Sejumlah karya di pameran kolase kolektif Cutting Cyclus di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Kolase, Lebih dari Seni Menempel

30 January 2023   |   07:00 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Setidaknya 30 karya seni kolase terpajang rapi di salah satu ruangan Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta. Puluhan kolase yang tergabung dalam pameran kolektif Cutting Cyclus tersebut merupakan karya dari enam perupa yang tergabung dalam komunitas MilisiFilem.

Mereka adalah Adi Osman, Anisa Nabilla Khairo, Mardi Al Anhar, Panji Anggira, Syarifa Amira Satrioputri, dan Wahyu Budiman Dasta. Proyek pameran ini mencoba menyelami pengalaman teks melalui karya-karya sastra yang dianggap penting oleh para partisipan, diantaranya Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Franz Kafka, dan Yukio Mishima.

Lihat juga: Foto-Foto Pameran Kolase Milisfilem Collective

Karya-karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, dan sebagainya itu dibaca dan diinterpretasi ulang menjadi kepingan-kepingan ide dan ingatan visual yang dimiliki masing-masing partisipan melalui temuan-temuan dari materi cetakan.

Mereka merekonstruksi, medekonstruksi, dan menyusun kembali dalam komposisi dari kepingan yang terpecah-pecah itu, hingga pada akhirnya menemukan semacam permainan ide visualnya sendiri.

Seperti misalnya kolase karya Mardi Al Anhar yang berjudul Bunga Batu, yang terinspirasi dari kumpulan sajak karya Sitor Situmorang berjudul Bunga Di Atas Batu yang terbit pada 1989. Persoalan ruang, tempat, dan jarak yang kental dalam puisi-puisi Sitor Situmorang berusaha diterabas oleh kolase ini dengan mengimajinasikan ulang hal tersebut, dalam gabungan ruang bingkai dengan garis, bidang, dan warna.
 

G

Salah satu karya di pameran kolase kolektif Cutting Cyclus di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Wahyu Budiman Dasta, salah satu seniman yang berpartisipasi mengatakan keseluruhan karya yang dibuat dalam pameran tersebut berasal dari material cetak seperti buku dan majalah. Bahan tersebut dipilih lantaran selaras dengan karya sastra yang dijadikan acuan dalam pembuatan kolase.

Dalam proses pembuatannya, dia terlebih dulu membaca puisi-puisi Toeti Heraty dan Sitor Situmorang, untuk menghadirkan perspektif baru dari pembacaan tersebut. Dari situ, dia lantas membuat kolase dengan menghadirkan elemen-elemen dasarnya seperti konstruksi dan garis.

"Kalau kolase itu kan seperti permainan, selama ada ide kita tempel saja. Pemilihan warna juga bebas selama masuk dalam logika," katanya.

Kolase adalah Ide
Selama ini, seni kolase didefinisikan sebagai karya seni rupa yang dibuat dengan menempel potongan, pecahan, atau kepingan material yang dimanfaatkan sebagai bagian dari bentuk yang digambarkan.

Dalam sejarahnya, kolase menjadi bahasa estetika yang sangat identik dengan gerakan Dadaisme, aliran pemberontak dalam lintas artistik dan sastra yang bermula pada tahun 1920-an di Swiss. Gerakan ini menolak anggapan bahwa seni adalah sesuatu yang tinggi, mahal, serius, rumit, dan eksklusif.

Kelompok Dadaisme menolak kerangka berpikir tersebut lantaran seni semacam itu adalah milik kaum menengah ke atas yang dianggap memiliki estetika semu.
 

Beberapa karya di pameran kolase kolektif Cutting Cyclus di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Beberapa karya di pameran kolase kolektif Cutting Cyclus di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Namun, Wahyu mengatakan lebih dari sekadar seni menempel, kolase merupakan wujud suatu ide atau gagasan yang terbentuk dari kumpulan realitas sehari-hari. Menurutnya, teknik seperti menggunting, merobek, lalu menempel berbagai bahan hanya menjadi dasar dari pengetahuan seni kolase itu sendiri.

"Sebelum jadi kolase itu kan sudah ada bentuk, lalu digabungkan dengan bentuk-bentuk yang lain dan akhirnya membentuk sejarah dan wacana baru," imbuhnya.

Sayangnya, sebagai satu teknik membuat karya seni, kepopuleran seni kolase tidak terlalu diminati banyak orang jika dibandingkan misalnya dengan seni lukis atau sketsa. Menurut Wahyu, hal itu mungkin saja terjadi lantaran tak sedikit orang yang menganggap bahwa kolase bukan bagian dari spesialisasi seni.

Selain itu, tradisi kliping atau mengkolase sesuatu juga dinilai jarang dilakukan oleh kebanyakan orang di Indonesia. "Mungkin orang mikir kalau kolase itu mereka semua bisa dan enggak perlu belajar, beda dengan seni melukis," imbuhnya.

Pada kesempatan terpisah, kurator Hafiz Rancajale mengatakan sejak menjadi bahasa estetika yang sangat identik dengan gerakan Dada pada tahun 1920-an, seni kolase tidak mengalami banyak perubahan. Kolase hanya bergeser dari satu bentuk ke bentuk lain, atau dari satu temuan visual ke temuan visual lainnya yang dikonstruksi menjadi bentuk artistik.

Dia menjelaskan dalam perkembangannya, seni kolase banyak diadaptasi kelompok-kelompok perlawanan sebagai artikulasi anti kemapanan, dimana objek visual temuan dianggap sebagai bagian dari bentuk perlawanan terhadap dominasi seni dan visual di media.

Baca juga: Yuk Coba Prakarya Exquisite Corpse, Kolase Seni Surealis dari Potongan Gambar

Dengan menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan visual dan diubah menjadi bentuk baru, paparnya, seni kolase tidak saja melahirkan bermacam bentuk yang menabrak kemungkinan-kemungkinan visual, tapi juga berubah menjadi ide 'memotong' konsep-konsep yang mapan itu sendiri.

 "Kolase berupaya memperlihatkan bagaimana suatu gagasan memotong siklus pada historisitasnya sekaligus membawanya pada konteks hari ini dengan perspektif mutakhir," imbuh Hafiz.

(Ikuti terus laporan Hypeabis.id lewat Google News)

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Konten Lokal di Platform OTT Makin Diminati, Ini Genre yang Disukai Penonton!

BERIKUTNYA

Cek Daftar Lengkap Rosters MPL ID S11, Tak Ada Zeys di EVOS Legends

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: