Pertunjukan Virtual Jadi Kenormalan Baru Pagelaran Seni Tari
09 July 2021 |
10:45 WIB
Tidak bisa dipungkiri jika pandemi Covid-19 berhasil mendisrupsi berbagai elemen kehidupan masyarakat termasuk dunia kesenian. Hal itu membuat para seniman dan akademisi perlu merancang suatu norma baru demi keberlangsungan kehidupan berkesenian.
Penari sekaligus Staf Pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Martinus Miroto mengatakan bahwa saat ini proses pembelajaran dan kurikulum seni tari mengalami transformasi menjadi dalam bentuk tari virtual.
Menurutnya, tari virtual merupakan karya tari berbasis koreografi dan sinematografi yang ditangkap kamera, dimampatkan dengan komputer, ditransmisikan melalui jaringan internet, kemudian dibuka kembali dengan komputer dan diproyeksikan dalam layar.
Untuk merancang bentuk transformasi tersebut menjadi norma baru pada kesenian tari, Martinus mengacu pada teori tiga tahap perubahan menurut Kurt Lewin yaitu unfreezing (terjadi perubahan), changing (eksplorasi), dan freezing (pembakuan perubahan).
“Semenjak pandemi, dunia tari mengalami proses unfreezing atau perubahan yang tidak menentu karena kehilangan ruang ekspresinya,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk Seni dan Kehidupan Normal Baru yang diadakan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Kamis (8/7/2021).
Akan tetapi, dia mengatakan bahwa seni pertunjukan harus tetap berjalan dalam kondisi yang serba terbatas seperti ini. Hal itu dibuktikan dengan upaya para pelaku seni tari yang mulai mengakrabkan diri dengan perangkat digital seperti kamera sehingga menghasilkan seni tari virtual.
“Disrupsi Covid-19 berdampak pada mencairnya paradigma tari yang semula ditampilkan di atas panggung menjadi ke dalam ruang maya dengan medium tubuh simulasi,” imbuhnya.
Namun, Martinus juga tidak memungkiri bahwa seni tari virtual masih menjadi polemik di kalangan akademisi. Ada semacam pengaburan definisi apakah tari virtual merupakan genre tari atau genre film.
Sebab, dilihat dari prosesnya, tari video diproduksi oleh penari, namun dipandang dari sisi produknya berupa video atau film, sehingga tari virtual berada di antara seni tari dan film.
“Tetapi hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana kolaborasi koreografer dengan videografer bisa menciptakan kegairahan dunia seni tari di masa pandemi sehingga tetap terasa hidup kembali,” ungkapnya.
Ke depan, Martinus juga mengatakan bahwa seni tari akan turut bertransformasi lebih jauh di tengah arus revolusi industri 5.0. Salah satu realisasinya adalah dengan menghadirkan teknologi hologram (holografis) yang kian canggih dalam menampilkan medium simulasi yang mirip dengan bentuk nyata.
Editor: Fajar Sidik
Penari sekaligus Staf Pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Martinus Miroto mengatakan bahwa saat ini proses pembelajaran dan kurikulum seni tari mengalami transformasi menjadi dalam bentuk tari virtual.
Menurutnya, tari virtual merupakan karya tari berbasis koreografi dan sinematografi yang ditangkap kamera, dimampatkan dengan komputer, ditransmisikan melalui jaringan internet, kemudian dibuka kembali dengan komputer dan diproyeksikan dalam layar.
Untuk merancang bentuk transformasi tersebut menjadi norma baru pada kesenian tari, Martinus mengacu pada teori tiga tahap perubahan menurut Kurt Lewin yaitu unfreezing (terjadi perubahan), changing (eksplorasi), dan freezing (pembakuan perubahan).
“Semenjak pandemi, dunia tari mengalami proses unfreezing atau perubahan yang tidak menentu karena kehilangan ruang ekspresinya,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk Seni dan Kehidupan Normal Baru yang diadakan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Kamis (8/7/2021).
Akan tetapi, dia mengatakan bahwa seni pertunjukan harus tetap berjalan dalam kondisi yang serba terbatas seperti ini. Hal itu dibuktikan dengan upaya para pelaku seni tari yang mulai mengakrabkan diri dengan perangkat digital seperti kamera sehingga menghasilkan seni tari virtual.
“Disrupsi Covid-19 berdampak pada mencairnya paradigma tari yang semula ditampilkan di atas panggung menjadi ke dalam ruang maya dengan medium tubuh simulasi,” imbuhnya.
Namun, Martinus juga tidak memungkiri bahwa seni tari virtual masih menjadi polemik di kalangan akademisi. Ada semacam pengaburan definisi apakah tari virtual merupakan genre tari atau genre film.
Sebab, dilihat dari prosesnya, tari video diproduksi oleh penari, namun dipandang dari sisi produknya berupa video atau film, sehingga tari virtual berada di antara seni tari dan film.
“Tetapi hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana kolaborasi koreografer dengan videografer bisa menciptakan kegairahan dunia seni tari di masa pandemi sehingga tetap terasa hidup kembali,” ungkapnya.
Ke depan, Martinus juga mengatakan bahwa seni tari akan turut bertransformasi lebih jauh di tengah arus revolusi industri 5.0. Salah satu realisasinya adalah dengan menghadirkan teknologi hologram (holografis) yang kian canggih dalam menampilkan medium simulasi yang mirip dengan bentuk nyata.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.