Bisnis Street Food Pun Butuh Tata Kelola Ruang Jualan hingga Limbah Dapur
30 August 2023 |
06:00 WIB
Bicara soal kuliner kaki lima alias street food, bisnis yang digelar di pinggir jalan ini terbilang tak ada matinya. Bahkan sebagian masyarakat sengaja berwisata kuliner yang identik dengan gerobakan tersebut untuk sekadar mengisi perut atau membuat ulasan dan rekomendasi tempat makan yang enak dengan harga terjangkau.
Apalagi di Ibu Kota Jakarta, ada banyak area street food terkenal yang penuh dengan puluhan pedagang yang menjajakan ragam makanan andalannya. Menu yang praktis, mudah ditemukan, dan harga yang ramah di kantong mendorong geliat bisnis usaha kuliner kaki lima makin potensial.
Baca juga: Strategi Tiga Pelaku Usaha Jadikan Kuliner Tradisional Naik Kelas
Apalagi kuliner turut menopang terhadap nilai ekonomi kreatif yang kian bertumbuh setiap tahunnya. Kuliner masuk dalam tiga besar subsektor yang paling berkontribusi di samping fesyen dan kerajinan tangan (kriya).
Data BPS mencatat PDB untuk industri makanan dan minuman pada 2022 bertumbuh 4,8 persen dibandingkan dengan 2021. Geliat ini juga didorong oleh sumbangan subsektor kuliner sebanyak 42 persen dari keseluruhan subsektor ekonom kreatif.
Direktur Manajemen Industri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Syaifullah mengatakan besarnya pangsa kuliner ini turut didorong oleh banjirnya bisnis makanan dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Di antara UMKM yang paling banyak dan dominan itu dari kuliner. Kalau kita mengadakan pelatihan pun hampir 80 persen dihadiri oleh UMKM kuliner,” kata Syaifullah.
Dengan ceruk yang masih lebar, kuliner masih menjadi salah satu subsektor yang paling potensial berkontribusi terhadap ekonomi kreatif. Ini juga mendorong pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang terbilang signifikan.
Data Kemenparekraf menyebut sekitar 34 persen tenaga kerja terserap dari subsektor kuliner, menjadi yang paling tinggi dan membawahi angka penyerapan tenaga kerja subsektor fesyen dan kriya. “Penyerapan tenaga kerja di UMKM kuliner itu jauh lebih besar. Industri ini juga tumbuh didukung dengan tren viral di media sosial,” jelas Syaifullah.
Pemerintah memiliki sejumlah tantangan dan hambatan dalam pengawasan kuliner kaki lima. Semrawutnya sistem tata kelola industri kaki lima masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang memerlukan dukungan dan kerja sama dari beberapa pihak. Dia menyebut bahwa pemerintah pun kesulitan dalam memberikan dukungan kepada UMKM kuliner karena sistem pedagang yang belum terdaftar.
“Dahulu kita punya Badan Insentif Pemerintah yang salah satu syarat pemberiannya adalah memiliki badan usaha dan nomor induk usaha (NIB). Tetapi biasanya kuliner pinggir jalan tidak punya NIB dan tidak terdaftar. Jadi, kami juga jadi susah dalam memberikan dukungan-dukungan,” ujarnya.
Syaifullah menjelaskan bahwa salah satu langkah yang tengah dikebut pemerintah adalah menciptakan kawasan jajanan yang tertata sehingga lebih terkontrol dan praktis dalam melakukan pengawasan. Dengan perkumpulan UMKM kuliner di pusat jajanan akan membuat pembinaan dari pemerintah kepada pedagang lebih mudah. Termasuk dalam hal standardisasi higienitas, kenyamanan pelanggan, dan pengaturan pengelolaan limbah dapur.
Sementara itu, Pengamat Kuliner Heri Priyatmoko berpendapat bahwa menjamurnya industri kuliner jalanan juga didorong oleh pergeseran minat kuliner yang lebih menyukai makanan yang praktis dan mudah ditemui yang sering terdapat di pinggir jalan. “Generasi masa kini merasa lebih asyik dengan konsep berburu kuliner pinggir jalan. Selain itu, suasana juga menjadi salah satu daya pikat yang sering menjadi nilai tambahnya, ” jelas Heri.
Sayangnya street food ini masih banyak sebagai sektor informal sehingga belum dapat diatur dengan optimal. Untuk meregulasi kuliner kaki lima, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah aturan pembatasan jam buka. Heri menyebut, aturan jam ini tak hanya berfungsi untuk memberi regulasi, melainkan juga dapat membuat pangsa konsumen kuliner jalanan menjadi lebih jelas.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah membuat pusat jajanan yang dikemas dengan daya tarik tertentu. Menurut Heri, banyak pelanggan yang berkuliner bukan hanya sekedar mengenyangkan perut, tetapi juga melepas penat dengan tambahan hiburan. Hal-hal ini saling mengait dan menciptakan daya pikat bagi penggemar kuliner.
Derap industri kuliner tak akan mati jika pelaku usaha bermain dengan kreativitas dan memperhatikan kenyamanan pelanggan. Heri menyebut, hal-hal yang perlu disorot antara lain peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi mengenai higienitas, sistem pembuangan limbah makanan, dan ketersediaan ruang-ruang parkir.
Perubahan fungsi bangunan ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Perubahan fungsi bangunan, penataan kantong parkir, dan pengaturan mengenai tata kelola limbah menjadi tiga hal yang paling penting untuk diantisipasi. Jadi pemerintah perlu cermat dalam melihat masa depan sebuah wilayah.
“Munculnya PKL yang spontan dan sporadis ini kan tidak direncanakan sejak awal. Maka pemerintah perlu memproyeksikan kira-kira kawasan dengan pertumbuhan yang cepat ini akan seperti apa sekitar 10 tahun ke depan,” katanya.
Nirwono mencontohkan wilayah Jakarta yang memiliki pertumbuhan cepat seperti Kebayoran Baru, Senopati, dan Cipete. Wilayah-wilayah ini dahulunya merupakan kawasan hunian yang kini mulai dibanjiri kuliner kaki lima.
Menurutnya, langkah yang harus segera dilakukan pemerintah adalah penataan ulang kawasan kota. Tiga masalah utama yang hadir seperti pelanggaran tata ruang, penggunaan bahu jalan sebagai lahan parkir, hingga limbah tak terkelola yang menciptakan aroma tidak sedap memerlukan solusi konkret dari pemerintah.
“Pemerintah harus memberikan dukungan dan pendampingan, bukan berarti tidak sesuai dengan tata ruang lantas areanya ditutup dan mematikan usaha mereka,” jelas Nirwono.
Hal ini dapat menjadi momentum pemerintah dalam memberi sosialisasi terkait tata kota. Industri kuliner jalanan tetap diperbolehkan buka dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus memberi aturan yang jelas terkait lokasi-lokasi yang diperbolehkan untuk berdagang.
Setelah menegaskan aturan, pemerintah berperan besar dalam memfasilitasi para pedagang kuliner jalanan tersebut. Misalnya dengan menyediakan kantong-kantong jualan yang tidak jauh dari lokasi tersebut.
“Fenomena munculnya banyak pedagang pinggir jalan ini justru jadi momentum pemerintah untuk mengatur ruang mana saja yang boleh menjadi tempat jualan. Pertegas daerah dan koridor mana yang boleh digunakan,” jelasnya.
Nirwono menyebut, pemerintah harus bisa membaca sebuah fenomena dengan solusi. Solusi lain yang dapat dihadirkan adalah membuat lokasi pusat jajanan yang tidak jauh dari area taman.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyediakan pusat jajanan atau food court dengan tata kelayang baik, termasuk pengaturan pembuangan limbah dan ketersediaan kantong parkir agar tidak mengganggu bahu jalan dan trotoar yang menjadi hak bagi pejalan kaki.
Untuk pengadaan kantong parkir, Nirwono mengatakan kendaraan tak harus di parkiran di tempat yang berdekatan dengan area pusat jajanan. Misalnya, penyediaan kantong parkir bersama yang lokasinya memerlukan waktu tempuh 5 menit berjalan kaki untuk sampai di pusat jajanan.
Editor: Fajar Sidik
Apalagi di Ibu Kota Jakarta, ada banyak area street food terkenal yang penuh dengan puluhan pedagang yang menjajakan ragam makanan andalannya. Menu yang praktis, mudah ditemukan, dan harga yang ramah di kantong mendorong geliat bisnis usaha kuliner kaki lima makin potensial.
Baca juga: Strategi Tiga Pelaku Usaha Jadikan Kuliner Tradisional Naik Kelas
Apalagi kuliner turut menopang terhadap nilai ekonomi kreatif yang kian bertumbuh setiap tahunnya. Kuliner masuk dalam tiga besar subsektor yang paling berkontribusi di samping fesyen dan kerajinan tangan (kriya).
Data BPS mencatat PDB untuk industri makanan dan minuman pada 2022 bertumbuh 4,8 persen dibandingkan dengan 2021. Geliat ini juga didorong oleh sumbangan subsektor kuliner sebanyak 42 persen dari keseluruhan subsektor ekonom kreatif.
Direktur Manajemen Industri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Syaifullah mengatakan besarnya pangsa kuliner ini turut didorong oleh banjirnya bisnis makanan dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Di antara UMKM yang paling banyak dan dominan itu dari kuliner. Kalau kita mengadakan pelatihan pun hampir 80 persen dihadiri oleh UMKM kuliner,” kata Syaifullah.
Dengan ceruk yang masih lebar, kuliner masih menjadi salah satu subsektor yang paling potensial berkontribusi terhadap ekonomi kreatif. Ini juga mendorong pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang terbilang signifikan.
Data Kemenparekraf menyebut sekitar 34 persen tenaga kerja terserap dari subsektor kuliner, menjadi yang paling tinggi dan membawahi angka penyerapan tenaga kerja subsektor fesyen dan kriya. “Penyerapan tenaga kerja di UMKM kuliner itu jauh lebih besar. Industri ini juga tumbuh didukung dengan tren viral di media sosial,” jelas Syaifullah.
Pemerintah memiliki sejumlah tantangan dan hambatan dalam pengawasan kuliner kaki lima. Semrawutnya sistem tata kelola industri kaki lima masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang memerlukan dukungan dan kerja sama dari beberapa pihak. Dia menyebut bahwa pemerintah pun kesulitan dalam memberikan dukungan kepada UMKM kuliner karena sistem pedagang yang belum terdaftar.
“Dahulu kita punya Badan Insentif Pemerintah yang salah satu syarat pemberiannya adalah memiliki badan usaha dan nomor induk usaha (NIB). Tetapi biasanya kuliner pinggir jalan tidak punya NIB dan tidak terdaftar. Jadi, kami juga jadi susah dalam memberikan dukungan-dukungan,” ujarnya.
Syaifullah menjelaskan bahwa salah satu langkah yang tengah dikebut pemerintah adalah menciptakan kawasan jajanan yang tertata sehingga lebih terkontrol dan praktis dalam melakukan pengawasan. Dengan perkumpulan UMKM kuliner di pusat jajanan akan membuat pembinaan dari pemerintah kepada pedagang lebih mudah. Termasuk dalam hal standardisasi higienitas, kenyamanan pelanggan, dan pengaturan pengelolaan limbah dapur.
Sementara itu, Pengamat Kuliner Heri Priyatmoko berpendapat bahwa menjamurnya industri kuliner jalanan juga didorong oleh pergeseran minat kuliner yang lebih menyukai makanan yang praktis dan mudah ditemui yang sering terdapat di pinggir jalan. “Generasi masa kini merasa lebih asyik dengan konsep berburu kuliner pinggir jalan. Selain itu, suasana juga menjadi salah satu daya pikat yang sering menjadi nilai tambahnya, ” jelas Heri.
Sayangnya street food ini masih banyak sebagai sektor informal sehingga belum dapat diatur dengan optimal. Untuk meregulasi kuliner kaki lima, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah aturan pembatasan jam buka. Heri menyebut, aturan jam ini tak hanya berfungsi untuk memberi regulasi, melainkan juga dapat membuat pangsa konsumen kuliner jalanan menjadi lebih jelas.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah membuat pusat jajanan yang dikemas dengan daya tarik tertentu. Menurut Heri, banyak pelanggan yang berkuliner bukan hanya sekedar mengenyangkan perut, tetapi juga melepas penat dengan tambahan hiburan. Hal-hal ini saling mengait dan menciptakan daya pikat bagi penggemar kuliner.
Derap industri kuliner tak akan mati jika pelaku usaha bermain dengan kreativitas dan memperhatikan kenyamanan pelanggan. Heri menyebut, hal-hal yang perlu disorot antara lain peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi mengenai higienitas, sistem pembuangan limbah makanan, dan ketersediaan ruang-ruang parkir.
Pentingnya Kantong Parkir di Kawasan Kuliner
Pengamat Tata Kota Nirwono Joga juga mengatakan jika penyediaan kantong parkir menjadi hal penting dalam pengawasan tata kota. Menurut dia, banyak ruang-ruang kota yang dahulunya merupakan daerah hunian kini berubah menjadi area penjualan.Perubahan fungsi bangunan ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Perubahan fungsi bangunan, penataan kantong parkir, dan pengaturan mengenai tata kelola limbah menjadi tiga hal yang paling penting untuk diantisipasi. Jadi pemerintah perlu cermat dalam melihat masa depan sebuah wilayah.
“Munculnya PKL yang spontan dan sporadis ini kan tidak direncanakan sejak awal. Maka pemerintah perlu memproyeksikan kira-kira kawasan dengan pertumbuhan yang cepat ini akan seperti apa sekitar 10 tahun ke depan,” katanya.
Nirwono mencontohkan wilayah Jakarta yang memiliki pertumbuhan cepat seperti Kebayoran Baru, Senopati, dan Cipete. Wilayah-wilayah ini dahulunya merupakan kawasan hunian yang kini mulai dibanjiri kuliner kaki lima.
Menurutnya, langkah yang harus segera dilakukan pemerintah adalah penataan ulang kawasan kota. Tiga masalah utama yang hadir seperti pelanggaran tata ruang, penggunaan bahu jalan sebagai lahan parkir, hingga limbah tak terkelola yang menciptakan aroma tidak sedap memerlukan solusi konkret dari pemerintah.
“Pemerintah harus memberikan dukungan dan pendampingan, bukan berarti tidak sesuai dengan tata ruang lantas areanya ditutup dan mematikan usaha mereka,” jelas Nirwono.
Hal ini dapat menjadi momentum pemerintah dalam memberi sosialisasi terkait tata kota. Industri kuliner jalanan tetap diperbolehkan buka dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus memberi aturan yang jelas terkait lokasi-lokasi yang diperbolehkan untuk berdagang.
Setelah menegaskan aturan, pemerintah berperan besar dalam memfasilitasi para pedagang kuliner jalanan tersebut. Misalnya dengan menyediakan kantong-kantong jualan yang tidak jauh dari lokasi tersebut.
“Fenomena munculnya banyak pedagang pinggir jalan ini justru jadi momentum pemerintah untuk mengatur ruang mana saja yang boleh menjadi tempat jualan. Pertegas daerah dan koridor mana yang boleh digunakan,” jelasnya.
Nirwono menyebut, pemerintah harus bisa membaca sebuah fenomena dengan solusi. Solusi lain yang dapat dihadirkan adalah membuat lokasi pusat jajanan yang tidak jauh dari area taman.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyediakan pusat jajanan atau food court dengan tata kelayang baik, termasuk pengaturan pembuangan limbah dan ketersediaan kantong parkir agar tidak mengganggu bahu jalan dan trotoar yang menjadi hak bagi pejalan kaki.
Untuk pengadaan kantong parkir, Nirwono mengatakan kendaraan tak harus di parkiran di tempat yang berdekatan dengan area pusat jajanan. Misalnya, penyediaan kantong parkir bersama yang lokasinya memerlukan waktu tempuh 5 menit berjalan kaki untuk sampai di pusat jajanan.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.