Epidemiolog Sebut Indonesia Berpotensi Terjangkit Wabah Virus Nipah, Ini Faktornya
18 September 2023 |
17:42 WIB
Dua orang warga Kerala, negara bagian di India Selatan diketahui meninggal dunia mendadak yang diduga karena terinfeksi virus Nipah. Selain dua orang tersebut, terdapat ribuan orang lainnya yang masuk dalam daftar kontak orang yang terinfeksi, hingga pemerintah setempat melakukan lockdown di Kota Kozhikode. Lantas bagaimana potensinya di Indonesia?
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan Indonesia menjadi salah satu negara yang punya potensi mengalami masalah dengan virus Nipah. Pasalnya, negara ini berbatasan langsung dengan Malaysia yang menjadi lokasi pertama kali diidentifikasinya virus mematikan tersebut.
Baca juga: Sederet Fakta Virus Nipah, Penyakit yang Mewabah di Kerala, India
Virus Nipah diketahui pertama kali diidentifikasi dan menjadi wabah pada 1998-1999 di Malaysia. Nama virus ini sendiri diambil dari nama desa Kampung Sungai Nipah di Malaysia, tempat para peternak babi tertular penyakit tersebut. Hampir 300 orang terinfeksi dan lebih dari 100 orang meninggal dunia. Lebih dari satu juta babi disuntik mati untuk menghentikan penyebarannya.
“Indonesia punya potensi ini (wabah virus Nipah). Malaysia alamnya tidak berbeda, kelelawar buahnya sama ada di Indonesia, banyak bahkan,” ujarnya Dicky kepada Hypeabis.id, Senin (18/09/2023).
Selain berbatasan langsung dengan Malaysia, Indonesia masuk ke dalam zona merah untuk penyakit baru atau yang berasal dari hewan (zoonotik) karena alam Indonesia yang begitu besar. Belum lagi kehidupan masyarakat dan wilayah berbatasan alam liar belum tertata baik, begitu pula dengan peternakan di perkotaan.
Potensi semakin menguat lantaran mitigasi Indonesia terhadap penyakit masih terbilang lemah, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang deteksinya jauh lebih baik. “Kita selalu memiliki masalah mendasar dalam konteks deteksi. Mitigasi, untuk semua zoonotik desease harus didekati One Health,” tutur Dicky.
Program kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan memang diperlukan. Pasalnya menurut Dicky, ada pergeseran mengenai pola zoonotik, penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya.
Dia menyampaikan virus zoonosis setidaknya muncul dalam 20 tahun sekali. Namun belakangan, dalam 5 tahun sekali, dunia menemukan penyakit baru. Kecenderungannya era ke depan lebih sering, 3-4 tahun sekali akan ada penyakit baru. “Belum lagi penyakit yang sudah ada tapi belum mewabah seperti Zika. Perubahan perilaku, cara hidup, penguatan surveilans, sistem kesehatan penting,” tegasnya.
Sementara itu, Dicky berpendapat ancaman Nipah virus menjadi epidemi pasti ada. Sudah diidentifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa 8 dari 10 penyakit atau virus berpotensi menjadi epidemi.
Kendati demikian, secara umum, epidemi virus-virus tersebut tidak sebesar Covid-19, SARS, atau MERS. “Karena Nipah virus belum ada vaksin, belum ada obat efektif, dan kematiannya 70 kali lebih tinggi daripada Covid-19, namun dalam aspek penularan tidak semudah Covid. Tapi potensi jadi endemik di satu wilayah, KLB terus berulang, epidemi di wilayah bisa, tapi pandemi sebesar Covid-19 tidak,” jelas Dicky.
Adapun penularan virus Nipah melalui cairan atau makanan yang sudah terpapar virus baik dari kencing kelelawar maupun kotorannya. Menurut WHO, antara 2001 dan 2008, sekitar setengah dari kasus yang dilaporkan di Bangladesh disebabkan oleh penularan dari manusia ke manusia akibat pekerja yang memberikan perawatan kepada pasien yang terinfeksi.
Baca juga: 5 Fakta Echovirus 11, Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir di Eropa
Editor: Puput Ady Sukarno
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan Indonesia menjadi salah satu negara yang punya potensi mengalami masalah dengan virus Nipah. Pasalnya, negara ini berbatasan langsung dengan Malaysia yang menjadi lokasi pertama kali diidentifikasinya virus mematikan tersebut.
Baca juga: Sederet Fakta Virus Nipah, Penyakit yang Mewabah di Kerala, India
Virus Nipah diketahui pertama kali diidentifikasi dan menjadi wabah pada 1998-1999 di Malaysia. Nama virus ini sendiri diambil dari nama desa Kampung Sungai Nipah di Malaysia, tempat para peternak babi tertular penyakit tersebut. Hampir 300 orang terinfeksi dan lebih dari 100 orang meninggal dunia. Lebih dari satu juta babi disuntik mati untuk menghentikan penyebarannya.
“Indonesia punya potensi ini (wabah virus Nipah). Malaysia alamnya tidak berbeda, kelelawar buahnya sama ada di Indonesia, banyak bahkan,” ujarnya Dicky kepada Hypeabis.id, Senin (18/09/2023).
Selain berbatasan langsung dengan Malaysia, Indonesia masuk ke dalam zona merah untuk penyakit baru atau yang berasal dari hewan (zoonotik) karena alam Indonesia yang begitu besar. Belum lagi kehidupan masyarakat dan wilayah berbatasan alam liar belum tertata baik, begitu pula dengan peternakan di perkotaan.
Potensi semakin menguat lantaran mitigasi Indonesia terhadap penyakit masih terbilang lemah, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang deteksinya jauh lebih baik. “Kita selalu memiliki masalah mendasar dalam konteks deteksi. Mitigasi, untuk semua zoonotik desease harus didekati One Health,” tutur Dicky.
Program kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan memang diperlukan. Pasalnya menurut Dicky, ada pergeseran mengenai pola zoonotik, penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya.
Dia menyampaikan virus zoonosis setidaknya muncul dalam 20 tahun sekali. Namun belakangan, dalam 5 tahun sekali, dunia menemukan penyakit baru. Kecenderungannya era ke depan lebih sering, 3-4 tahun sekali akan ada penyakit baru. “Belum lagi penyakit yang sudah ada tapi belum mewabah seperti Zika. Perubahan perilaku, cara hidup, penguatan surveilans, sistem kesehatan penting,” tegasnya.
Sementara itu, Dicky berpendapat ancaman Nipah virus menjadi epidemi pasti ada. Sudah diidentifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa 8 dari 10 penyakit atau virus berpotensi menjadi epidemi.
Kendati demikian, secara umum, epidemi virus-virus tersebut tidak sebesar Covid-19, SARS, atau MERS. “Karena Nipah virus belum ada vaksin, belum ada obat efektif, dan kematiannya 70 kali lebih tinggi daripada Covid-19, namun dalam aspek penularan tidak semudah Covid. Tapi potensi jadi endemik di satu wilayah, KLB terus berulang, epidemi di wilayah bisa, tapi pandemi sebesar Covid-19 tidak,” jelas Dicky.
Adapun penularan virus Nipah melalui cairan atau makanan yang sudah terpapar virus baik dari kencing kelelawar maupun kotorannya. Menurut WHO, antara 2001 dan 2008, sekitar setengah dari kasus yang dilaporkan di Bangladesh disebabkan oleh penularan dari manusia ke manusia akibat pekerja yang memberikan perawatan kepada pasien yang terinfeksi.
Baca juga: 5 Fakta Echovirus 11, Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir di Eropa
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.