Melihat Wajah Baru Taman Ismail Marzuki, Berubah Hampir 100 Persen & Lebih Modern
22 June 2022 |
13:44 WIB
Pusat kesenian dan kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang terletak di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, telah berganti wajah. Tempat yang semula terdiri atas bangunan-bangunan sederhana digantikan dengan gedung-gedung megah berdesain arsitektur modern.
Jika kalian akrab dengan bagunan TIM yang dahulu, bisa dipastikan kalian akan pangling dengan wajah TIM yang sekarang. Berdasarkan pantauan Hypeabis.id, dari beberapa gedung yang dibangun, salah satu yang paling menonjol adalah Gedung Panjang.
Sesuai namanya, Gedung Panjang benar-benar membentang megah di sisi sebelah utara TIM. Pembangunan gedung yang difungsikan sebagai perpustakaan, galeri dan wisma seni ini dilaporkan telah rampung 100 persen dengan progres pembangunan interior mencapai 90 persen.
Bangunan yang juga disebut 'gedung not balok' rancangan arsitek Andra Martin ini memiliki konsep mixed-use building yang akan menjadi pusat kesenian sekaligus ruang terbuka publik di Jakarta.
Gedung Panjang memiliki 14 lantai yang akan difungsikan sebagai tempat makan dan galeri seni di lantai dasarnya, retail, galeri seni & co-working space di lantai 2 & 3, Perpustakaan Jakarta & PDS HB Jassin di lantai 4-7, Wisma Seni di lantai 8-12 serta Kantor Pengelola TIM di lantai 13 & 14.
Dari sisi arsitektur, Gedung Panjang terlihat seperti bentuk piano. Bagian atas gedungnya tampak berundak-undak dari kejauhan, tidak rata seperti bangunan pada umumnya. Sementara pada bagian depan fasad, membentuk sebuah not balok dari lagu ciptaan Ismail Marzuki berjudul Rayuan Pulau Kelapa.
Jika diperhatikan dengan lebih detail, bagian secondary fasad yang hitam membentuk sebuah motif tumpal Betawi. Selain memiliki fungsi estetika, hal ini bertujuan untuk mengurangi paparan sinar matahari agar ruangan menjadi lebih sejuk.
Di sebelah Gedung Panjang, terdapat Gedung Annex yang akan menjadi rumah bagi karya seni rupa dari seniman lokal atau internasional. Memiliki tinggi mencapai 9 meter atau setara dengan tinggi dua lantai bangunan, Gedung Annex nantinya akan digunakan untuk pameran karya-karya dengan ukuran yang besar.
Bangunan lain yang tak kalah menarik adalah Planetarium dan Pusat Latihan Seni juga mengalami revitalisasi. Sebagai informasi, Planetarium dan Observatorium Jakarta sendiri bangun pada 1964 dan mulai dibuka untuk umum pada 1969 atas gagasan Presiden Sukarno dengan harapan agar bangsa bangsa Indonesia mengenal berbagai macam benda langit dan berbagai peristiwa luar angkasa.
Pada wajah barunya, bangunan Planetarium yang saat ini disebut Planetarium dan Pusat Pelatihan Seni memiliki 5 lantai. Ada Museum Planetarium, UMKM, Kantor Akademi Jakarta dan Teater Arena di lantai 1, Teater Bintang, Museum Koleksi Seni dan Pusat Pelatihan Seni di lantai 2, Galeri Cipta 1,2,&3 di lantai 3, Kineforum 1&2 di lantai 4, dan di lantai 5 terdapat Ruang Apresiasi Kreatif.
Satu gedung lagi yang menjadi ikon TIM adalah Graha Bhakti Budaya (GBB). Gedung ini biasanya digunakan sebagai gedung teater yang dapat memfasilitasi berbagai macam pertunjukan mulai dari seni teater hingga seni tari.
Setelah mengalami revitalisasi, GBB yang memiliki luas banguanan sebesar 14.800 meter persegi akan terdiri atas 6 lantai. Gedung pertunjukan itu memiliki kapasitas 848 kursi yang terbagi menjadi 2 level.
Selain itu, GBB juga akan dilengkapi dengan flying system, trap room dan orchestra pitch sesuai dengan standar internasional, termasuk tata suara dan pencahayaan yang megah dan modern. Saat ini, progres revitalisasi GBB dilaporkan telah mencapai 91 persen.
Adapun, beberapa bangunan lain yang terdapat di TIM yakni Teater Halaman, Masjid Amir Hamzah dan Gedung Parkir Taman. Pihak pengelola TIM pun telah membuka kunjungan untuk masyarakat umum setiap Kamis pukul 15.00-16.00 WIB.
Pilihan Bang Ali kemudian jatuh pada taman di kawasan Cikini Raya, yang menurutnya tempat itu cocok untuk dijadikan pusat kesenian dan kebudayaan. Tepatnya di area rekreasi Taman Raden Saleh dan Kebun Binatang Jakarta (Kini pindah ke Ragunan).
Untuk konsep perencanaan, Bang Ali menyerahkannya ke para seniman. Rancangan pembentukan TIM kemudian diketik oleh Arifin C Noer, dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali. Menempati area lahan seluas kurang lebih 8 hektare, pusat kebudayaan dan kesenian ini pun dibangun. Singkat cerita, pada 10 November 1968, Bang Ali meresmikan langsung pusat kebudayaan dan kesenian tersebut.
Sementara itu, soal penamaan Ismail Marzuki dipilih sebagai penghargaan kepada seniman asal Betawi (Jakarta) itu. Sebab dia telah berjasa menciptakan lebih dari 200 lagu, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa, seperti Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai, dan Sepasang Mata Bola.
Di ranah teater, TIM juga menyaksikan pertunjukan perdana Teater Koma di akhir 1980an atau pertunjukan teater garda depan Teater SAE di akhir 1980an, awal 1990an. Karya-karya eksperimental seperti ini mengundang kontroversi di wilayah publik, melalui perdebatan kritis di media massa maupun ruang publik lainnya.
Bukan hanya seniman lokal, TIM juga menjadi panggung bagi seniman dunia ternama dunia. Misalnya, koreografer modern asal Amerika Serikat seperti Martha Graham (tampil 1974) atau Alwin Nikolais (1979); koreografer Jerman Pina Bausch (tampil 1974) dan pertunjukan kelompok butoh pertama di Indonesia, Byakkosha (1981). Pertunjukan-pertunjukan ini menjadi bahan diskusi bagi para seniman, tidak jarang mewujud menjadi polemik dalam lingkup nasional. Karya seniman-seniman daerah terbaik pun ikut berpentas di TIM.
Editor: Dika Irawan
Jika kalian akrab dengan bagunan TIM yang dahulu, bisa dipastikan kalian akan pangling dengan wajah TIM yang sekarang. Berdasarkan pantauan Hypeabis.id, dari beberapa gedung yang dibangun, salah satu yang paling menonjol adalah Gedung Panjang.
Sesuai namanya, Gedung Panjang benar-benar membentang megah di sisi sebelah utara TIM. Pembangunan gedung yang difungsikan sebagai perpustakaan, galeri dan wisma seni ini dilaporkan telah rampung 100 persen dengan progres pembangunan interior mencapai 90 persen.
Baca juga: Dewan Kesenian Jakarta Tampilkan Arsip Ali Sadikin Hingga Maestro Seni Rupa di Taman Ismail Marzuki
Gedung Panjang (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Gedung Panjang memiliki 14 lantai yang akan difungsikan sebagai tempat makan dan galeri seni di lantai dasarnya, retail, galeri seni & co-working space di lantai 2 & 3, Perpustakaan Jakarta & PDS HB Jassin di lantai 4-7, Wisma Seni di lantai 8-12 serta Kantor Pengelola TIM di lantai 13 & 14.
Dari sisi arsitektur, Gedung Panjang terlihat seperti bentuk piano. Bagian atas gedungnya tampak berundak-undak dari kejauhan, tidak rata seperti bangunan pada umumnya. Sementara pada bagian depan fasad, membentuk sebuah not balok dari lagu ciptaan Ismail Marzuki berjudul Rayuan Pulau Kelapa.
Gedung Panjang (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Di sebelah Gedung Panjang, terdapat Gedung Annex yang akan menjadi rumah bagi karya seni rupa dari seniman lokal atau internasional. Memiliki tinggi mencapai 9 meter atau setara dengan tinggi dua lantai bangunan, Gedung Annex nantinya akan digunakan untuk pameran karya-karya dengan ukuran yang besar.
Bangunan lain yang tak kalah menarik adalah Planetarium dan Pusat Latihan Seni juga mengalami revitalisasi. Sebagai informasi, Planetarium dan Observatorium Jakarta sendiri bangun pada 1964 dan mulai dibuka untuk umum pada 1969 atas gagasan Presiden Sukarno dengan harapan agar bangsa bangsa Indonesia mengenal berbagai macam benda langit dan berbagai peristiwa luar angkasa.
Planetarium dan Pusat Pelatihan Seni (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Planetarium dan Pusat Pelatihan Seni 2 (Sumber gambar: Hypeabis/Luke Andaresta)
Setelah mengalami revitalisasi, GBB yang memiliki luas banguanan sebesar 14.800 meter persegi akan terdiri atas 6 lantai. Gedung pertunjukan itu memiliki kapasitas 848 kursi yang terbagi menjadi 2 level.
Selain itu, GBB juga akan dilengkapi dengan flying system, trap room dan orchestra pitch sesuai dengan standar internasional, termasuk tata suara dan pencahayaan yang megah dan modern. Saat ini, progres revitalisasi GBB dilaporkan telah mencapai 91 persen.
Graha Bhakti Budaya (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Peran Bang Ali
Kehadiran TIM tak lepas dari tangan Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin. Dihimpun dari catatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Bang Ali - demikian dia biasa disapa - berkeinginan Ibu Kota negara ini memiliki tempat untuk para seniman berkreasi dan berkarya. Sebab, kala itu kawasan Pasar Senen dan Balai Budaya Jakarta tidak dapat digunakan lantaran persoalan politik.Pilihan Bang Ali kemudian jatuh pada taman di kawasan Cikini Raya, yang menurutnya tempat itu cocok untuk dijadikan pusat kesenian dan kebudayaan. Tepatnya di area rekreasi Taman Raden Saleh dan Kebun Binatang Jakarta (Kini pindah ke Ragunan).
Untuk konsep perencanaan, Bang Ali menyerahkannya ke para seniman. Rancangan pembentukan TIM kemudian diketik oleh Arifin C Noer, dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali. Menempati area lahan seluas kurang lebih 8 hektare, pusat kebudayaan dan kesenian ini pun dibangun. Singkat cerita, pada 10 November 1968, Bang Ali meresmikan langsung pusat kebudayaan dan kesenian tersebut.
Sementara itu, soal penamaan Ismail Marzuki dipilih sebagai penghargaan kepada seniman asal Betawi (Jakarta) itu. Sebab dia telah berjasa menciptakan lebih dari 200 lagu, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa, seperti Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai, dan Sepasang Mata Bola.
Interior Gedung Panjang (Sumber Gambar: Hypeabis/Luke Andaresta)
Saksi Kebudayaan
Sejak didirikan sejak 1968, TIM telah menjadi saksi perhelatan artistik para seniman. Beberapa karya penting seperti Samgita Pancasona (Sardono W. Kusumo, 1969), atau teater mini kata W.S Rendra, lahir di sana.Di ranah teater, TIM juga menyaksikan pertunjukan perdana Teater Koma di akhir 1980an atau pertunjukan teater garda depan Teater SAE di akhir 1980an, awal 1990an. Karya-karya eksperimental seperti ini mengundang kontroversi di wilayah publik, melalui perdebatan kritis di media massa maupun ruang publik lainnya.
Bukan hanya seniman lokal, TIM juga menjadi panggung bagi seniman dunia ternama dunia. Misalnya, koreografer modern asal Amerika Serikat seperti Martha Graham (tampil 1974) atau Alwin Nikolais (1979); koreografer Jerman Pina Bausch (tampil 1974) dan pertunjukan kelompok butoh pertama di Indonesia, Byakkosha (1981). Pertunjukan-pertunjukan ini menjadi bahan diskusi bagi para seniman, tidak jarang mewujud menjadi polemik dalam lingkup nasional. Karya seniman-seniman daerah terbaik pun ikut berpentas di TIM.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.