Ilustrasi remaja (Sumber gambar: Unsplash/Aedrian)

Cara Mencegah Anak Agar Tidak Terjerat Radikalisme

04 July 2022   |   14:39 WIB

Di mata keluarganya, Riki (bukan nama sebenarnya) adalah sosok yang cukup penurut dan tidak pernah membuat masalah. Pemuda 19 tahun itu juga dikenal cukup aktif dalam pergaulan serta memiliki banyak teman.  Suatu ketika, pada pertengahan 2012, lelaki yang tinggal di daerah Ngagel, Surabaya itu tiba-tiba saja menghilang.

Dia tidak pulang ke rumah.  Tidak pamit. Tidak pula memberi kabar. Teman-teman sepermainannya pun tidak mengetahui keberadaannya. Keluarganya panik. Segala pikiran negatif berkecamuk. Sederet pertanyaan ‘bagaimana jika’ terus menghantui mereka.  ‘Bagaimana jika dia diculik?’, ‘Bagaimana jika dia dibunuh?’, ‘Bagaimana jika dia terjerat narkoba dan ditangkap polisi?’.

Sempat tebersit niat dari kakak sulungnya untuk melaporkan hilangnya si adik ke pihak berwajib. Namun, seolah menyangkal keadaan dan yakin putranya akan segera pulang, ibunya menolak ide tersebut. 

Riki ‘lenyap’ selama lebih dari lima pekan lamanya. Sama seperti kepergiannya yang tanpa berpamitan, tiba-tiba saja dia kembali pulang tanpa pemberitahuan. Suatu sore, mendadak dia kembali ke rumah, masuk ke kamar, dan menutup pintu. Dia tidak menegur keluarganya, dan berlagak biasa saja seolah tidak ada kejadian apapun. 

Baca juga: 5 Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia

Namun, saat sang kakak menanyakan dari mana saja dia selama beberapa pekan, Riki membentak, “Bukan urusanmu!” Sontak keluarganya terkejut. Riki yang biasanya penurut, tiba-tiba saja berubah menjadi berperangai kasar. 

Dia juga jadi sulit sekali didekati dan diajak bicara baikbaik. Kecurigaan keluarga bertambah ketika mendapati Riki semakin gemar membaca buku-buku religi. 

Tak jarang, Riki menceramahi keluarganya dengan ide-ide mengerikan untuk membentuk masyarakat dan struktur sosial yang adil. Bahkan, pernah sekali dia memarahi kakak dan ibunya karena dinilainya salah dalam menjalankan agama. Segala perilaku itu membuat keluarga Riki termangu-mangu. 

Apa yang terjadi padanya selama dia pergi? Siapa orang yang ditemuinya? Dari mana dia mendapatkan pemikiran-pemikiran itu? Namun, setiap kali ditanyakan, dia hanya menjawab, 
“Mama tobat sajalah!” Perasaan orang tua Riki campur aduk. 

“Padahal selama ini kami telah mendidiknya dengan baik dan memberikan dukungan serta kehangatan keluarga yang dia butuhkan. Namun, kenapa dia bisa seperti ini? Saya merasa gagal menjadi orang tua,” tangis ibunya.


Momok bagi orang tua

Bisa jadi peristiwa yang menimpa Riki terjadi pada keluarga Anda atau orang yang Anda kenal. Pasalnya, saat ini radikalisme ibarat momok yang mulai menghantui masyarakat Indonesia. Apalagi, karena penetrasinya yang banyak dilakukan melalui generasi muda. 

Meninjau fenomena itu, Psikolog Anak dan Keluarga Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) Mira D. Amir mengatakan, paham radikalisme paling mudah menelusuk ke dalam benak generasi muda karena mereka adalah individu-individu yang masih relatif labil. 

“Salah satu ciri fase perkembangan remaja dan pemuda adalah proses pencarian jati diri. Itu adalah bagian dari tahapan usia, di mana mereka lebih mengedepankan suatu idealisme. 

Sebenarnya ini bisa menjadi hal yang positif,” jelasnya. Sayangnya, kata Mira, kebanyakan anak muda hanya mengatasnamakan kemerdekaan untuk memeluk idealisme tanpa mempedulikan risiko dari paham yang mereka anut. Hal itulah yang menjadikan banyak ideologi berubah merugikan di kalangan pemuda. 

Lebih lanjut, dia berpendapat seorang pemuda bisa terjerembap ke dalam radikalisme karena dia tidak memiliki wadah untuk aktualisasi diri di lingkungannya. Oleh karena itu, dia mencari pihak lain, di mana dia merasa diterima. 

Permasalahannya, tidak banyak orangtua yang menyadari bahwa kebutuhan aktualisasi diri anaknya tidak tersalurkan. Kebanyakan orangtua merasa sudah cukup mendidik anaknya dan memberikan contoh yang baik, padahal belum. 

“Banyak orang tua yang kesulitan mengikuti alur berpikir dan gejolak emosional anaknya ketika remaja. Secara sosial, mungkin keluarga itu dipandang baik dan tidak ada masalah. Namun, ternyata komunikasi emosional antara ortu dan anak tidak harmonis,” tuturnya.
 

Ortu Tidak Memenuhi Kebutuhan Emosional Anak

Mira menambahkan banyak kasus di mana sepasang orang tua dihormati dan terpandang di lingkungannya. Namun, justru anak mereka terjerat dalam masalah sosial seperti radikalisme, intoleransi, dan kekerasan. 

“Itu karena orang tua tidak memenuhi kebutuhan emosional anak. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melakukan komunikasi yang tidak searah dengan anak. Pola pengasuhan harus dua arah; jangan hanya menyuruh, menceramahi, memarahi, dan menasehati anak.” 

Selama ini masih banyak orang tua yang lupa ‘mendengarkan’ anak-anaknya, dan tidak memberikan wadah aktualisasi diri pada mereka. Akibatnya, saat anak beranjak remaja—di mana kemampuan kognitifnya mulai matang—mereka akan berontak pada orang tuanya.

 Selain memenuhi kebutuhan emosional dan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, para orang tua harus terlibat aktif dalam lingkungan anak. 

Mereka harus tahu ruang gerak buah hatinya, saat di rumah maupun di luar rumah. Orang tua perlu melakukan pengawasan terhadap lingkup pergaulan anaknya, tetapi tidak mengekang atau membatasi. Berikan anak kebebasan bertanggung jawab agar dia mampu menjadi pribadi yang bisa dipercaya.

Hal penting lain yang harus dilakukan orangtua adalah memberikan contoh dan tindakan nyata soal toleransi dan multikulturalisme.  Anak yang masih kecil tidak akan mengotak-ngotakkan manusia berdasarkan latar belakang dan perbedaan.

ikap intoleran muncul karena secara tidak disadari anak belajar dari perilaku orang dewasa di sekitarnya, terutama orang tua. Anak-anak akan menyerap nilainilai yang diajarkan orang tuanya sejak kecil. 

Oleh karena itu, ajarkan anak untuk bersikap terbuka dan toleran dengan mencontohkan perilaku yang relevan. Tunjukkan sikap menghargai kepada sesama, dan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan SARA.
 

Harus Dimulai dari Ortu

Di sisi lain, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail berpendapat, menangkal radikalisme harus dimulai dari bagaimana orang tua merefleksikan nilai-nilai perdamaian dan cinta kasih yang mengena di hati anakanak mereka. 

“Nilai-nilai luhur dan kebangsaan tidak bisa ditanamkan sekadar lewat upacara atau jargon-jargon, tapi melalui kerja nyata pelayanan masyarakat. Mulai dari hal-hal sederhana seperti membersihkan sampah, bersedekah, atau berbagi dengan anak-anak yang kurang beruntung.” 

Masalah racun radikalisme pada generasi muda turut membetot atensi negara. Dengan berpegang pada konsep pendidikan karakter, negara berharap keluarga dan pendidikan dasar dapat menjadi benteng efektif untuk memerangi radikalisme. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpendapat, pendidikan antiradikalisme dapat diajarkan kepada anak melalui contoh nyata dan kekinian. Misalnya, dengan menumbuhkan rasa kemanusiaan dan toleransi pada anak oleh keluarga. “Keluarga adalah benteng perlindungan anak. 

Dalam keluarga terdapat pengajaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan cinta damai. Karenanya, orang tua harus membekali anak soal ini sejak kecil untuk menangkal radikalisme,” papar Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh. 

Dia menambahkan, anak-anak yang terlanjur terpapar radikalisme harus ditangani dengan pendekatan preventif dan reedukasi. Sebab, mereka tidak bisa ditangani semata-mata dengan menggunakan pendekatan keamanan. 

Baca juga: Tahan Banting, Murah, Jadi Andalan Teroris, Ini Dia Casio F-91W

“Harus ada pendekatan pendidikan bagi anak-anak yang terpapar paham radikalisme dan terorisme. Kami menginginkan paparan radikal dan terorisme tidak masuk ke anak-anak dan tidak menjadi bibit-bibit baru untuk terorisme pada masa depan,” tuturnya. 

Catatan redaksi: Artikel ini diambil dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 9 Oktober 2016

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Resmi Dijual di Indonesia, Begini Spesifikasi & Harga Realme C30

BERIKUTNYA

Hampir 30 Tahun Bersahabat, Intip 5 Momen Kompak Vincent dan Desta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: