Asal Tahu Caranya, Hobi Koleksi Mainan Bisa Jadi Ladang Cuan Lho
24 July 2021 |
14:30 WIB
Boys will be boys, seorang anak laki-laki akan tetap menjadi anak laki-laki meskipun usianya sudah dewasa. Ungkapan ini rasanya tepat untuk menggambarkan laki-laki dewasa, yang masih antusias untuk mengoleksi mainan. Salah satu alasan terbesar mereka menggeluti hobi ini adalah nostalgia masa kecil.
Mainan yang dikoleksi pun beragam, mulai dari mobil mini 4WD atau remote control yang bisa dimainkan hingga mainan yang hanya dijadikan pajangan seperti figur karakter (action figure) dan miniatur kendaraan.
Muhammad Amir, contohnya, pria yang bekerja di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara itu gemar mengoleksi miniatur kendaraan dan alat-alat berat dengan skala 1:87 sejak 10 tahun lalu. Dari puluhan koleksinya, nyaris seluruhnya berasal dari Eropa, khususnya Jerman.
“Sudah dari kecil senang lihat truk atau mobil besar, karena rumah orang tua dulu enggak jauh dari jalan besar. Gagah saja gitu, apalagi yang dari Eropa. Koleksi ini juga semacam balas dendam, dulu waktu kecil sering merengek tapi enggak dibelikan karena uangnya buat kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Harga miniatur yang dikoleksi Amir beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Selain jenis, detail dan ketersediaan barang menjadi faktor yang menentukan harga dari sebuah miniatur.
Selain itu, miniatur yang telah dimodifikasi agar terlihat seperti kendaraan yang banyak berlalu-lalang di Tanah Air biasanya dihargai lebih tinggi. Tentunya, kemiripan dan kerapian hasil modifikasi ikut menentukan harga.
Adapun, untuk mendapatkan miniatur yang diinginkan Amir biasa berburu lewat sosial media, alih-alih mengunjungi toko mainan atau pameran secara langsung. Oleh karena itu, pandemi Covid-19 tak menjadi penghalang bagi Amir dan teman-temannya untuk terus menambah koleksi.
“Miniatur begini di toko enggak ada yang jual atau jarang lah. Di grup komunitas itu kan ada forum jual belinya, beli di teman-teman kita yang memang sudah bosan [koleksi] atau seller besar. Nah, yang seller ini juga kolektor, tapi dia berani ambil langsung dari luar [negeri] banyak terus dijual di sini,” ungkapnya.
Amir menambahkan jual beli miniatur lewat media sosial boleh dibilang unik. Sebab kebanyakan dijual dengan sistem lelang terbuka. Artinya, siapa cepat dia dapat.
“Pandemi begini makin ramai yang pantau [lelang], jadi meriah tetapi tetap tertib. Ada juga yang siapa cepat dia dapat. Ada juga yang sudah saling percaya, kadang barang belum dibayar [oleh penjual] sudah dikirim dahulu ke pembeli, gampangnya ya bayar nanti,” ujarnya.
Berbeda dengan Amir, Haryo Prasetyo baru saja memulai hobinya mengoleksi miniatur kendaraan. Adapun, jenis kendaraan yang dia pilih adalah mobil dan motor sport dengan skala beragam mulai dari skala 1/64 hingga 1/18.
“Awalnya iseng saja, nunggu istri belanja kok ketemu yang bagus. Waktu itu [merk] Hotwheels sama Matchbox. Nah sekarang udah mulai tertarik sama yang lebih besar merk lain, kalau mobil bisa dibuka pintunya, lebih detail juga,” katanya.
Pria yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta itu mengaku mulai serius mengoleksi miniatur setelah berkunjung ke rumah temannya. Di rumah tersebut tersimpan beberapa miniatur kendaraaan yang setelah ditelusuri dijual dengan harga fantastis.
“Teman cerita kalau dia beli di harga yang nggak mahal buat saya, tetapi setelah saya browsing kok harganya sudah mahal jauh di atas harga yang disebut teman saya. Disitu mulai berpikir, selain buat senang-senang di tengah pandemi, bisa jadi investasi juga,” ujarnya.
Sejauh ini, Haryo belum pernah menjual salah satu dari belasan koleksinya. Namun, dia mengaku pernah mendapatkan miniatur sepeda motor sport dengan harga jauh di bawah harga pada umumnya.
“Dapat dari lelang online di Facebook. Sekarang kan ramainya jual begitu di Facebook. Semoga saja kalau dijual bisa lebih dari harga beli atau jauh di atas harga pasaran sekarang,” ujarnya.
Harapan Haryo tidak salah, karena memang beberapa jenis mainan, termasuk miniatur kendaraan dapat dijadikan sebagai instrumen insvestasi. Mainan yang nilainya cenderung naik dari tahun ke tahun biasanya ikonik, diproduksi secara terbatas, atau malah sudah tak lagi diproduksi.
Founder Toys and Models Collector Indonesia (Tomoci) Kemas Julius Michwan mengatakan, beberapa jenis mainan memang bersifat tak ubahnya instrumen investasi. Namun, tak semua mainan punya potensi menjadi barang dengan nilai fantastis di masa depan.
Menurut Kemas, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah mainan layak dijadikan investasi adalah mencari tahu informasi atau asal-usul dari mainan tersebut. Selain dengan cara berselancar di dunia maya, cara yang dapat dilakukan adalah membeli buku referensi mengenai mainan.
Beberapa dari buku-buku tersebut bahkan tidak hanya memberikan informasi mengenai sejarah atau asal-usul sebuah mainan saja. Beberapa diantaranya juga memuat rentang harga pasaran dari sebuah mainan untuk membantu kolektor mendapatkan koleksi buruannya.
“Bukunya kebanyakan dari luar negeri dan dibeli di sana. Tetapi ada juga buku yang bisa dibeli di jaringan toko buku di dalam negeri. Beberapa teman-teman kolektor juga punya copy scan-nya,” katanya.
Selain beberapa jenis mainan mobil berbahan besi cetak (diecast) atau action figure yang lazim dikoleksi di Indonesia, mainan yang terlihat biasa saja tetapi dijual dengan harga fantastis adalah tin toys.
Tin toys merupakan jenis mainan yang lazim ditemukan sebelum era 1970-an. Mainan yang dibuat dengan bahan besi dan digerakkan secara mekanis atau menggunakan baterai itu bisa berbentuk kendaraan, robot, senjata, hingga binatang.
Mainan yang sudah tak lagi diproduksi karena dinilai tak aman bagi anak itu harganya melejit dipengaruhi beberapa faktor, akan tetapi yang utama adalah nostalgia masa lalu. Menurut Kemas, beberapa jenis tin toys harganya sudah tak lagi terjangkau bagi kebanyakan kolektor.
“Ada yang harganya bisa sampai US$20.000 buatan era 1950-1960-an seperti robot tin toys buatan Jepang. Mereka bisa mahal karena unik, dibuat dari khayalan di masa lalu yang sekarang akhirnya khayalan itu terwujud karena perkembangan teknologi,” ungkapnya.
Walaupun demikian, bukan berarti Kemas dan teman-temannya tak punya kemungkinan untuk memiliki mainan tersebut. Dia menyebut beberapa pabrikan masih memproduksi mainan sejenis dalam bentuk replika.
Harga replika tin toys tentunya jauh lebih murah dibandingkan dengan aslinya. Namun, harganya juga terbilang tinggi dan punya kecenderungan naik karena diproduksi secara terbatas.
Editor: Dika Irawan
Mainan yang dikoleksi pun beragam, mulai dari mobil mini 4WD atau remote control yang bisa dimainkan hingga mainan yang hanya dijadikan pajangan seperti figur karakter (action figure) dan miniatur kendaraan.
Muhammad Amir, contohnya, pria yang bekerja di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara itu gemar mengoleksi miniatur kendaraan dan alat-alat berat dengan skala 1:87 sejak 10 tahun lalu. Dari puluhan koleksinya, nyaris seluruhnya berasal dari Eropa, khususnya Jerman.
“Sudah dari kecil senang lihat truk atau mobil besar, karena rumah orang tua dulu enggak jauh dari jalan besar. Gagah saja gitu, apalagi yang dari Eropa. Koleksi ini juga semacam balas dendam, dulu waktu kecil sering merengek tapi enggak dibelikan karena uangnya buat kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Harga miniatur yang dikoleksi Amir beragam, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Selain jenis, detail dan ketersediaan barang menjadi faktor yang menentukan harga dari sebuah miniatur.
Selain itu, miniatur yang telah dimodifikasi agar terlihat seperti kendaraan yang banyak berlalu-lalang di Tanah Air biasanya dihargai lebih tinggi. Tentunya, kemiripan dan kerapian hasil modifikasi ikut menentukan harga.
Adapun, untuk mendapatkan miniatur yang diinginkan Amir biasa berburu lewat sosial media, alih-alih mengunjungi toko mainan atau pameran secara langsung. Oleh karena itu, pandemi Covid-19 tak menjadi penghalang bagi Amir dan teman-temannya untuk terus menambah koleksi.
Ilustrasi miniatur bus (Rezha Hadyan: Hypeabis.id)
Amir menambahkan jual beli miniatur lewat media sosial boleh dibilang unik. Sebab kebanyakan dijual dengan sistem lelang terbuka. Artinya, siapa cepat dia dapat.
“Pandemi begini makin ramai yang pantau [lelang], jadi meriah tetapi tetap tertib. Ada juga yang siapa cepat dia dapat. Ada juga yang sudah saling percaya, kadang barang belum dibayar [oleh penjual] sudah dikirim dahulu ke pembeli, gampangnya ya bayar nanti,” ujarnya.
Berbeda dengan Amir, Haryo Prasetyo baru saja memulai hobinya mengoleksi miniatur kendaraan. Adapun, jenis kendaraan yang dia pilih adalah mobil dan motor sport dengan skala beragam mulai dari skala 1/64 hingga 1/18.
“Awalnya iseng saja, nunggu istri belanja kok ketemu yang bagus. Waktu itu [merk] Hotwheels sama Matchbox. Nah sekarang udah mulai tertarik sama yang lebih besar merk lain, kalau mobil bisa dibuka pintunya, lebih detail juga,” katanya.
Pria yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta itu mengaku mulai serius mengoleksi miniatur setelah berkunjung ke rumah temannya. Di rumah tersebut tersimpan beberapa miniatur kendaraaan yang setelah ditelusuri dijual dengan harga fantastis.
“Teman cerita kalau dia beli di harga yang nggak mahal buat saya, tetapi setelah saya browsing kok harganya sudah mahal jauh di atas harga yang disebut teman saya. Disitu mulai berpikir, selain buat senang-senang di tengah pandemi, bisa jadi investasi juga,” ujarnya.
Sejauh ini, Haryo belum pernah menjual salah satu dari belasan koleksinya. Namun, dia mengaku pernah mendapatkan miniatur sepeda motor sport dengan harga jauh di bawah harga pada umumnya.
“Dapat dari lelang online di Facebook. Sekarang kan ramainya jual begitu di Facebook. Semoga saja kalau dijual bisa lebih dari harga beli atau jauh di atas harga pasaran sekarang,” ujarnya.
Harapan Haryo tidak salah, karena memang beberapa jenis mainan, termasuk miniatur kendaraan dapat dijadikan sebagai instrumen insvestasi. Mainan yang nilainya cenderung naik dari tahun ke tahun biasanya ikonik, diproduksi secara terbatas, atau malah sudah tak lagi diproduksi.
Ilustrasi mainan (Akshar Dave: Unsplash)
Menurut Kemas, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah mainan layak dijadikan investasi adalah mencari tahu informasi atau asal-usul dari mainan tersebut. Selain dengan cara berselancar di dunia maya, cara yang dapat dilakukan adalah membeli buku referensi mengenai mainan.
Beberapa dari buku-buku tersebut bahkan tidak hanya memberikan informasi mengenai sejarah atau asal-usul sebuah mainan saja. Beberapa diantaranya juga memuat rentang harga pasaran dari sebuah mainan untuk membantu kolektor mendapatkan koleksi buruannya.
“Bukunya kebanyakan dari luar negeri dan dibeli di sana. Tetapi ada juga buku yang bisa dibeli di jaringan toko buku di dalam negeri. Beberapa teman-teman kolektor juga punya copy scan-nya,” katanya.
Selain beberapa jenis mainan mobil berbahan besi cetak (diecast) atau action figure yang lazim dikoleksi di Indonesia, mainan yang terlihat biasa saja tetapi dijual dengan harga fantastis adalah tin toys.
Ilustrasi miniatur bus (Rezha Hadyan: Hypeabis.id)
Mainan yang sudah tak lagi diproduksi karena dinilai tak aman bagi anak itu harganya melejit dipengaruhi beberapa faktor, akan tetapi yang utama adalah nostalgia masa lalu. Menurut Kemas, beberapa jenis tin toys harganya sudah tak lagi terjangkau bagi kebanyakan kolektor.
“Ada yang harganya bisa sampai US$20.000 buatan era 1950-1960-an seperti robot tin toys buatan Jepang. Mereka bisa mahal karena unik, dibuat dari khayalan di masa lalu yang sekarang akhirnya khayalan itu terwujud karena perkembangan teknologi,” ungkapnya.
Walaupun demikian, bukan berarti Kemas dan teman-temannya tak punya kemungkinan untuk memiliki mainan tersebut. Dia menyebut beberapa pabrikan masih memproduksi mainan sejenis dalam bentuk replika.
Harga replika tin toys tentunya jauh lebih murah dibandingkan dengan aslinya. Namun, harganya juga terbilang tinggi dan punya kecenderungan naik karena diproduksi secara terbatas.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.