Membaca Tantangan & Masa Depan Jurnalisme di Era Digital
01 April 2023 |
23:37 WIB
Apa yang terbayang di benak Genhype ketika mendengar istilah jurnalisme? Bisa jadi salah satunya adalah kegiatan menghimpun informasi, pencarian fakta, dan laporan beeritar yang ditujukan ke khalayak berdasarkan kode etik jurnalistik.
Namun dunia jurnalisme di Indonesia, saat ini telah berubah. Alih-alih memberi kedalaman berita, praktik jurnalisme justru banyak yang berorientasi pada penyampaian informasi yang didasarkan clickbait atu jumlah view dari masyarakat.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Simak Profil 5 Jurnalis Perempuan Berpengaruh pada Masa Kemerdekaan
Hal inilah sekiranya yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam diskusi bertajuk Goenawan Mohamad, Algoritma, dan Disrupsi Digital. Berlangsung di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, diskusi ini membahas tiga buah buku karya wartawan, dan cendekia di Tanah Air.
Adapun, buku pertama berjudul Membaca Goenawan Mohamad, karya Ayu Utami dkk, kedua Jurnalisme di Luar Algoritma karya Arif Zulkifli, dan ketiga Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital karya pengamat media Agus Sudibyo.
Menurut Agus, dunia jurnalisme saat ini tengah menghadapi tantangan berat dengan terimplementasinya algoritma di internet. Celakanya, mesin pencari saat ini didominasi oleh sederet platform digital, termasuk Facebook, Apple, dan Microsoft.
Argumen mengenai keadaan media massa itu didasarkan dari dua asumsi, yakni dualitas institusi sosial dan ekonomi. Keduanya menurut Agus saling berpengaruh satu sama lain dalam keberlangsungan ekosistem media massa di Tanah Air maupun skala global.
"Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana beberapa perusahaan dapat menguasai berbagai sektor terutama ekosistem media massa di hampir di seluruh dunia terutama di Indonesia," papar Agus Minggu, (1/4/23).
Oleh karena itu, media massa, khususnya online jika ingin tetap bertahan dan mendapat pemasukan dari iklan harus mengikuti algoritma yang dimonopoli oleh platform tersebut. Sedangkan, media konvensional hanya bermain dalam ekosistem yang sangat kecil.
Sementara, mengenai konten, alih-alih menyajikan informasi yang bermutu, media massa saat ini justru juga ikut mengambil sumber dari media sosial. Sehingga peristiwa yang diwartakan hanya sebatas pemberian informasi yang sebenarnya bisa ditemukan di medsos.
"Saat ini 58 persen iklan media digital itu dikuasai oleh Google, lalu 2,4 persen dikuasai Meta. Jadi media konvensional hanya bermain di area 18 persen atau sisanya. Hal ini juga hampir sama dengan apa yang terjadi di Indonesia," jelas Agus.
Penelitian Agus turut diamini oleh Arif Zulkifli. Namun mantan Pemred Tempo itu mengungkap salah satu kiat untuk membendung monopoli tersebut adalah dengan menggunakan sistem langganan bagi pembaca. Hal ini agar media massa tidak dapat didikte oleh trafik iklan yang kini dikuasai oleh platform tersebut.
Selain itu, proses pendalaman materi pun perlu diolah agar menjadi berita yang bernas saat dibaca publik. Alih-alih hanya mengedepankan jurnalisme dasar, wartawan juga dapat mengeksplorasi tulisan agar nantinya menjadi identitas penulis atau media yang bersangkutan.
Dia pun mencontohkan, misalnya dengan meminjam prosa atau puisi karya penyair terkenal sebagai lead, atu pembuka tulisan. Selain itu, bisa juga dengan melakukan reportase khusus yang jarang diliput oleh media mainstream, sehingga memiliki kans lebih besar untuk dibaca publik.
Hasil liputan itulah yang kemudian dikumpulkan dalam bukunya yang bertajuk Jurnalisme di Luar Algoritma. Sebagai jurnalis, Azul, sapaan akrab Arif Zulkifli mengaku memang telah banyak menulis berita, tapi dia lebih fokus pada teknik reportase dan jurnalisme perjalanan.
"Jadi, sastra dan prosa juga bisa dipinjam oleh wartawan [dalam menulis berita] bukan untuk mengelabui pembaca. Namun untuk menggambarkan keadaan mengenai reportase yang dilakukan oleh jurnalis," kata Azul.
Baca juga: Mengenal Roehana Koeddoes, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia dalam Google Doodle
Editor: Dika Irawan
Namun dunia jurnalisme di Indonesia, saat ini telah berubah. Alih-alih memberi kedalaman berita, praktik jurnalisme justru banyak yang berorientasi pada penyampaian informasi yang didasarkan clickbait atu jumlah view dari masyarakat.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Simak Profil 5 Jurnalis Perempuan Berpengaruh pada Masa Kemerdekaan
Hal inilah sekiranya yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam diskusi bertajuk Goenawan Mohamad, Algoritma, dan Disrupsi Digital. Berlangsung di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, diskusi ini membahas tiga buah buku karya wartawan, dan cendekia di Tanah Air.
Adapun, buku pertama berjudul Membaca Goenawan Mohamad, karya Ayu Utami dkk, kedua Jurnalisme di Luar Algoritma karya Arif Zulkifli, dan ketiga Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital karya pengamat media Agus Sudibyo.
Menurut Agus, dunia jurnalisme saat ini tengah menghadapi tantangan berat dengan terimplementasinya algoritma di internet. Celakanya, mesin pencari saat ini didominasi oleh sederet platform digital, termasuk Facebook, Apple, dan Microsoft.
Argumen mengenai keadaan media massa itu didasarkan dari dua asumsi, yakni dualitas institusi sosial dan ekonomi. Keduanya menurut Agus saling berpengaruh satu sama lain dalam keberlangsungan ekosistem media massa di Tanah Air maupun skala global.
"Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana beberapa perusahaan dapat menguasai berbagai sektor terutama ekosistem media massa di hampir di seluruh dunia terutama di Indonesia," papar Agus Minggu, (1/4/23).
Oleh karena itu, media massa, khususnya online jika ingin tetap bertahan dan mendapat pemasukan dari iklan harus mengikuti algoritma yang dimonopoli oleh platform tersebut. Sedangkan, media konvensional hanya bermain dalam ekosistem yang sangat kecil.
Sementara, mengenai konten, alih-alih menyajikan informasi yang bermutu, media massa saat ini justru juga ikut mengambil sumber dari media sosial. Sehingga peristiwa yang diwartakan hanya sebatas pemberian informasi yang sebenarnya bisa ditemukan di medsos.
"Saat ini 58 persen iklan media digital itu dikuasai oleh Google, lalu 2,4 persen dikuasai Meta. Jadi media konvensional hanya bermain di area 18 persen atau sisanya. Hal ini juga hampir sama dengan apa yang terjadi di Indonesia," jelas Agus.
Diskusi Goenawan Mohamad, Algoritma, dan Disrupsi Digital (sumber gambar Hypeabis/Prasetyo Agung)
Selain itu, proses pendalaman materi pun perlu diolah agar menjadi berita yang bernas saat dibaca publik. Alih-alih hanya mengedepankan jurnalisme dasar, wartawan juga dapat mengeksplorasi tulisan agar nantinya menjadi identitas penulis atau media yang bersangkutan.
Dia pun mencontohkan, misalnya dengan meminjam prosa atau puisi karya penyair terkenal sebagai lead, atu pembuka tulisan. Selain itu, bisa juga dengan melakukan reportase khusus yang jarang diliput oleh media mainstream, sehingga memiliki kans lebih besar untuk dibaca publik.
Hasil liputan itulah yang kemudian dikumpulkan dalam bukunya yang bertajuk Jurnalisme di Luar Algoritma. Sebagai jurnalis, Azul, sapaan akrab Arif Zulkifli mengaku memang telah banyak menulis berita, tapi dia lebih fokus pada teknik reportase dan jurnalisme perjalanan.
"Jadi, sastra dan prosa juga bisa dipinjam oleh wartawan [dalam menulis berita] bukan untuk mengelabui pembaca. Namun untuk menggambarkan keadaan mengenai reportase yang dilakukan oleh jurnalis," kata Azul.
Baca juga: Mengenal Roehana Koeddoes, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia dalam Google Doodle
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.