Cintaku UntukMu Indonesia (2020, keramik bakaran tinggi, warna slip dan pigmen) karya Evy Yonathan dalam pameran Founding/Finding Text di Museum Seni Rupa & Keramik Jakarta (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Mencari Makna Kebebasan dalam Pameran Founding/Finding Text

06 October 2022   |   15:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Lukisan maestro Hendra Gunawan bertajuk Pengantin Revolusi terpampang megah di ruang pamer Museum Seni Rupa & Keramik Jakarta. Lukisan yang dibuat pada 1955 berdimensi 294x223 cm itu merupakan bagian dari koleksi yang ditampilkan dalam Pameran Founding/Finding Text yang digelar hingga 16 Oktober 2022.

Di sisi kanan dan kirinya, terpajang pula sebanyak 6 lukisan sketsa karya seniman Henk Ngantung berjudul Sutan Syahrir (1946) dengan dimensi 28x41 cm. Dua karya lukisan itu belum lama ini juga telah ditampilkan dalam pameran Revolusi! Indonesia Merdeka di Rijks Museum (Museum Nasional Belanda).

Dalam konteks itu, pameran ini menghadirkan koleksi Founding Text, yaitu karya-karya dari seniman yang dikenal berpengaruh dan menjadi bagian penting dalam mengorkestrasi sejarah seni rupa modern Indonesia.

Namun, di sisi lain, dihadirkan pula karya-karya dari perupa masa kini dari berbagai kecenderungan medium dan gagasan sebagai sebuah proses dalam mencari dan menemukan teks-teks dalam kehidupan hari ini (finding text).
 

Pengantin Revolusi (1968,

Pengantin Revolusi (1955, dimensi 294x223 cm, cat minyak di atas kanvas) karya Hendra Gunawan (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Kurator, Sudjud Dartanto, mengatakan pameran Founding/Finding Text dihadirkan berawal dari keinginan untuk mendialogkan karya-karya seni pada masa pascarevolusi yang merupakan koleksi dari Museum Seni Rupa & Keramik, serta karya-karya dari 7 perupa saat ini yang diwakilkan dengan seni kontemporer dan seni media.

Pameran ini dapat dipahami sebagai arena pertukaran simbolik yang terjadi di ruang pamer, sebagai teks yang lahir dari konteks revolusi dan beberapa dekade sesudahnya dengan karya masa kini yang lahir dari periode pascarevolusi.

Dalam konteks itu, perupa dilihat sebagai agen aktif dalam sebuah struktur sosial yang dalam konteks Hendra Gunawan dan Henk Ngantung lahir dari arena konflik ideologis yang tajam dengan berbagai cara dan manifestasinya.

"Kita tahu gerak kapitalisme menjadi nilai dominan hingga hari ini, tidak hanya di Indonesia tetapi menjadi fenomena global. Secara samar konflik itu tetap ada dan seni sebagai sebuah produk sosial, lahir dengan keragaman pengalaman partikulritasnya," kata Sudjud kepada Hypeabis.id, belum lama ini.

Dia mengamati bahwa spirit untuk menampilkan karya-karya dengan tema revolusi ataupun kerakyatan pada masa revolusi tercermin pula pada semangat kebebasan pada karya-karya perupa hari ini.

"Kami sengaja memperlihatkan kesadaran itu yang termanifestasi melalui objek-objek seni baik kontemporer, seni media, ataupun karya klasik," katanya.

Ketujuh perupa yang menampilkan koleksinya dalam pameran Founding/Finding Text yakni Antin Sambodo (media keramik), Evy Yonathan (media keramik), Gelar Soemantri (media digital), Dwi Tunggal, Nawa Tunggal x Dwi Putro (media kanvas), Lenny Ratnasari (media patung dan digital), Radetyo 'Itok' Sindhu Utomo (media objek), dan Yudi Sulistyo x Arif 'Bachoxs' Witjaksono (media objek dan digital).
 
 
Bicara soal proses kurasi, Sudjud mengatakan karya-karya tersebut dipilih berdasarkan keragaman posisi seniman dalam struktur sosial, termasuk posisi mereka dalam kesadaran budaya. "Misalnya karya dari Gelar Soemantri yang banyak bekerja dalam ranah teknologi, sadar [budaya] dia berbeda dengan seniman yang sehari-harinya beririsan dengan industri," ujarnya.

Beberapa karya yang ditampilkan diantaranya Semangkuk Kemerdekaan (2022) karya seniman Antin Sambodo yang menampilkan konstruksi objek keramik dan mengeksplorasi makna kemerdekaan dari keseharian aktivitasnya yang hidup dalam persilangan seni.

Ada juga duo seniman Dwi Tunggal (Dwi Putro dan Nawa Tunggal) yang menampilkan karya kolaborasi yang menyuguhkan konstruksi trapesium unik atas tiga lukisan wayang dengan corak skizofrenik (teks tulis yang melompat-lompat) sebagai tafsir atas filosofi Serat Jayabaya.

Seniman keramik Evy Yonathan juga menampilkan karyanya berjudul Cintaku UntukMu Indonesia (2020). Keramik yang terbuat dari tanah liat bakaran tinggi dengan warna slip dan pigmen itu berbentuk patung-patung beragam figur manusia, dengan gedung-gedung berbagai bentuk di belakangnya.

Evy mengatakan karyanya kali ini merupakan hasil dari kegelisahannya yang dilatarbelakangi pertanyaannya tentang makna kemerdekaan Indonesia yang telah 77 tahun berjalan. Sebuah pertanyaan yang kiranya masih relevan ketika berbagai hubungan eksploitasi masih terjadi di berbagai struktur dan proses produksi kapitalistik.

Menurutnya, di balik Indonesia sebagai bangsa yang besar, masih terdapat berbagai permasalahan, ketimpangan, hingga politik identitas yang terjadi sampai hari ini. Namun, kecenderungan masyarakat, katanya, tidak bisa berbuat apapun lantaran kondisi kehidupan yang serba menekan dalam sistem kapitalistik ini.

"Inspirasinya dari kejadian-kejadian konyol yang sehari-hari kita lihat di media. Saya merasa kita sebagai masyarakat biasa enggak bisa apa-apa, mau bersuara juga kan sulit. Akhirnya saya sering menuangkannya dalam karya," katanya.

Kegelisahan itu lantas mewujud pada figur-figur manusia yang menggunakan seragam abu-abu yang melambangkan kesuraman. Namun, sejatinya mereka memiliki keberanian untuk bersuara dan menginginkan kebebasan yang disimbolkan dengan dasi berwarna merah.

Di tengah ruang yang serba menghimpit, melalui karyanya ini Evy ingin menyampaikan bahwa setiap orang sejatinya memiliki kemerdekaan dalam berpikir, berkarya, serta bersuara. 



Editor: Indyah Sutriningrum
 

SEBELUMNYA

Kolaborasi Antar Brand Jadi Kunci Keberlangsungan Bisnis Jangka Panjang

BERIKUTNYA

Penghentian Siaran Analog di Jabodetabek 2 November. Ini Persiapannya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: