Publik Masih Kurang Paham Risiko Soal Pinjol dan Investasi Bodong
15 December 2022 |
18:46 WIB
Literasi dan inklusi keuangan masih jadi tantangan di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang masih gagap dalam menghadapi tren teknologi finansial yang kian berkembang pesat. Hal ini kerap membuat masyarakat terjebak oleh iming-iming manis pinjaman online ilegal dan investasi bodong.
Founder QM Financial Ligwina Hananto mengatakan dua masalah tersebut belakangan menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Tanpa pengetahuan yang cukup, masyarakat Indonesia akhirnya yang menjadi korban dari ketidaktahuan soal literasi keuangan.
Ligwina mengatakan masalah pinjol ilegal dan investasi bodong sangat membutuhkan perhatian dari berbagai stakeholder terkait. Sebab, dampak yang ditimbulkan sangat menyengsarakan masyarakat.
“Iya, sangat urgent. Sangat membutuhkan perhatian agar masyarakat ini bisa lebih sadar risiko. Pertama, ialah soal gagal bayar pinjaman di pinjol dan kehilangan uang dalam jumlah besar di investasi bodong,” ujar Ligwina dalam diskusi Hari Sadar Risiko 2022 di Jakarta.
Ligwina mengatakan dua masalah ini menandakan kesadaran masyarakat terhadap risiko keuangannya masih belum terlalu baik. Sebab, sebelum mengambil keputusan keuangan yang sifatnya sangat pribadi, seharusnya didasarkan pada pengetahuan dan pemikiran yang matang.
Pinjol sebenarnya merupakan terobosan yang menarik. Pinjaman yang biasanya dilakukan secara offline, kini bisa lebih mudah dengan hanya sekali klik di gawai. Konsep ini termasuk ke dalam inklusi keuangan.
Namun, jika aplikasi pinjolnya tidak berizin, mereka langsung berubah jadi predator finansial yang mengerikan. Pinjol ilegal ini kemudian menyasar masyarakat yang rentan dan rendah literasi keuangannya sehingga mudah diiming-imingi hal-hal manis.
Untuk mengatasi hal tersebut, mau tidak mau masyarakat mesti bisa meningkatkan kepedulian dan pengetahuan mereka soal literasi keuangan. Namun, budaya literasi keuangan tidak bisa dibangun secara tiba-tiba. Di sisi lain, penetrasi pinjol ilegal kepada mangsa-mangsanya terus berjalan dengan cepat.
“Saya khawatirnya begini, kita sering dengar 2045 Indonesia mengalami bonus demografi. Saya khawatir bonus demografi tidak positif, tetapi malah kayak bom waktu yang bisa meledak. Gara-garanya tidak sadar risiko, termasuk soal keuangannya,” imbuhnya.
Ketua Umum Masyarakat Sadar Risiko (MASINDO) Dimas Syailendra Ranadireksa mengatakan pemahaman masyarakat soal risiko keuangan memang masih rendah. Meskipun demikian, mereka tetap berani mengambil keputusan keuangannya.
Padahal, sebagian mereka tidak mengukur seberapa besar peluang gagal bayar karena bunga tinggi. Dimas mengatakan sebagian dari mereka juga tidak mengetahui kejelasan aplikasi pinjol.
“Akan tetapi, karena hasrat diiming-imingi keuntungan, akhirnya mereka tidak mikir dahulu. Kasus seperti ini perlu jadi perhatian agar masyarakat tidak terjebak lagi ke dalam pinjol,” ujar Dimas kepada Hypeabis.id.
Menurut Dimas, perlu ada lebih banyak kampanye soal literasi keuangan, baik dilakukan secara offline maupun online. Kampanye dan edukasi ini juga harus berjalan secara berkelanjutan. Sebab, isu pinjol ilegal ini cukup pelik.
Selain bunga mereka yang mencekik, pinjol ilegal juga kerap memanfaatkan data pribadi tanpa persetujuan. Kerahasiaan data ini juga harus jadi konsen utama yang tak boleh dikesampingkan.
Dimas mengatakan saat ini dunia sedang berada di dalam volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (vuca). Fenomena vuca ini membuat perubahan terjadi secara cepat, tidak terduga, dan dipengaruhi oleh faktor yang sulit dikontrol.
“Hal itu membuat regulasi pemerintah tampak kalah cepat daripada inovasi-inovasi di banyak bidang, baik di keuangan, teknologi, dan sebagainya,” kata dia.
Meskipun demikian, Dimas mengapresiasi kinerja OJK yang selama ini terus menempel dan mengawasi pinjol ilegal meski terkadang masih kalah cepat. Namun, polemik seperti ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga dunia.
Editor: M R Purboyo
Founder QM Financial Ligwina Hananto mengatakan dua masalah tersebut belakangan menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Tanpa pengetahuan yang cukup, masyarakat Indonesia akhirnya yang menjadi korban dari ketidaktahuan soal literasi keuangan.
Ligwina mengatakan masalah pinjol ilegal dan investasi bodong sangat membutuhkan perhatian dari berbagai stakeholder terkait. Sebab, dampak yang ditimbulkan sangat menyengsarakan masyarakat.
“Iya, sangat urgent. Sangat membutuhkan perhatian agar masyarakat ini bisa lebih sadar risiko. Pertama, ialah soal gagal bayar pinjaman di pinjol dan kehilangan uang dalam jumlah besar di investasi bodong,” ujar Ligwina dalam diskusi Hari Sadar Risiko 2022 di Jakarta.
Ligwina mengatakan dua masalah ini menandakan kesadaran masyarakat terhadap risiko keuangannya masih belum terlalu baik. Sebab, sebelum mengambil keputusan keuangan yang sifatnya sangat pribadi, seharusnya didasarkan pada pengetahuan dan pemikiran yang matang.
Pinjol sebenarnya merupakan terobosan yang menarik. Pinjaman yang biasanya dilakukan secara offline, kini bisa lebih mudah dengan hanya sekali klik di gawai. Konsep ini termasuk ke dalam inklusi keuangan.
Namun, jika aplikasi pinjolnya tidak berizin, mereka langsung berubah jadi predator finansial yang mengerikan. Pinjol ilegal ini kemudian menyasar masyarakat yang rentan dan rendah literasi keuangannya sehingga mudah diiming-imingi hal-hal manis.
Untuk mengatasi hal tersebut, mau tidak mau masyarakat mesti bisa meningkatkan kepedulian dan pengetahuan mereka soal literasi keuangan. Namun, budaya literasi keuangan tidak bisa dibangun secara tiba-tiba. Di sisi lain, penetrasi pinjol ilegal kepada mangsa-mangsanya terus berjalan dengan cepat.
“Saya khawatirnya begini, kita sering dengar 2045 Indonesia mengalami bonus demografi. Saya khawatir bonus demografi tidak positif, tetapi malah kayak bom waktu yang bisa meledak. Gara-garanya tidak sadar risiko, termasuk soal keuangannya,” imbuhnya.
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol/Dok. Freepik diolah
Ketua Umum Masyarakat Sadar Risiko (MASINDO) Dimas Syailendra Ranadireksa mengatakan pemahaman masyarakat soal risiko keuangan memang masih rendah. Meskipun demikian, mereka tetap berani mengambil keputusan keuangannya.
Padahal, sebagian mereka tidak mengukur seberapa besar peluang gagal bayar karena bunga tinggi. Dimas mengatakan sebagian dari mereka juga tidak mengetahui kejelasan aplikasi pinjol.
“Akan tetapi, karena hasrat diiming-imingi keuntungan, akhirnya mereka tidak mikir dahulu. Kasus seperti ini perlu jadi perhatian agar masyarakat tidak terjebak lagi ke dalam pinjol,” ujar Dimas kepada Hypeabis.id.
Menurut Dimas, perlu ada lebih banyak kampanye soal literasi keuangan, baik dilakukan secara offline maupun online. Kampanye dan edukasi ini juga harus berjalan secara berkelanjutan. Sebab, isu pinjol ilegal ini cukup pelik.
Selain bunga mereka yang mencekik, pinjol ilegal juga kerap memanfaatkan data pribadi tanpa persetujuan. Kerahasiaan data ini juga harus jadi konsen utama yang tak boleh dikesampingkan.
Dimas mengatakan saat ini dunia sedang berada di dalam volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (vuca). Fenomena vuca ini membuat perubahan terjadi secara cepat, tidak terduga, dan dipengaruhi oleh faktor yang sulit dikontrol.
“Hal itu membuat regulasi pemerintah tampak kalah cepat daripada inovasi-inovasi di banyak bidang, baik di keuangan, teknologi, dan sebagainya,” kata dia.
Meskipun demikian, Dimas mengapresiasi kinerja OJK yang selama ini terus menempel dan mengawasi pinjol ilegal meski terkadang masih kalah cepat. Namun, polemik seperti ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga dunia.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.