Restorasi film Tjoet Nja' Dhien (Sumber gambar: (YouTube/Erros Djarot's Creative Corner)

Hypereport Kemerdekaan: Menyaksikan Kegigihan dan Harga Diri Tjoet Nja’ Dhien

17 August 2023   |   12:00 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Kegigihan dan harga diri adalah pesan yang akan diperoleh oleh para penonton ketika menonton film Tjoet Nja’ Dhien yang dibuat pada 1988. Dengan suguhan visual yang menarik, sinema garapan sutradara Eros Djarot itu menyajikan cerita yang sarat makna.

Tjoet Nja’ Dhien yang diperankan oleh Christine Hakim memutuskan untuk meneruskan perjuangan panjang sang suami, yakni Teuku Umar melawan pasukan Belanda. Dia bersama dengan masyarakat Aceh dengan gigih dan berani menyerang tempat-tempat kape – sebutan Tjoet Nja’ untuk tentara penjajah – yang memburunya di pedalaman hutan. 

Keberaniannya membuat banyak warga Aceh pada saat itu berjuang bersamanya dalam banyak cara. Menghadapi langsung penjajah, memberikan dukungan materi, atau logistik berupa makanan yang akan digunakan oleh pasukannya bergerilya di dalam hutan. 

Dia bersama pasukannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain di dalam hutan, berlari dari kejaran pasukan Belanda atau memburunya. Bertahun-tahun bergerilya, kondisi kesehatannya pun mengalami penurunan. 

Dalam kerentanannya tersebut, dia tak hanya harus menghadapi serbuan pasukan belanda yang mengejarnya tanpa lelah, tapi juga pengkhianatan dari orang-orang di sekelilingnya. 

Baca juga: Hypereport: Gambaran Semangat Perjuangan Rakyat Jelata dalam Film November 1828 

Selain itu, dalam film, Eros memperlihatkan bagaimana seorang ibu menanamkan nilai-nilai luhur kepada sang anak. Kemudian, sang sutradara juga dengan berani berbicara tentang politik dan kritik yang sangat berani terhadap sebuah kondisi. 
 
Saat bertemu dengan pedagang dari Portugis untuk mendapatkan 60 pucuk senapan yang akan digunakan melawan pasukan Belanda, terdapat dialog yang menarik antara Tjoet Nja’ Dhien dengan pedagang tersebut. 

Pedagang itu mengatakan bahwa tidak ada alasan untuknya melakukan pengkhianatan. Baginya, pemberontakan adalah tambang emas. “Semua ini politik. Bila pemberontakan berhenti, pemerintah pusat juga akan menghentikan dana perang yang begitu besar,” katanya. 

Lewat dialog dalam film itu, sutradara ingin menyampaikan pesan bahwa ada banyak orang buta karena uang. Mereka rela menjual idealisme dan negara demi uang, pangkat, atau kepuasan pribadi. Pengkhianatan yang dihadapi Tjoet Nja’ Dhien juga terjadi karena alasan serupa, yang berwujud dalam karakter Teuku Leubeh. 
 

(Sumber gambar: IMDb)

(Sumber gambar: IMDb)

Dari sisi sinematografi, Eros Djarot juga mampu menyuguhkan visual yang apik. Dia berhasil memaksimalkan kamera dengan pengambilan gambar yang pada akhirnya menyajikan pandangan menarik tentang alam Aceh. Begitu juga dengan karakter dari para pemainnya melalui long shot atau close up.
 
Para penonton akan disuguhi dengan gambar-gambar panorama yang indah dengan siluet pasukan Aceh yang tengah berjalan berbaris dan warna jingga dari lembayung senja yang menawan. Tidak hanya itu, pengambilan gambar pada malam hari juga memberikan visual menarik tersendiri dari nyala api obor dalam gelap yang dibawa oleh sejumlah pasukan.
 
Tidak lupa, hamparan hijau hutan dan pegunungan dengan kabut pada pagi hari juga menjadi sajian lanskap indah yang ada dalam film ini. Akting para pemain yang mumpuni ditambah dengan kemampuan mengarahkan kerumunan orang juga membuat adegan perang yang luar biasa.
 
Sajian cerita yang apik dalam film Tjoet Nja’ Dhien dapat terjadi lantaran si pembuat film telah melakukan berbagai riset, baik dari buku sejarah maupun sejarawan.
 
Dengan mengambil latar peperangan Aceh pada sekitar 1800an-1900an, film ini juga tidak menyudutkan salah satu pihak. Seorang perwira Belanda digambarkan enggan memberikan letak pasti keberadaan Tjoet Nja’ Dhien ketika dilepaskan dalam peperangan yang dijalaninya.
 
Kemudian, film ini juga memperlihatkan bagaimana pasukan Belanda yang menepati janjinya untuk memperlakukan Tjoet Nja’ Dhien sesuai dengan statusnya, sebagai seorang pemimpin. Dari film ini, kita dapat melihat nasionalisme sang sutradara dalam caranya sebagai seniman.
 
Pengamat Hikmat Darmawan mengatakan bahwa film Tjoet Nja’ Dhien bukan tentang peperangan kemerdekaan yang sarat unsur Tentara Nasional Indonesia di dalamnya. Karya ini adalah tentang perang rakyat walaupun Tjoet Nja’ Dhien adalah seorang ningrat.
 
Dengan mengambil latar atau periode sebelum kemerdekaan, film ini memiliki perenungan yang luar biasa. Jadi, Tjoet Nja’ Dhien sebagai film sangat epik dari sisi teknis dengan pengambilan gambar dan setting tempat, ide, dan akting para pemain yang ada di dalamnya.
 
Menurutnya, dari sisi cerita juga sangat berhasil karena pada pertumbuhan karakter di dalamnya melalui Pang Laot yang diperankan oleh Pietrajaya Burnama.
 
Orang kepercayaan Tjoet Nja’ Dhien itu pada awalnya adalah pembenci penjajah. Namun, pada akhirnya, dia menjadi pengkhianat dan bekerja sama dengan Belanda yang mempertanyakan makna perjuangan yang dilakukannya selama ini.

Pang Laot yang melaporkan posisi Tjoet Nja’ Dhien jelas menjadi seorang pengkhianat. Namun, dalam perannya itu, terlihat ada semacam dilema moral bahwa dia yang mendapatkan amanah untuk menjaga Tjoet Nja’ Dhien tidak ingin sang pemimpin sampai akhir masa tuanya meninggal dikejar-kejar Belanda di hutan.
 
“Ada pengkhianat, tapi ada dilema moral di balik itu. Secara ide dan teknis berhasil,” katanya. 

Baca juga: Hypereport: Nasionalisme dan Romantisme Sultan Agung di Bumi Nusantara
 

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Cek Rekayasa Lalu Lintas & Pengalihan Rute Transportasi Umum Jelang Kirab Pusaka 17 Agustus di Jakarta

BERIKUTNYA

Mengenal Baju Adat Ageman Songkok Singkepan Ageng, Busana Raja yang dikenakan Presiden Jokowi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: