Terdapat Kandungan Zat Kimia, Alasan Kenapa Kalian Enggak Boleh Lagi Minum Air Hujan
22 August 2022 |
14:00 WIB
Kerap dianggap sepele, meminum air hujan diperkirakan bisa berujung fatal. Hal ini karena kandungan berbahaya yang ada didalamnya. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan kemungkinan meminum air hujan lebih berisiko daripada yang pernah terpikiran sebelumnya.
Air hujan memiliki kandungan yang berbeda dengan air yang diproses untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup. Zat mikroskopik terkandung di dalam air hujan yang belum tersaring sehingga tidak disarankan untuk dikonsumsi.
Melalui penelitian yang dilakukan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), air hujan diungkap mengandung bakteri, virus, parasit, debu, dan partikel asap. Para peneliti CDC menyebutkan, kandungan tersebut belum ditambah dengan zat tak terduga lainnya apabila manusia mengambil air hujan yang jatuh dari atas genting.
Dengan berbagai alasan buruk mengenai konsumsi air hujan, CDC menyarankan sebaiknya penggunaan air hujan hanya untuk menyirami tanaman.
Baca juga: Enggak Cuma di Indonesia, 3 Negara Ini Juga Punya Ritual Penangkal Hujan
Meski dapat mengundang bakteri penyebab openyakit, tingkat kontaminasi air hujan yang dikonsumsi bergantung pada seberapa banyak air hujan yang diminum.
Studi lain dari Environmental Science&Technology yang dirilis pada Agustus 2022 menemukan hasil penelitian jika saat ini air hujan di seluruh dunia mengandung PFAS (per- and polyfluorinated alkyl substances) yang beracun.
Dilansir dari Live Science, PFAS mengandung 1.400 zat kimia buatan manusia yang juga digunakan dalam pembuatan tekstil, wadah makanan, senar gitar dan lainnya. PFAS tidak mudah rusak dan tetap ada di lingkungan meski telah lama diproduksi.
Saking mengerikannya, ilmuwan memberi julukan forever chemicals yang berarti bahan kimia ini akan terus ada di bumi.
Garis besar penelitian tersebut menyebutkan jika di pada masa ini, air hujan tidak aman untuk diminum.
Selain pada orang dewasa, minum air hujan juga dapat menganggu efektivitas vaksin pada anak-anak.
Penelitian telah mengumpukan sampel air hujan di seluruh dunia dan berkesimpulan jika PFAS terkandung dalam air hujan dengan jumlah yang sangat banyak, bahkan meleibihi konsentrasi dalam pedoman keselamatan yang ditetapkan EPA (Enviromental Protection Agency).
Temuan turut memperlihatkan tingkat PFAS dalam air hujan di berbagai belahan dunia ternyata 10 kali lebih tinggi dibanding standar keamanan yang ditetapkan EPA.
Dampak PFAS yang terkandung pada air hujjan diperkirakan lebih besar diterima oleh negara-negara berkembang yang masih cenderung menggunakan air hujan untuk dikonsumsi.
Sayangnya, peneliti belum dapat menjamin jika air hujan yang diolah dengan benar pun tidak mengandung PFAS. "Kita telah terpapar pada tingkat yang lebih tinggi selama 20 hingga 30 tahun terakhir," kata Ian Cousins, Ahli Kimia Lingkungan dari Universitas Stockholm di Swedia.
Baca juga: Menyetir saat Hujan? Ini Tips agar Perjalanan Aman & Nyaman
Mengenai PFAS yang terus berada di bumi, Cousins menambahkan jika tingkat PFAS mungkin saja menurun dan jatuh ke dasar lautan, namun memerlukan waktu hingga beberapa dekade.
Editor: Dika Irawan
Air hujan memiliki kandungan yang berbeda dengan air yang diproses untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup. Zat mikroskopik terkandung di dalam air hujan yang belum tersaring sehingga tidak disarankan untuk dikonsumsi.
Melalui penelitian yang dilakukan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), air hujan diungkap mengandung bakteri, virus, parasit, debu, dan partikel asap. Para peneliti CDC menyebutkan, kandungan tersebut belum ditambah dengan zat tak terduga lainnya apabila manusia mengambil air hujan yang jatuh dari atas genting.
Dengan berbagai alasan buruk mengenai konsumsi air hujan, CDC menyarankan sebaiknya penggunaan air hujan hanya untuk menyirami tanaman.
Baca juga: Enggak Cuma di Indonesia, 3 Negara Ini Juga Punya Ritual Penangkal Hujan
Meski dapat mengundang bakteri penyebab openyakit, tingkat kontaminasi air hujan yang dikonsumsi bergantung pada seberapa banyak air hujan yang diminum.
Studi lain dari Environmental Science&Technology yang dirilis pada Agustus 2022 menemukan hasil penelitian jika saat ini air hujan di seluruh dunia mengandung PFAS (per- and polyfluorinated alkyl substances) yang beracun.
Dilansir dari Live Science, PFAS mengandung 1.400 zat kimia buatan manusia yang juga digunakan dalam pembuatan tekstil, wadah makanan, senar gitar dan lainnya. PFAS tidak mudah rusak dan tetap ada di lingkungan meski telah lama diproduksi.
Saking mengerikannya, ilmuwan memberi julukan forever chemicals yang berarti bahan kimia ini akan terus ada di bumi.
Garis besar penelitian tersebut menyebutkan jika di pada masa ini, air hujan tidak aman untuk diminum.
Picu Penyakit
Didukung penelitan sebelumnya mengenai air hujan, kandungan kimia yang sangat beracun tersebut bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker, komplikasi pada ibu hamil, penurunan imunitas, hingga penyakit hati dan tiroid.Selain pada orang dewasa, minum air hujan juga dapat menganggu efektivitas vaksin pada anak-anak.
Penelitian telah mengumpukan sampel air hujan di seluruh dunia dan berkesimpulan jika PFAS terkandung dalam air hujan dengan jumlah yang sangat banyak, bahkan meleibihi konsentrasi dalam pedoman keselamatan yang ditetapkan EPA (Enviromental Protection Agency).
Temuan turut memperlihatkan tingkat PFAS dalam air hujan di berbagai belahan dunia ternyata 10 kali lebih tinggi dibanding standar keamanan yang ditetapkan EPA.
Dampak PFAS yang terkandung pada air hujjan diperkirakan lebih besar diterima oleh negara-negara berkembang yang masih cenderung menggunakan air hujan untuk dikonsumsi.
Sayangnya, peneliti belum dapat menjamin jika air hujan yang diolah dengan benar pun tidak mengandung PFAS. "Kita telah terpapar pada tingkat yang lebih tinggi selama 20 hingga 30 tahun terakhir," kata Ian Cousins, Ahli Kimia Lingkungan dari Universitas Stockholm di Swedia.
Baca juga: Menyetir saat Hujan? Ini Tips agar Perjalanan Aman & Nyaman
Mengenai PFAS yang terus berada di bumi, Cousins menambahkan jika tingkat PFAS mungkin saja menurun dan jatuh ke dasar lautan, namun memerlukan waktu hingga beberapa dekade.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.