disebut-sebut ialah Usmar Ismail hingga didapuk sebagai Bapak Perfilman Nasional. Bahkan, pada 2021, Usmar Ismail resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.

Sutradara, penulis skenario, dan produser kelahiran Bukittinggi Sumatera Barat, 20 Maret 1921 itu dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan perkembangan film Indonesia. Salah satunya lewat karya film buatannya Darah dan Doa (1950), yang merupakan tonggak pembaharuan pembuatan film Indonesia.
 

Film Darah dan Doa (1950). (Sumber foto: Perfini)

Film Darah dan Doa (1950). (Sumber foto: Perfini)

Darah dan Doa dianggap sebagai film Indonesia pertama, dan kemudian hari pertama pengambilan gambarnya ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia. Usmar seolah menegaskan pembuatan film tidak tergantung pada soal komersial belaka, melainkan hasil karya seni yang bebas dan mencerminkan kepribadian nasional.

Di samping itu, film-film Usmar juga kerap mengangkat nilai-nilai nasionalisme seperti Enam Jam di Jogja (1961), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan masih banyak lagi. Kala itu, Usmar juga telah mencetak prestasi di kancah internasional, salah satunya mendapatkan penghargaan film komedi terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Hongkong pada 1956, berkat film Tamu Agung (1956).

Penulis sekaligus Kritikus Film JB Kristanto mengatakan bahwa ada satu garis besar yang membedakan film-film Usmar dengan yang lainnya pada masa itu yakni logika dalam bercerita. Menurutnya, Usmar menjadikan film sebagai medium dalam penyampaian gagasan atau pernyatan sikap, yang tidak terpikirkan oleh para pelaku film sebelum masanya, yang memiliki kecenderungan mengangkat cerita-cerita dongeng atau romansa.

“Usmar dalam sejarah film adalah memberi semacam batas yang menjadi pembeda pada film-film yang muncul baik sebelum maupun sesudahnya. Batas itulah yang membuat dia akhirnya menjadi tokoh dalam perfilman kita,” tutur pria yang karib disapa Kris itu.

Kendati demikian, Usmar Ismail tentu bukanlah satu-satunya tokoh yang memberikan sumbangsih besar pada industri perfilman Tanah Air. Banyak tokoh lain yang dianggap memberikan kontribusi dan spirit revolusioner, sehingga membuat sinema nasional terus berkembang. Gagasan dan karya-karya mereka di masa lampau turut membentuk identitas perfilman Indonesia masa kini.

Bagi Sutradara Makbul Mubarak, salah satu tokoh yang memiliki sumbangsih besar terhadap industri perfilman ialah Ratna Asmara. Menurutnya, Indonesia butuh sosok-sosok yang bisa mengingatkan kembali bahwa perempuan memiliki peran yang sangat sentral dalam industri perfilman Indonesia.

Sebab, menurutnya, porsi keterlibatan perempuan dalam dunia film nasional masih belum besar. Sebaliknya, dunia sinema dalam negeri masih didominasi oleh laki-laki. "Jangan sampai itu dianggap sebagai sesuatu yang default, bahwa film itu memang dari sananya kerjaan cowok," katanya.

 
Ratna Asmara. (Sumber foto: New Java Industrial Film/Wikimedia Commons)
Padahal, menurut sutradara berusia 33 tahun itu, sejak tahun 1940-an, perempuan sudah mengambil peran sentral dalam perkembangan industri film, salah satunya seperti apa yang telah ditorehkan oleh Ratna Asmara. "Perlu kita kembali dan memberikan highlight pada sosok-sosok itu," ucapnya.

Ratna Asmara ialah aktris sekaligus sutradara kelahiran 1913. Namanya disebut sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia. Ketika itu, kehadiran Ratna Asmara sebagai sutradara menjadi dobrakan yang penting, di tengah dunia perfilman yang sangat maskulin. Sejak itu, ruang perempuan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya lewat film mulai terbuka.

Sejak awal periode kemerdekaan pada 1950-an, Ratna telah menyutradarai beberapa film diantaranya Sedap Malam (1950), Musim Bunga di Selabintana (1951), Dokter Samsi (1952), Nelajan (1953) serta, Dewi dan Pemilihan Umum (1954). Sayangnya, karya-karya Ratna tidak terarsip dengan baik, sehingga sulit ditemukan. Satu-satunya film karya yang kemudian dapat diselamatkan dikenal dengan judul Dokter Samsi.

Makbul menilai, berkaca dengan spirit dari sosok Ratna Asmara, sudah saatnya Indonesia harus mendorong peran perempuan lebih besar lagi dalam industri perfilman.

Hal itu misalnya bisa diupayakan dengan menyusun regulasi kerja perfilman yang lebih ramah perempuan, termasuk memberikan insentif kepada proyek film yang merekrut banyak pekerja perempuan.

Lain halnya dengan sutradara Yosep Anggi Noen. Menurutnya, tokoh yang juga penting dalam berkontribusi untuk perkembangan industri perfilman ialah Misbach Yusa Biran. Ketekunan Misbach dalam membangun Sinematek Indonesia, lembaga arsip film pertama di Asia Timur, kata Anggi, adalah kontribusi sangat penting untuk kelangsungan sinema nasional. Lebih dari itu, untuk kebudayaan.

Sinematek Indonesia berdiri pada 1975. Lembaga pengarsipan film itu digagas Misbach dan dilaksanakan ketika Asrul Sani menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta)—sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta).

Di Sinematek, Misbach menyusun dokumentasi film Indonesia sejak mula, termasuk menemukan dan menyimpan film-film lama dari awal sejarah perfilman Indonesia era 1920-an. Kerja ini, di tengah kesadaran masyarakat yang umumnya tidak menganggap penting dokumentasi, tentu saja menempuh jalan terjal. Namun, Misbach tetap idealis bekerja untuk mewujudkan suatu ide, sekalipun itu tidak mendapat perhatian dari masyarakat sehingga hidupnya sendiri kapiran.
 

Buku sejarah sinema Indonesia tulisan Misbach Yusa Biran. (Sumber foto: Komunitas Bambu/Jakarta Arts Council)

Buku sejarah sinema Indonesia tulisan Misbach Yusa Biran. (Sumber foto: Komunitas Bambu/Jakarta Arts Council)

Menurut Anggi, salah satu strategi dalam upaya pemajuan perfilman nasional tak boleh luput memasukkan kerja pengarsipan. Dokumentasi tersebut mencakup arsip film, visual, hingga catatan kepenontonan yang bersifat statistik. Lebih dari  sekumpulan catatan masa lampau, katanya, arsip adalah bagian dari pengkristalan gagasan-gagasan perfilman sejak dahulu.

"Saya kira sekarang kita gemar sekali membuat film, tapi kita malas mengarsipkan," katanya.

Sementara bagi produser Amrit Punjabi, sang ayah, Raam Punjabi, merupakan salah satu tokoh yang juga berkontribusi besar pada industri perfilman dan sinetron. Menurutnya, Raam Punjabi adalah sosok yang berani untuk menjadi pionir, melakukan gebrakan-gebrakan untuk memajukan industri perfilman dan sinetron. Di samping itu, sang ayah juga dinilai sebagai sosok yang tak mudah patah arang untuk terus berkarya di tengah industri film dan sinetron yang cenderung anomali.

Perjalanan Raam Punjabi menekuni industri film berawal pada 1967 sebagai importir film. Dia kemudian membuat film pertamanya, Mama (1972), yang disutradarai Wim Umboh. Sayangnya, kala itu, film tersebut tidak mendapatkan sambutan yang besar oleh penonton dalam negeri. Namun, Raam terus konsisten memproduksi karya sinema yang berkualitas kepada masyarakat.

Terbukti, pada 1980, ketika kondisi perfilman Indonesia sedang terpuruk, Raam malah mendulang sukses dengan membawa tren film komedi di Tanah Air, dengan menampilkan bintang komedi trio Warkop yakni Dono, Kasino, dan Indro. Begitupun pada akhir 1980 hingga awal 1990-an, saat industri sinema nasional benar-benar terpuruk, Raam dengan cepat beralih ke dunia sinetron yang kala itu masih terbilang baru.

Sejak saat itu, rumah produksinya, PT Tripar Multivision Plus (MVP), terus berkembang pesat. Di samping memproduksi film dan konten-konten tontonan lainnya, perusahaan itu juga berkecimpung di bidang distribusi film-film internasional, layanan streaming, hingga bioskop.

"Menurut saya, itu kontribusi yang besar untuk dunia perfilman dan pertelevisian Indonesia. Sampai sekarang, masih terasa semua kontribusinya dia. Dengan perkembangan apapun juga, dia masih bisa membuat MVP seperti sekarang ini," ujarnya.

Dipercaya sebagai pemegang tongkat estafet perusahaan, Amrit berupaya menjaga beberapa nilai penting yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh sang ayah. Pria lulusan Santa Monica College itu mengatakan satu hal utama yang harus dijaganya adalah soliditas tim di lingkungan perusahaan sebagai sebuah keluarga.

Selain itu, dia bersama MVP Pictures juga berupaya untuk selalu menjadi pionir dalam melahirkan talenta-talenta dan bintang-bintang film baru di industri sinema nasional, seperti yang dilakukan oleh perusahaan selama lima dekade terakhir.

"Kita tidak pernah memilih pemain film karena followers-nya banyak, tetapi benar-benar mencari kualitas yang terbaik. Hal lain yang juga penting juga itu terus berinovasi, dan memberikan gebrakan untuk kemajuan industri perfilman," tuturnya.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

10 Promo Harbolnas 11.11 dari Hokben Sampai Wingstop, Masih Berlaku Hingga Hari Ini

BERIKUTNYA

7 Promo Harbolnas 11.11 Minuman Kekinian, Cek yang Masih Berlaku sampai 12 November

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: