Pangan Lokal Jadi Kunci untuk Memenuhi Kebutuhan Gizi
06 September 2021 |
09:31 WIB
Sistem pangan yang berkelanjutan dan memanfaatkan potensi sumber daya pangan lokal merupakan kunci untuk mencapai kedaulatan pangan. Selain tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2018 tentang Pangan, hal itu juga menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pasalnya, saat ini pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masih menjadi masalah di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan laporan ePPGBM SIGIZI per tanggal 20 Januari 2021, dari 11.499.041 balita yang diukur status gizinya di 34 provinsi, tercatat bahwa sebanyak 1.325.296 balita atau sekitar 11,6 persen di antaranya menderita stunting.
Ahli dari SEAMEO RECFON Umi Fahmida mengatakan bahwa masalah gizi banyak terjadi pada usia balita, terutama bayi di bawah usia 1 tahun, karena kebutuhan gizi yang tinggi. Untuk mengatasinya, menurutnya diperlukan pedoman asupan yang sesuai dengan konteks lokal.
Umi menjelaskan dalam studi Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) di 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia, ditemukan banyak sumber pangan lokal yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Pemanfaatan dari pangan lokal ini berpotensi untuk meningkatkan kecukupan gizi dan mengatasi masalah stunting.
“PGS-PL disusun pada 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia dengan memperhatikan konteks lokal terkait pola konsumsi, masalah gizi spesifik lokal—utamanya zat besi, kalsium, seng, dan folat, akses dan ketersediaan makanan, dan harga makanan,” ujarnya dalam suatu virtual.
Selain itu, lemahnya peran rantai pasok yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, geografis, dan potensi pertanian di setiap wilayah masih menjadi kendala. Distribusi pangan yang belum merata di Indonesia bisa menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pasokan komoditas yang diakibatkan oleh permasalahan logistik maupun perubahan iklim.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menuturkan peran desa sangat krusial dalam masalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Menurutnya, dari desalah masalah ketahanan pangan terjadi dan dari desa pula lah terdapat solusi dari sumber keragaman.
“Sistem pangan komunitas desa perlu didukung dengan model pertanian berkelanjutan, model pemasaran/distribusi yang berkeadilan, pemenuhan hak atas pangan bagi setiap orang dan partisipasi pada pengambilan kebijakan,” terangnya.
Selain itu, diversifikasi pangan juga penting untuk memastikan ketersediaan serta pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kepala Pusat Ketersediaan & Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto menuturkan konsumsi beras sepanjang 2015-2020 telah mengalami penurunan. Namun, di sisi lain, terdapat peningkatan konsumsi terigu yang luar biasa.
Dia menjelaskan nilai impor gandum-terigu pada tahun 2020 mencapai Rp 35,78 triliun. “Ini menjadi peluang besar untuk mendorong alternatif bahan baku industri pangan lokal untuk substitusi tepung terigu sampai 20%, seperti dari talas, sagu, pisang, kentang, jagung, dan singkong,” tuturnya.
Editor: Avicenna
Pasalnya, saat ini pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masih menjadi masalah di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan laporan ePPGBM SIGIZI per tanggal 20 Januari 2021, dari 11.499.041 balita yang diukur status gizinya di 34 provinsi, tercatat bahwa sebanyak 1.325.296 balita atau sekitar 11,6 persen di antaranya menderita stunting.
Ahli dari SEAMEO RECFON Umi Fahmida mengatakan bahwa masalah gizi banyak terjadi pada usia balita, terutama bayi di bawah usia 1 tahun, karena kebutuhan gizi yang tinggi. Untuk mengatasinya, menurutnya diperlukan pedoman asupan yang sesuai dengan konteks lokal.
Umi menjelaskan dalam studi Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal (PGS-PL) di 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia, ditemukan banyak sumber pangan lokal yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Pemanfaatan dari pangan lokal ini berpotensi untuk meningkatkan kecukupan gizi dan mengatasi masalah stunting.
“PGS-PL disusun pada 37 kabupaten prioritas stunting di Indonesia dengan memperhatikan konteks lokal terkait pola konsumsi, masalah gizi spesifik lokal—utamanya zat besi, kalsium, seng, dan folat, akses dan ketersediaan makanan, dan harga makanan,” ujarnya dalam suatu virtual.
Singkong menjadi salah satu alternatif bahan baku industri pangan lokal pengganti tepung (Dok. Annie Spratt/Unsplash)
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menuturkan peran desa sangat krusial dalam masalah pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Menurutnya, dari desalah masalah ketahanan pangan terjadi dan dari desa pula lah terdapat solusi dari sumber keragaman.
“Sistem pangan komunitas desa perlu didukung dengan model pertanian berkelanjutan, model pemasaran/distribusi yang berkeadilan, pemenuhan hak atas pangan bagi setiap orang dan partisipasi pada pengambilan kebijakan,” terangnya.
Selain itu, diversifikasi pangan juga penting untuk memastikan ketersediaan serta pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kepala Pusat Ketersediaan & Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto menuturkan konsumsi beras sepanjang 2015-2020 telah mengalami penurunan. Namun, di sisi lain, terdapat peningkatan konsumsi terigu yang luar biasa.
Dia menjelaskan nilai impor gandum-terigu pada tahun 2020 mencapai Rp 35,78 triliun. “Ini menjadi peluang besar untuk mendorong alternatif bahan baku industri pangan lokal untuk substitusi tepung terigu sampai 20%, seperti dari talas, sagu, pisang, kentang, jagung, dan singkong,” tuturnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.