Ilustrasi (dok. Freepik)

Kenali Macam-macam Dampak Kehamilan Tak Diinginkan

28 June 2021   |   21:27 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Kehamilan harus didukung dengan kondisi ibu yang telah siap fisik, mental, dan sosial. Hamil sehat bagi ibu menjamin risiko rendah kematian dan kesakitan. Dengan demikian, anak pun dapat tubuh dan berkembang optimal.

“Lahir anak sehat lebih tahan ancaman gangguan termasuk masalah penyakit dan gizi,” ujar Koordinator Knowledge Hub Kesehatan Reproduksi Indonesia (KHKRI) Profesor Budi Utomo.

Budi berpendapat kehamilan sehat bisa didukung dengan program KB. Program ini merupakan bagian dari program kesehatan reproduksi dengan semangat membangun kesehatan bangsa sejak awal kehidupan dan reproduksi sehat.

Budi menerangkan awal kehidupan yakni setelah bayi dilahirkan sampai 23 bulan. Pada masa itu, bayi akan mengalami tumbuh kembang sekaligus rawan gangguan kesehatan.

Nah, gangguan kronis gagal tumbuh kembang dengan gejala stunting yang berdampak negatif jangka panjang, menetap, sampai usia dewasa bahkan lintas generasi, bisa saja terjadi khususnya pada kehamilan yang tidak siap atau berisiko.

“Ini berdampak pada pertumbuhan fisik, psikomotorik, kecerdasan, sosial. Kehamilan berisiko mengancam awal hidup dengan konsekuensi gangguan selama kehidupan,” tegasnya.

Kehamilan berisiko atau kehamilan tidak diinginkan biasanya terjadi pada ibu terlalu tua, terlalu muda, jarak kehamilan terlalu dekat, dan anak terlalu banyak. Oleh karena itu, menurutnya pencegahan kehamilan berisiko perlu mendapat prioritas. Salah satunya dengan program Keluarga Berencana (KB).

Konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi dr. Julianto Witjaksono mengatakan, kehamilan tidak diinginkan dapat menimbulkan beragam masalah kesehatan. Diantaranya ancaman abortus atau keguguran, komplikasi darah tinggi saat kehamilan dan melahirkan, pendarahan saat hamil, hingga kematian ibu.

Pada bayi, kehamilan yang tidak diinginkan menyebabkan pertumbuhan janin terhambat dengan risiko stunting, prematur, dan kelainan. Kemudian kematian saat kehamilan, saat kelahiran, atau masa 5 tahun ke belakang juga meningkat.

Sementara itu, Julianto menyebut kehamilan remaja yakni usia di bawah 20 tahun menjadi penyumbang terbesar kehamilan yang tidak diinginkan dan peningkatan angka kematian.

Dia menuturkan remaja terbilang belum siap melahirkan karena kondisi panggul yang kecil hingga mental emosional yang belum siap.

“Berdasarkan kelompok umur perempuan di bawah 20 tahun menimbulkan kontribusi kematian tinggi. Yang paling rendah kematian itu usia 18-25 tahun.

Terlalu muda menimbulkan rosiko, paling tua menimbulkan risiko. Paling aman 18-25 tahun,” jelasnya.

Remaja yang hamil juga berisiko mengalami depresi pasca persalinan, pendarahan, peningkatan komplikasi seperti darah tinggi, kerusakan jalan lahir, berisiko bayi lahir prematur, hingga kejadian keguguran dan kematian janin.

Untuk itu, dia mengimbau sebaiknya para pasangan merencanakan kehamilan dengan tepat atau mengikuti program KB untuk menurunkan prevalensi kematian ibu dan bayi.

Julianto menuturkan tingginya angka kehamilan remaja dan angka kematian ibu memberi dampak pada program parenting dalam penanggulangan stunting di Indonesia.

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Konsumsi Obat Pereda Rasa Sakit sebelum Terima Vaksin, Bolehkah?

BERIKUTNYA

BTS Tampil dengan Latar Warna Oranye dalam Foto Teaser Konsep Album CD Butter

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: