Begini Analisis Psikolog & Sosiolog Soal Fenomena Ngemis Online di TikTok
17 January 2023 |
15:55 WIB
Media sosial TikTok sebagai wadah para kreator untuk terhubung dan saling menghibur antar pengguna kini banyak dimanfaatkan masyarakat. Para kreator konten biasanya membuat video-video lucu dengan mencampurkan lagu atau koreografi yang sedang viral. Tak ayal Tiktok menjadi kegemaran anak-anak muda.
Namun, belakangan marak para kreator membuat konten yang dinilai sudah keluar dari norma dan nilai ketimuran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang menyakiti diri sendiri atau mengeksploitasi orang lain, khususnya orang tua dan lansia. Hal itu semata untuk mendulang gift yang nantinya bisa ditukar dengan uang.
Baca juga: Membaca Fenomena Ngemis Online dari Sudut Pandang Sosial
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan mengemis merupakan kegiatan yang telah dilakukan manusia sejak zaman dulu. Selama beberapa abad pengemis bergerak secara fisik dari satu tempat ke tempat lain untuk meminta belas kasihan. Akan tetapi, kemajuan teknologi khususnya internet telah merevolusi itu semua.
"Saat ini, pengemis jalanan atau pengemis tradisional memang secara bertahap telah digantikan oleh bentuk pengemis lain yang disebut internet atau pengemis dunia maya atau pengemis elektronik," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.
Dari sudut pandang psikologis, Kasandra mengungkap perilaku mengemis di internet selain mengeksploitasi korban yang dijadikan sebagai objek, juga bertujuan untuk mendulang rasa empati dari penontonnya yang rata-rata merupakan usia produktif.
"Penelitian dari O’Brien pada tahun 2012 menunjukkan rasa empati orang pada usia produktif cenderung lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya. Di internet sendiri, konten orang tua dan binatang cenderung mengundang rasa empati lebih tinggi daripada konten lainnya," imbuhnya.
Maraknya fenomena ngemis online di TikTok, menurut psikolog klinis forensik itu, terjadi karena mengemis di dunia maya lebih nyaman bila dibandingkan secara tradisional. Terlebih, identitas pengemis juga tidak terekspos serta mendapatkan bantuan dari jauh dengan upaya yang minimal.
"Beberapa orang terutama kaum muda melakukan pengemisan online bukan karena kemauan tetapi karena tingkat frustasi yang mereka hadapi dalam hidup. Salah satu faktornya adalah akibat kurangnya lapangan kerja," papar Kasandra.
Menurut Sigit, para korban yang dijadikan sebagai pemeran dalam video viral tersebut diindikasikan tidak melek teknologi. Bahkan, mereka kemungkinan juga tidak sadar apa tujuan dibuatnya video itu, dan hanya dijanjikan imbalan setelah konten selesai dibuat.
"Untuk mencegah hal itu terulang lagi, maka harus ada yang mempidanakan, sebab akan jadi pelajaran buat yang lain. Sebenarnya boleh saja anak-anak muda itu berkreativitas, tapi terkait hal yang melanggar kemanusiaan ya harus dicegah," ungkap Dosen di Universitas swasta tertua di Jakarta Itu.
Dia menyebut pemicu utama dari maraknya tren ngemis online ini adalah untuk menarik keuntungan dengan cara menarik simpati kalangan kelas menengah yang masih minim literasi. Namun, cara-cara yang digunakan sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
"Korban yang melakukan ini malahan tidak melek teknologi, jadi ini cenderung dimanfaatkan oleh orang yang meraih keuntungan dengan cara eksploitatif seperti itu. Ini jelas berbeda dengan cara orang yang mengemis di jalanan secara langsung karena mereka sadar apa yang dilakukan," papar Sigit.
Baca juga: Luthfi Halimawan di Ruang Kreator Digital & Bisnis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Namun, belakangan marak para kreator membuat konten yang dinilai sudah keluar dari norma dan nilai ketimuran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang menyakiti diri sendiri atau mengeksploitasi orang lain, khususnya orang tua dan lansia. Hal itu semata untuk mendulang gift yang nantinya bisa ditukar dengan uang.
Baca juga: Membaca Fenomena Ngemis Online dari Sudut Pandang Sosial
Bahkan nenek-nenek pun dieksploitasi demi mengejar gift di tiktok.
— Zulfikar Akbar (@zoelfick) January 13, 2023
Pihak berwenang mau diemin yang ginian? pic.twitter.com/Ahdjxll9So
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan mengemis merupakan kegiatan yang telah dilakukan manusia sejak zaman dulu. Selama beberapa abad pengemis bergerak secara fisik dari satu tempat ke tempat lain untuk meminta belas kasihan. Akan tetapi, kemajuan teknologi khususnya internet telah merevolusi itu semua.
"Saat ini, pengemis jalanan atau pengemis tradisional memang secara bertahap telah digantikan oleh bentuk pengemis lain yang disebut internet atau pengemis dunia maya atau pengemis elektronik," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.
Dari sudut pandang psikologis, Kasandra mengungkap perilaku mengemis di internet selain mengeksploitasi korban yang dijadikan sebagai objek, juga bertujuan untuk mendulang rasa empati dari penontonnya yang rata-rata merupakan usia produktif.
"Penelitian dari O’Brien pada tahun 2012 menunjukkan rasa empati orang pada usia produktif cenderung lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya. Di internet sendiri, konten orang tua dan binatang cenderung mengundang rasa empati lebih tinggi daripada konten lainnya," imbuhnya.
Maraknya fenomena ngemis online di TikTok, menurut psikolog klinis forensik itu, terjadi karena mengemis di dunia maya lebih nyaman bila dibandingkan secara tradisional. Terlebih, identitas pengemis juga tidak terekspos serta mendapatkan bantuan dari jauh dengan upaya yang minimal.
"Beberapa orang terutama kaum muda melakukan pengemisan online bukan karena kemauan tetapi karena tingkat frustasi yang mereka hadapi dalam hidup. Salah satu faktornya adalah akibat kurangnya lapangan kerja," papar Kasandra.
Mencederai Norma Hukum dan Nilai Kemanusiaan
Setali tiga uang, Sosiolog Sigit Rochadi pun turut berkomentar mengenai fenomena ngemis online yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai kreator konten di TikTok. Dari berbagai video yang viral dia melihat apa yang mereka buat sudah masuk dalam bentuk eksploitasi terhadap korban.Menurut Sigit, para korban yang dijadikan sebagai pemeran dalam video viral tersebut diindikasikan tidak melek teknologi. Bahkan, mereka kemungkinan juga tidak sadar apa tujuan dibuatnya video itu, dan hanya dijanjikan imbalan setelah konten selesai dibuat.
"Untuk mencegah hal itu terulang lagi, maka harus ada yang mempidanakan, sebab akan jadi pelajaran buat yang lain. Sebenarnya boleh saja anak-anak muda itu berkreativitas, tapi terkait hal yang melanggar kemanusiaan ya harus dicegah," ungkap Dosen di Universitas swasta tertua di Jakarta Itu.
Dia menyebut pemicu utama dari maraknya tren ngemis online ini adalah untuk menarik keuntungan dengan cara menarik simpati kalangan kelas menengah yang masih minim literasi. Namun, cara-cara yang digunakan sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
"Korban yang melakukan ini malahan tidak melek teknologi, jadi ini cenderung dimanfaatkan oleh orang yang meraih keuntungan dengan cara eksploitatif seperti itu. Ini jelas berbeda dengan cara orang yang mengemis di jalanan secara langsung karena mereka sadar apa yang dilakukan," papar Sigit.
Baca juga: Luthfi Halimawan di Ruang Kreator Digital & Bisnis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.