Biar Sukses Diet Nasi, Kenali Ragam Pangan Alternatif Ini
12 July 2021 |
08:35 WIB
Sobat hype yang tertarik menjalani diet nasi dalam menu makan sehari-hari, ada baiknya mengenal dulu bahan-bahan pangan alternatifnya. Bagaimanapun, asupan karbohidrat tetap dibutuhkan agar tubuh tetap bertenaga. Untungya kita di Indonesia punya banyak pangan sehat buat mengganti nasi.
Badan Ketahanan Pangan menyebutkan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah- buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu. Kekayaan tanaman pangan ini seharusnya dapat dimanfaatkan sehingga kebutuhan pangan nasional tidak bergantung pada tanaman padi saja.
Sumber pangan yang paling populer di Tanah Air adalah beras, padahal Indonesia memiliki kekayaan tanaman pangan. Dominasi beras sebagai makanan pokok membuktikan bahwa target diversifikasi pangan belum tercapai. Masyarakat juga belum terbiasa mengonsumsi pangan yang beragam.
Untuk melepas ketergantungan pada beras, masyarakat perlu didorong untuk mengonsumsi sumber pangan alternatif lainnya seperti konsumsi umbi-umbian atau ragam pangan lainnya seperti sorgum, jagung, sukun, pisang, dan lain-lain. Pengembangan pangan alternatif baik dari segi konsumsi dan produksi justru dapat menguntungkan petani secara ekonomi.
Salah satu tanaman pangan alternatif itu adalah sorgum (Sorghum). Sejak 1970, budidaya sorgum telah dimulai di Indonesia. Dalam catatan Kementerian Pertanian, sampai saat ini setidaknya 15 ribu hektare tanaman sorgum tersebar di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ahmad Yusuf, Kepala Seksi Intensifikasi Jagung dan Serealia Lain Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengatakan bahwa Kementan berencana melakukan pengembangan produksi sorgum sebagai pangan alternatif. Pada 2018, Kementan mengalokasikan bantuan benih sorgum seluas 250 hektare di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. “Pada 2020 nanti akan dialokasikan 5.500 hektare, harapannya minat petani dalam menanam sorgum akan meningkat,” ujarnya.
Yusuf mengatakan bahwa sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan alternatif dan berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini dapat dibudidayakan di lahan kering yang tidak membutuhkan banyak air.
Apalagi, selain tidak mengandung gluten, sorgum juga kaya dengan nutrisi seperti niasin, thiamin, vitamin B6, zat besi, dan mangan. Dengan meningkatnya tren makanan sehat, sumber makanan bebas gluten kini banyak dicari. Pemanfaatan sorgum lainnya adalah untuk pakan ternak dan bioenergi.
Sejauh ini lokasi pengembangan sorgum sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan keragaman pangan lokal yang nutrisi atau gizinya juga setara dengan sumber makanan yang selama ini dikonsumsi.
“Masyarakat selama ini hanya terbiasa dengan makanan yang seragam seperti nasi atau padi, padahal kita punya kekayaan pangan seperti ragam umbi-umbian, jagung, kacang-kacangan, talas, sagu, pisang, dan lain-lain yang bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Menurutnya, justru saat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap beras perlu diubah dengan mengoptimalkan jenis pangan alternatif yang beragam itu.
“Keragaman pangan bisa menjadi peluang untuk menjawab kebutuhan masyarakat dari ancaman pertambahan jumlah penduduk, perubahan iklim, dan problem lainnya,”ujarnya. Itulah sebabnya KEHATI mendorong dan mendukung masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumber pangan yang unggul di daerah masing-masing.
Puji mengatakan bahwa gerakan-gerakan untuk memanfaatkan pangan alternatif sudah mulai tumbuh di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, pemerintah daerah membuat kebijakan untuk memanfaatkan potensi tanaman pangan yang unggul tersebut.
“Seperti di Nusa Tenggara Timur misalnya telah memiliki perda untuk pemanfaatan sumber pangan lokal, seperti gerakan sorgum dan kelor (solor) dan di kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara di mana bupatinya menggalakkan kebijakan today no rice,” ujarnya.
Sangihe misalnya, sebuah pulau kecil yang memiliki lahan padi yang sempit, tetapi kaya dengan sumber pangan lainnya seperti ubi, jagung, pisang, dan sagu. “Dengan program today no rice, harapannya mereka bisa mengurangi impor beras dari luar pulau,” ujarnya.
Dengan kebijakan tidak mengonsumsi beras dua hari dalam seminggu, penghematan impor beras mencapai Rp6 miliar. Dana itu kemudian dimanfaatkan untuk membeli sumber pangan yang unggul dari masyarakat.
Dia menilai gerakan konsumsi pangan alternatif perlu terus dilakukan agar orang makin yakin untuk mengonsumsi sumber pangan selain beras. (Sumber: Bisnis Weekly Oktober 2019)
Editor: Fajar Sidik
Badan Ketahanan Pangan menyebutkan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah- buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu. Kekayaan tanaman pangan ini seharusnya dapat dimanfaatkan sehingga kebutuhan pangan nasional tidak bergantung pada tanaman padi saja.
Sumber pangan yang paling populer di Tanah Air adalah beras, padahal Indonesia memiliki kekayaan tanaman pangan. Dominasi beras sebagai makanan pokok membuktikan bahwa target diversifikasi pangan belum tercapai. Masyarakat juga belum terbiasa mengonsumsi pangan yang beragam.
Untuk melepas ketergantungan pada beras, masyarakat perlu didorong untuk mengonsumsi sumber pangan alternatif lainnya seperti konsumsi umbi-umbian atau ragam pangan lainnya seperti sorgum, jagung, sukun, pisang, dan lain-lain. Pengembangan pangan alternatif baik dari segi konsumsi dan produksi justru dapat menguntungkan petani secara ekonomi.
Salah satu tanaman pangan alternatif itu adalah sorgum (Sorghum). Sejak 1970, budidaya sorgum telah dimulai di Indonesia. Dalam catatan Kementerian Pertanian, sampai saat ini setidaknya 15 ribu hektare tanaman sorgum tersebar di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ahmad Yusuf, Kepala Seksi Intensifikasi Jagung dan Serealia Lain Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengatakan bahwa Kementan berencana melakukan pengembangan produksi sorgum sebagai pangan alternatif. Pada 2018, Kementan mengalokasikan bantuan benih sorgum seluas 250 hektare di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. “Pada 2020 nanti akan dialokasikan 5.500 hektare, harapannya minat petani dalam menanam sorgum akan meningkat,” ujarnya.
Yusuf mengatakan bahwa sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan alternatif dan berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini dapat dibudidayakan di lahan kering yang tidak membutuhkan banyak air.
Apalagi, selain tidak mengandung gluten, sorgum juga kaya dengan nutrisi seperti niasin, thiamin, vitamin B6, zat besi, dan mangan. Dengan meningkatnya tren makanan sehat, sumber makanan bebas gluten kini banyak dicari. Pemanfaatan sorgum lainnya adalah untuk pakan ternak dan bioenergi.
Sejauh ini lokasi pengembangan sorgum sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan keragaman pangan lokal yang nutrisi atau gizinya juga setara dengan sumber makanan yang selama ini dikonsumsi.
“Masyarakat selama ini hanya terbiasa dengan makanan yang seragam seperti nasi atau padi, padahal kita punya kekayaan pangan seperti ragam umbi-umbian, jagung, kacang-kacangan, talas, sagu, pisang, dan lain-lain yang bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Menurutnya, justru saat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap beras perlu diubah dengan mengoptimalkan jenis pangan alternatif yang beragam itu.
“Keragaman pangan bisa menjadi peluang untuk menjawab kebutuhan masyarakat dari ancaman pertambahan jumlah penduduk, perubahan iklim, dan problem lainnya,”ujarnya. Itulah sebabnya KEHATI mendorong dan mendukung masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumber pangan yang unggul di daerah masing-masing.
Puji mengatakan bahwa gerakan-gerakan untuk memanfaatkan pangan alternatif sudah mulai tumbuh di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, pemerintah daerah membuat kebijakan untuk memanfaatkan potensi tanaman pangan yang unggul tersebut.
“Seperti di Nusa Tenggara Timur misalnya telah memiliki perda untuk pemanfaatan sumber pangan lokal, seperti gerakan sorgum dan kelor (solor) dan di kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara di mana bupatinya menggalakkan kebijakan today no rice,” ujarnya.
Sangihe misalnya, sebuah pulau kecil yang memiliki lahan padi yang sempit, tetapi kaya dengan sumber pangan lainnya seperti ubi, jagung, pisang, dan sagu. “Dengan program today no rice, harapannya mereka bisa mengurangi impor beras dari luar pulau,” ujarnya.
Dengan kebijakan tidak mengonsumsi beras dua hari dalam seminggu, penghematan impor beras mencapai Rp6 miliar. Dana itu kemudian dimanfaatkan untuk membeli sumber pangan yang unggul dari masyarakat.
Dia menilai gerakan konsumsi pangan alternatif perlu terus dilakukan agar orang makin yakin untuk mengonsumsi sumber pangan selain beras. (Sumber: Bisnis Weekly Oktober 2019)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.