Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19, Caranya Bagaimana?
23 June 2021 |
12:24 WIB
Pandemi Covid-19 secara nyata menjadi momentum kian tingginya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan jiwa dan mental sebagai pilar untuk menjaga kesehatan tubuh. Masa isolasi yang banyak menyebabkan stres, depresi, hingga trauma, menjadi penyebab dan memberi efek domino pada kesehatan organ tubuh lain.
Sebagai contoh, hanya karena stres pola makan seseorang menjadi berantakan, asupan gizi tak seimbang dan menyebabkan kegemukan. Belum lagi depresi atau stres membuat seseorang menjadi kurang perhatian dalam mengurus diri sendiri.
Dari sejumlah pengalaman dan hubungan sebab-akibat tersebut, apa langkah paling tepat mengisi tahun 2021 dengan resolusi kesehatan jiwa? Menurut Psikolog Theresia Ceti Prameswari, kualitas hidup yang kita inginkan di masa depan, yang sangat bergantung pada sikap positif atau bahagia, adalah cerminan dari suasana hati seseorang.
Suasana hati yang mengalami stres, depresi, atau trauma, berdampak ke perilaku dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, Theresia menyebutkan masalah stres paling umum selama pandemi 2020 adalah dalam konteks membagi pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga.
Bagi orang yang sudah bekerja, sikap yang positif akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil dan juga produktivitas saat bekerja.
“Kondisi sebaliknya terjadi bagi orang yang masih mencari kerja akibat terkena PHK, saat sikap kurang positif, proses melamar kerja pun bisa terdampak dan menjadi kurang maksimal.”
Tak hanya masalah berkaitan dengan penghasilan, ada juga banyak faktor lain yang membuat seseorang tak bahagia dan menjadi stres. Misalnya, kesulitan dalam mendidik anak belajar dari rumah, beban ganda selama di rumah, hingga kekosongan harapan pada usainya kondisi pandemi ini.
Menurut dr. Heriani Tobing, SpKJ(K) dari Departemen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI, merasa bahagia adalah indikator dari hidup yang berkualitas. Adapun hidup berkualitas sesuai definisi WHO secara umum adalah meliputi beberapa aspek yakni; sehat fisik, sehat sosial, dan sehat mental.
Lantas bagaimana sehat mental? Caranya, bisa menjaga diri sendir, antara lain dengan mau merawat diri, merawat gigi, merawat kulit, dan merawat berat tubuh. Sayangnya, meski semua kriteria itu terpenuhi, dr. Heriani mengakui masih ada pasien yang mengeluhkan kondisi yang sepenuhnya tidak baik-baik saja.
Misalnya, ada seorang pasien yang tidak pernah puas dengan hasil operasi plastik yang dia lakukan. Setelah dilakukan wawancara secara mendalam, barulah ditemukan alasan pasien melakukan operasi plastik adalah untuk memikat dan mengikat pasangan.
Akar permasalahan dari ketidakbahagiaan yang dialami itu karena si pasien sulit mempertahankan hubungan dengan pasangan. Apapun upaya yang dia lakukan untuk mempercantik diri, kerap kali pasangannya berselingkuh dan membuat hubungan yang dibangun kandas.
Menurut teori kognitif-perilaku, seseorang menafsirkan suatu kejadian serta bereaksi terhadap sesuatu berdasarkan caranya memaknai hal tersebut. Artinya, peristiwa punya makna bagi setiap orang.
Contohnya, dalam kasus pandemi Covid-19, suasana krisis ini dimaknai sebagai kesialan bagi banyak orang. Padahal ada juga manfaat yang bisa dilihat dari masa krisis ini jika memakai cara berpikir yang lebih fleksibel. Terbukti, banyak orang mendapatkan bisnis baru, padahal sebelumnya kerja dengan orang.
“Artinya, kalau cara memandang masalah tidak rasional akan mengganggu dan menyebabkan masalah emosi serta perilaku,” tuturnya.
Bagaimana cara mengubah emosi dengan baik? Mau tak mau yang bisa diubah adalah persepsi kita. Lalu bagaimana cara mengubah respons perilaku kita? Caranya dengan memahami penyebab dari emosi dan perasaan kita. Oleh sebab itu menjadi penting menurut dr. Heriani agar seseorang selalu membubuhkan tanya ‘mengapa’ atas respon-respon yang dialaminya.
Dia menambahkan, beberapa pikiran yang tidak rasional yang memicu persepsi dan emosi memiliki ciri yang bisa dikenali. Beberapa contoh pikiran yang tidak rasional, pertama, menggunakan kata-kata absolut seperti: seharusnya, pasti, tidak akan, selalu, tidak pernah, atau saya pasti berhasil. Kedua, memberi label contohnya: saya buruk, tidak akan ada yang menyukai saya.
Ketiga, unconditional, misalnya, saya tidak bisa kalau saya tidak bisa. Keempat, melebih-lebihkan dampak. Kelima, memukul rata atau overgeneralized.
“Melatih pikiran rasional itu bukan menihilkan perasaan, tetapi menjadikan perasaan yang tidak nyaman itu lebih dirasakan tidak parah sampai mengganggu fisik,” tuturnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Sebagai contoh, hanya karena stres pola makan seseorang menjadi berantakan, asupan gizi tak seimbang dan menyebabkan kegemukan. Belum lagi depresi atau stres membuat seseorang menjadi kurang perhatian dalam mengurus diri sendiri.
Dari sejumlah pengalaman dan hubungan sebab-akibat tersebut, apa langkah paling tepat mengisi tahun 2021 dengan resolusi kesehatan jiwa? Menurut Psikolog Theresia Ceti Prameswari, kualitas hidup yang kita inginkan di masa depan, yang sangat bergantung pada sikap positif atau bahagia, adalah cerminan dari suasana hati seseorang.
Suasana hati yang mengalami stres, depresi, atau trauma, berdampak ke perilaku dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, Theresia menyebutkan masalah stres paling umum selama pandemi 2020 adalah dalam konteks membagi pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga.
Bagi orang yang sudah bekerja, sikap yang positif akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil dan juga produktivitas saat bekerja.
“Kondisi sebaliknya terjadi bagi orang yang masih mencari kerja akibat terkena PHK, saat sikap kurang positif, proses melamar kerja pun bisa terdampak dan menjadi kurang maksimal.”
Tak hanya masalah berkaitan dengan penghasilan, ada juga banyak faktor lain yang membuat seseorang tak bahagia dan menjadi stres. Misalnya, kesulitan dalam mendidik anak belajar dari rumah, beban ganda selama di rumah, hingga kekosongan harapan pada usainya kondisi pandemi ini.
Menurut dr. Heriani Tobing, SpKJ(K) dari Departemen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI, merasa bahagia adalah indikator dari hidup yang berkualitas. Adapun hidup berkualitas sesuai definisi WHO secara umum adalah meliputi beberapa aspek yakni; sehat fisik, sehat sosial, dan sehat mental.
Lantas bagaimana sehat mental? Caranya, bisa menjaga diri sendir, antara lain dengan mau merawat diri, merawat gigi, merawat kulit, dan merawat berat tubuh. Sayangnya, meski semua kriteria itu terpenuhi, dr. Heriani mengakui masih ada pasien yang mengeluhkan kondisi yang sepenuhnya tidak baik-baik saja.
Misalnya, ada seorang pasien yang tidak pernah puas dengan hasil operasi plastik yang dia lakukan. Setelah dilakukan wawancara secara mendalam, barulah ditemukan alasan pasien melakukan operasi plastik adalah untuk memikat dan mengikat pasangan.
Akar permasalahan dari ketidakbahagiaan yang dialami itu karena si pasien sulit mempertahankan hubungan dengan pasangan. Apapun upaya yang dia lakukan untuk mempercantik diri, kerap kali pasangannya berselingkuh dan membuat hubungan yang dibangun kandas.
Menurut teori kognitif-perilaku, seseorang menafsirkan suatu kejadian serta bereaksi terhadap sesuatu berdasarkan caranya memaknai hal tersebut. Artinya, peristiwa punya makna bagi setiap orang.
Contohnya, dalam kasus pandemi Covid-19, suasana krisis ini dimaknai sebagai kesialan bagi banyak orang. Padahal ada juga manfaat yang bisa dilihat dari masa krisis ini jika memakai cara berpikir yang lebih fleksibel. Terbukti, banyak orang mendapatkan bisnis baru, padahal sebelumnya kerja dengan orang.
“Artinya, kalau cara memandang masalah tidak rasional akan mengganggu dan menyebabkan masalah emosi serta perilaku,” tuturnya.
Bagaimana cara mengubah emosi dengan baik? Mau tak mau yang bisa diubah adalah persepsi kita. Lalu bagaimana cara mengubah respons perilaku kita? Caranya dengan memahami penyebab dari emosi dan perasaan kita. Oleh sebab itu menjadi penting menurut dr. Heriani agar seseorang selalu membubuhkan tanya ‘mengapa’ atas respon-respon yang dialaminya.
Dia menambahkan, beberapa pikiran yang tidak rasional yang memicu persepsi dan emosi memiliki ciri yang bisa dikenali. Beberapa contoh pikiran yang tidak rasional, pertama, menggunakan kata-kata absolut seperti: seharusnya, pasti, tidak akan, selalu, tidak pernah, atau saya pasti berhasil. Kedua, memberi label contohnya: saya buruk, tidak akan ada yang menyukai saya.
Ketiga, unconditional, misalnya, saya tidak bisa kalau saya tidak bisa. Keempat, melebih-lebihkan dampak. Kelima, memukul rata atau overgeneralized.
“Melatih pikiran rasional itu bukan menihilkan perasaan, tetapi menjadikan perasaan yang tidak nyaman itu lebih dirasakan tidak parah sampai mengganggu fisik,” tuturnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.